Cabut Subsidi BBM dari Orang Kaya, Bukan dari Orang Miskin

Penolakan banyak anggota masyarakat terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak lepas dari sifat kenaikan harga tersebut. Yaitu, dia bersifat langsung (direct) dan pukul rata atau menyeluruh (blanket).

Disebut "langsung" karena yang dinaikkan adalah harga barang itu sendiri, dalam hal ini harga BBM.
Disebut "pukul rata" atau "menyeluruh" karena, tidak peduli kaya atau miskin, masyarakat harus membayar kenaikan harga dalam besaran yang sama.

Dengan kenaikan yang bersifat langsung dan pukul rata (LPR), kita tidak perlu heran jika banyak elemen masyarakat menjadi marah.

Salah satu argumen yang sering dikemukakan pejabat pemerintah dan mereka yang pro-kenaikan BBM secara LPR adalah, 70 persen dari nilai subsidi BBM dinikmati oleh mereka yang tidak berhak, yaitu kalangan menengah atas.


Jika klaim ini benar, artinya pada tahun 2011 kaum menengah atas "membajak" Rp 115.6 triliun dari realisasi subsidi BBM yang sebesar Rp 165.2 triliun. Ini setara dengan 42% dari realisasi penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2011.

Kalau benar seperti itu, seharusnya pemerintah mencabut saja subsidi BBM dari kaum menengah atas. Jangan kaum miskin ikut dibabat juga.

Saya yakin kita semua sepakat jika kaum menengah dan atas tidak berhak menikmati subsidi. Saya juga yakin semua sepakat bahwa APBN dan perekonomian perlu diamankan dari gejolak harga minyak dunia.

Nah jika sepakat seperti itu, jangan lakukan strategi "pukul rata" dalam menaikkan harga BBM. Alasannya, pertama, pendekatan LPR membuat pengendalian dampak ronde kedua dan seterusnya dari kenaikan harga BBM sangat sulit dilakukan. Besarnya jumlah penduduk miskin Indonesia tidak lepas dari kebijakan harga yang tidak berpihak kepada orang miskin. Menurut BPS jumlah penduduk miskin 31 juta jiwa. Namun statistik tersebut layak diragukan dengan berbagai alasan yang sudah sering saya ungkapkan di media.

Kedua, kenaikan harga BBM secara LPR akan menciptakan ketidakadilan yang baru. Karena, orang miskin harus menanggung beban yang setara dengan orang kaya untuk setiap liter BBM yang dikonsumsi.

Ketidakadilan baru ini tidak bisa dikompensasi dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang direncanakan sebesar Rp 150 ribu per bulan selama 9 bulan. Karena, kita semua tahu dari pengalaman Bantuan Langsung Tunai (BLT), transfer tunai semacam ini banyak efek negatifnya. Dia hanya mengurangi kemiskinan secara semu.

Nilai positif dari transfer ini sejujurnya lebih dari sisi politis. Satu parpol, yaitu Partai Demokrat (PD), diuntungkan secara politis karena penerima BLT cenderung berterima kasih dan tetap terjaga sebagai pemilih PD. Akan tetapi, parpol koalisi yg lain seperti PG, PAN, PKS dan PKB cenderung dirugikan. Parpol koalisi merosot citranya karena harus mendukung kenaikan harga BBM, namun tidak ikut menikmati keuntungan politik dari BLT.

Lalu bagaimana cara mencabut subsidi dari kaum menengah atas, tanpa menyakiti kaum miskin? Caranya adalah melalui sebuah pungutan yang ditargetkan kepada konsumsi BBM dari kaum menengah atas. Ini adalah kenaikan harga BBM secara tidak langsung dan selektif (TLS).

Pungutan tersebut bisa berupa pajak pusat, cukai, pajak daerah dan atau retribusi daerah. Saya memilih cukai karena sifatnya mengurangi konsumsi satu barang, yaitu BBM bersubsidi. Selain itu, penerimaan dari cukai langsung masuk ke dalam pos penerimaan APBN, sehingga bisa langsung mengurangi besaran subsidi BBM.

Dari sisi Undang-Undang tentang Cukai (UU No 39 tahun 2007), BBM memang belum masuk ke dalam barang kena cukai. Namun hal ini bisa diatasi dengan pasal lex specialist dalam UU APBN-P 2012.

