Dradjad Wibowo: Larang Ekspor CPO, Sama Saja Pemerintah Tembak Kakinya Sendiri

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin

Kamis, 28 April 2022| 14:09 WIB

 

Dradjad Hari Wibowo ekonom senior INDEF (Institute for Development Economics and Finance) menegaskan, penghentian ekpor CPO akan merugikan pemerintah sendiri.  Karena porsi penghasilan yang diperoleh pemerintah dari sawit itu sangat besar.

 

“Saya beri contoh tahun 2020 untuk Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE), jadi ada dua yang dipungut pemerintah. Jatuhnya hampir 25 persen dari seluruh CPO milik RI,” kata Dradjad dalam diskusi secara daring dengan tema

 

” Setelah Pemerintah Melarang Ekspor Sawit dan Minyak Goreng, Apa Selanjutnya?” Selasa petang (27/4/2022).

 

Apalagi ditambah pengenaan tarif pajak, maka penghasilan pemerintah dari sawit di atas 40 persen. Pungutan pajak ini karena perusahaan-perusahaan CPO memiliki kewajiban membayar pajak.

 

“Bahkan di 2021 dan 2022 kemungkinan dengan harga CPO sekitar Rp 1.400 sampai Rp 1.500 per kilogram, pemerintah menarik penghasilan 33 persen lebih dari BK dan PE,” tutur Dradjad.

 

Dradjad menjelaskan angka riil yang dilaporkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) per Desember 2021 sudah mencapai Rp 70 triliun melalui PE.

 

Sementara total pajak yang dikumpulkan dari perusahaan CPO sekitar Rp 20 triliun per bulan.

 

“Kalau per tahunnya mungkin Rp240 triliun, tapi saya tidak pasti tahu karena nggak pernah diungkap ke publik data ini,” kata Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini.

 

Dradjad mengungkapkan hasil estimasi yang telah dilakukan pemerintah kemungkinan memperoleh Rp250 triliun sampai Rp300 triliun per tahun (dengan asumsi harga CPO sekarang sebesar 6.000 Ringgit Malaysia).

 

Menurut dia, dengan patokan harga CPO sekarang, potensi penerimaan pemerintah besar sekali. Karena itu agak susah membayangkan, pemerintah melarang ekspor CPO. Karena sama saja pemrintah akan menembak kakinya sendiri.

 

Apalagi di tangan Kementerian Keuangan harus banyak melakukan utang dan sebagainya. Sehingga kalau CPO sampai tidak bisa memberikan tambahan pemasukan bagi APBN maupun bagi BPDPKS, maka akan kelabakan.

 

Dan efeknya itu, kata Dradjad, akan terkena pada program bio disel pemerintah. Karena dana BPDPKS itu masuknya sebagian besar ke subsidi bio disel, dan pelaku bio disel. Kemudian yang kembali ke petani itu kecil sekali.

Pernah hanya Rp7 triliun dan Rp10 triliun. Tapi yang kembali ke petani itu kecil sekali.

 

“Artinya apa? Artinya dari ekonomi sakit itu pemerintah sebenarnya banyak sekali memperoleh penerimaan financial. Sehingga, ketika ada berita bahwa pemerintah melarang ekspor CPO, saya bertanya-tanya, ini bener apa tidak?

 

Apa jangan-jangan keliru, atau jangan-jangan yang dimaksud bukan CPO. Dan ternyata kemudian di koreksi, yang dimaksud adalah arbiti oli. Tapi tetap saja potensinya besar dari situ,” kata dia.

 

Dradjad mengajak semua pihak harus melihat masalah ini lebih menyeluruh. Tidak bisa hanya kebijakan hit and run.

 

“Yang saya lihat adalah pemerintah dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation), HET (Harga Eceran Tertinggi). Semuanya itu hit and run. Nah kita harus selesaiakn dengan menyeluruh, terlepas siapapun yang ada di pemerintahan, siapapun yang menjadi Presiden. Karena masalah ini akan

terus berulang,” tegasnya.

 

“Kenapa saya katakan demikian. Kembali kedua poin utama saya tadi. Yaitu ada permasalah struktural dan ada permasalahan antisipasi kebijakan.

 

Dari sisi permasalahan struktural, kita ini masih agak ngambang di dalam kebijakan ekonomi kita. Di satu sisi kita mengatakan, kita ekonomi pasar, di sisi lain kita mengatakan ada ekonomi Pancasila, atau keperpihakan, atau sebagainya. Masih agak ngambang. Dan ngambangnya pada akhirnya diselesaikan dengan kertas, dengan secarik SK,” pungkas Dradjad.(faz/rst)

https://www.suarasurabaya.net/ekonomibisnis/2022/dradjad-wibowo-larang-ekspor-cpo-sama-saja-pemerintah-tembak-kakinya-sendiri/

  • Hits: 497

Pelarangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng Merugikan Pemerintah

Kamis, 28 April 2022 - 11:35 |  28.05k

Pewarta: Moh Ramli | Editor: Wahyu Nurdiyanto

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ekonom senior Dradjad Hari Wibowo menilai pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng justru merugikan pemerintah, karena porsi penghasilan sawit Indonesia jumlahnya sangat besar.

 

"Saya beri contoh tahun 2020 untuk bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE), jadi ada dua yang dipungut pemerintah. Jatuhnya hampir 25 persen dari seluruh CPO milik RI," kata Dradjad dalam keterangan resminya Kamis (28/4/2022).

 

Apalagi ditambah pengenaan tarif pajak maka penghasilan pemerintah dari sawit di atas 40 persen. Pungutan pajak ini karena perusahaan-perusahaan CPO memiliki kewajiban membayar pajak.

 

"Bahkan di 2021 dan 2022 kemungkinan dengan harga CPO sekitar Rp 1.400 sampai Rp 1.500 per kilogram, pemerintah menarik penghasilan 33 persen lebih dari BK dan PE," tutur Dradjad.

Dradjad menuturkan angka riil yang dilaporkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) per Desember 2021 sudah mencapai Rp 70 triliun melalui PE.

 

Sementara total pajak yang dikumpulkan dari perusahaan CPO sekitar Rp 20 triliun per bulan.

 

"Kalau per tahunnya mungkin Rp240 triliun, tapi saya tidak pasti tahu karena nggak pernah diungkap ke publik data ini," kata pria yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini.

 

Dradjad mengungkapkan hasil estimasi yang telah dilakukan pemerintah kemungkinan memperoleh Rp250 triliun sampai Rp300 triliun per tahun (dengan asumsi harga CPO sekarang sebesar 6.000 Ringgit Malaysia).

 

"Ini hanya dugaan kasar saya. Tapi dengan asumsi harga CPO saat ini rasanya agak sulit membayangkan pemerintah melarang ekspor sebab menembak kita sendiri," jelasnya.

 

Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin meminta pemerintah mengambil hikmah dari isu minyak goreng ini. Sebab, publik akhirnya mengetahui ada permainan mafia dan kartelisasi yang melibatkan beberapa perusahaan perkebunan dan pengelola sawit.

 

"Kami ingin kebijakan ekonomi pertanian khususnya tata niaga kelapa sawit kita benar-benar dibentuk dengan pendekatan legislasi yang lebih fundamental di wilayah UU. Sehingga setiap kebijakan diharapkan bisa diatur secara proporsional antara kepentingan nasional dan kepentingan bisnis pelaku usaha," kata Sultan.

 

Menurutnya, untuk memastikan pengendalian negara terhadap komoditas strategis seperti kelapa sawit harus diatur secara preventif sejak awal. Terutama dalam penguasaan lahan perkebunan yang melibatkan swasta yang notabene berkewarganegaraan asing.

 

"Jangan sampai pengusaha sawit yang menguasai alat produksi seperti pabrik CPO juga menguasai mayoritas lahan sawit. Inilah titik kritis liberalisasi dan kartelisasi tata niaga kelapa sawit yang harus kita hindari agar kita tidak terjebak dalam situasi kelangkaan komoditas dan inflasi yang terus terulang," tegasnya.

 

Ia berharap UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan direvisi terutama mengenai aturan  distribusi penggunaan lahan perkebunan milik negara.

 

"Kepentingan nasional harus menjadi orientasi dan tujuan utama dari setiap kebijakan pemerintah. Dengan demikian persoalan minyak goreng ini harus diselesaikan sejak dari hulu, baik dari sisi penguasaan lahan hingga intensifikasi perkebunan kelapa sawit," ujarnya. (*)

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/407955/pelarangan-ekspor-cpo-dan-minyak-goreng-merugikan-pemerintah

  • Hits: 605

Dradjad: Masalah Minyak Goreng Bisa Lama, Perlu Stok Nasional

Kamis 28 Apr 2022 15:02 WIB

Red: Joko Sadewo

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Ekonom INDEF, Dradjad Wibowo mengingatkan bahwa persoalan minyak goreng bisa berlangsung lama. Untuk itu Dradjad menyarankan pemerintah mengubah kebijakan terkait masalah kelapa sawit.

 

“Jangan lupa, negara-negara Eropa sekarang itu agak kesulitan minyak goreng karena suplai minyak bunga matahari itu sebagian besar dari Ukraina. Kemudian yang 20 persen dari Rusia. Suplai ini terganggu sehingga minyak goreng dari Sun Flower itu berkurang,” papar Dradjad dalam diskusi webinar yang diselenggarakan Partai Gelora, Rabu (25/4/2022).

 

Otomatis negara Eropa, menurutnya, akan berpikir untuk pindah ke minyak nabati lain termasuk sawit, walaupun mereka berkampanye negatif terhadap sawit. Apalagi sawit ini bisa dipakai untuk es krim, kosmetik, dan berbagai macam produk di industri hilirnya, dan paling kompetitif.

 

Dengan kondisi ini, Dradjad mengatakan sulit mengharapkan harga sawit di dunia itu akan turun ke level sebelum akhir 2020. Sehingga ancaman kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng akan terus terjadi hingga satu atau dua tahun ke depan. “Ini yang harus diantisipasi. Kebijakannya harus efektif. Tidak bisa kebijakannya seperti yang kemarin dilakukan,” ungkapnya.

 

Pemerintah, menurut Dradjad, sudah paham sekali dengan kebijakan apa yang harus mereka lakukan. Tinggal political will, bagaimana pembantu Presiden Jokowi merumuskan kebijakan, yang tidak hanya di atas kertas saja. Tapi betul-betul efektif.

 

Dradjad bahkan mengingatkan agar jangan hanya melihat minyak goreng saja, tapi juga kebutuhan pokok lainnya. Dalam perang Rusia Vs Ukraina ini, menurunya, bahan pangan lain juga berpotensi melonjak harganya.

 

“Jangan terkaget-kaget kalau nanti kedelai juga akan naik. Kalau beras mungkin tidak bermasalah, tapi gandum.  Di kita kan banyak juga yang makan mie. Mungkin ini yang akan terkena masalah,” kata Ketua Dewan Pakar PAN tersebut.

 

Termasuk, kata Dradjad, jangan kaget jika harga BBM, seperti solar, premium, pertamax akan melonjak. Kondisi-kondisi inilah, kata Dradjad, yang perlu terobosan kebijakan tata niaga dan pengamanan harga. Bukan hanya migor, tapi pangan lain yang dianggap strategis. Perlu stok nasional, yang harus ditopang dana yang cukup dari APBN atau sumber lain.  “Kalau tidak ada dananya ya sama saja omong kosong,” kata dia.

 

https://republika.co.id/berita/rb1i6y318/dradjad-masalah-minyak-goreng-bisa-lama-perlu-stok-nasional

  • Hits: 532

Politisi PAN Dradjad Wibowo Nilai Larangan Ekspor CPO Bisa Rugikan Pemerintah Sendiri

Rabu, 27 April 2022 21:51


TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Ekonom Indef yang juga seorang politisi PAN, Dradjad Hari Wibowo menilai pelarangan ekspor Crude Palm Oil ( CPO) justru merugikan pemerintah.

Hal itu karena porsi penghasilan pemerintah dari sawit jumlahnya sangat besar.

"Saya beri contoh tahun 2020 untuk bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE), jadi ada dua yang dipungut pemerintah. Jatuhnya hampir 25 persen dari seluruh CPO milik RI," kata Dradjad dalam webinar Gelora Talks, Rabu (27/4/2022).


Apalagi ditambah pengenaan tarif pajak maka penghasilan pemerintah dari sawit di atas 40 persen.


Pungutan pajak ini karena perusahaan-perusahaan CPO memiliki kewajiban membayar pajak.

"Bahkan di 2021 dan 2022 kemungkinan dengan harga CPO sekitar Rp 1.400 sampai Rp 1.500 per kilogram, pemerintah menarik penghasilan 33 persen lebih dari BK dan PE," tutur Dradjad.

Dradjad menuturkan angka riil yang dilaporkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) per Desember 2021 sudah mencapai Rp 70 triliun melalui PE.

Sementara total pajak yang dikumpulkan dari perusahaan CPO sekitar Rp 20 triliun per bulan.

"Kalau pertahunnya mungkin Rp240 triliun, tapi saya tidak pasti tau karena nggak pernah diungkap ke publik data ini," kata pria yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini.


Dradjad mengungkapkan hasil estimasi yang telah dilakukan pemerintah kemungkinan memperoleh Rp250 triliun sampai Rp300 triliun per tahun (dengan asumsi harga CPO sekarang sebesar 6.000 Ringgit Malaysia).


"Ini hanya dugaan kasar saya. Tapi dengan asumsi harga CPO saat ini rasanya agak sulit membayangkan pemerintah melarang ekspor sebab menembak kita sendiri," jelasnya.

Sebelumnya, Pemerintah menetapkan kebijakan pelarangan ekspor sementara minyak goreng atau Refined, Bleached, Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein) mulai 28 April 2022.

Hal itu disampaikan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (27/4/2022).


“Sesuai arahan Bapak Presiden, sementara ini pelarangan ekspor sampai tercapainya harga minyak goreng curah sebesar Rp14 ribu per liter di pasar tradisional dan mekanisme pelarangannya disusun secara sederhana,” ujar Menko Airlangga.

Pelarangan diberlakukan sampai minyak goreng curah tersedia merata di seluruh wilayah Indonesia.

Menko Airlangga menerangkan pelarangan ekspor hanya berlaku untuk produk RBD Palm Olein dengan tiga kode Harmonized System (HS) yaitu 1511.90.36, 1511.90.37, dan 1511.90.39.

Adapun untuk CPO dan RPO masih tetap dapat diekspor sesuai kebutuhan.

"Perusahaan tetap bisa membeli tandan buah segar (TBS) dari petani," tuturnya.

Kebijakan pelarangan ekspor ini diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).


Airlangga menambahkan kebijakan pelarangan ini sesuai dengan ketentuan Article XI GATT yang mengatur bahwa negara anggota organisasi perdagangan dunia (WTO) dapat menerapkan larangan atau pembatasan ekspor sementara untuk mencegah kekurangan bahan makanan.

Larangan ekspor RBD Palm Olein berlaku untuk seluruh produsen yang menghasilkan produk RBD Palm Olein.

Airlangga menegaskan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan dan Polri melalui Satuan Tugas Pangan akan menerapkan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaan kebijakan ini.

Pengawasan akan dilakukan secara terus-menerus termasuk dalam masa libur Idul Fitri.


“Evaluasi akan dilakukan secara terus-menerus atas kebijakan pelarangan ekspor ini. Setiap pelanggaran akan ditindak tegas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” papar Airlangga.


https://kaltim.tribunnews.com/2022/04/27/politisi-pan-dradjad-wibowo-nilai-larangan-ekspor-cpo-bisa-rugikan-pemerintah-sendiri?page=3

 

  • Hits: 588

Page 15 of 24

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id