Lalu bagaimana mekanisme penerapan cukainya? Sederhana konsepnya. Cukai BBM ini dibayarkan sekali setahun ketika perpanjangan STNK. Tinggal diatur bagaimana teknis pembayarannya. Bisa seperti pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) atau pemerintah pusat mengatur teknis pembayaran tersendiri.

Besaran cukai bisa dibuat flat. Ini akan lebih mudah implementasinya, tapi kurang adil karena memukul rata semua pemilik kendaraan. Oleh sebab itu, sebaiknya besaran cukai dibuat berjenjang dengan faktor konversi seperti besarnya cc kendaraan, umur dan lain-lain.

Sebagai contoh kongkret, mari lihat premium. Konsumsi premium tahun 2011 adalah sebesar 25,49 juta kiloliter (juta kl). Untuk kemudahan ilustrasi, anggap semua premium dikonsumsi mobil penumpang dan motor.

Asumsikan konsumsi premium 2012 naik 14% seperti kenaikan selama periode Januari-Februari 2012. Estimasi konsumsi tahun 2012 menjadi 29,1 juta kl. Jika harga dinaikkan Rp 1500/liter, maka didapat penghematan subsidi BBM Rp 43,7 triliun.

Sekarang kita hitung kira-kira berapa besaran cukai untuk mengganti penghematan subsidi di atas. Anggap secara kasar pemakaian premium 120 liter/bulan untuk mobil penumpang, dan 17 liter/bulan untuk motor. Ini angka kira-kira saja, sekedar ilustrasi.

Total penjualan mobil dan motor baru adalah 10.1% dan 13.2% dari jumlah mobil dan motor, seperti data tahun 2011. Sehingga, estimasi jumlah mobil penumpang dan motor tahun 2012 menjadi 9,72 juta dan 73.6 juta. Konsumsi premium menjadi 29,01 juta kilo liter. Perbedaan dengan angka sebelumnya karena faktor pembulatan.

Tanpa kenaikan harga premium Rp 1500, subsidi premium yang tidak jadi dikurangi adalah = 120 x 12 x Rp 1500 = Rp 2,16 juta untuk mobil, dan Rp 306 ribu untuk motor. Besaran subsidi yang tidak jadi dikurangi ini kita jadikan baseline utk menghitung cukai setahun.

Jika besaran cukai rata-rata ditetapkan persis sebesar baseline, kita mendapat penerimaan cukai Rp 43.1 triliun. Angka ini relatif sama dengan penghematan melalui kenaikan harga BBM, perbedaan terjadi karena pembulatan.

Tapi dengan semangat mencabut subsidi dari orang kaya, besaran cukai rata-rata bisa kita buat Rp 3 juta untuk mobil dan Rp 150 ribu untuk motor. Penerimaan cukainya menjadi Rp 47,5 triliun.

Tentu kombinasi besaran cukai rata-rata ini bisa kita variasikan sesuai jenis, cc, umur mobil dan sebagainya.

Bahkan untuk mobil penumpang kelas atas, cukai BBM bisa kita buat Rp 6 juta. Ini artinya subsidi BBM dicabut 100 persen terhadap  pemilik mobil kelas atas.

Angka-angka di atas sekali lagi hanya bersifat ilustratif. Silakan Banggar dan Menkeu melakukan simulasi yang lebih akurat dan detil.

Apakah ada kelemahan dari pungutan seperti ini? Jelas ada. Pertama, mekanisme implementasinya sedikit lebih panjang dibanding kenaikan harga BBM secara LPR. Namun demi keadilan bagi masyarakat, hal ini bukanlah isu yang harus diributkan.

Kedua, cukai ini tidak mengatasi penyelundupan BBM. Namun apakah kenaikan harga BBM berkali-kali selama beberapa tahun juga mengatasi penyelundupan? Faktanya tidak.

Ketiga, cukai juga tidak akan disukai oleh SPBU asing. Karena, selisih harga jual dengan Pertamina tetap ada. Tapi apa iya pemerintah menaikkan harga BBM untuk menolong SPBU asing?

Keempat, pemilik mobil kelas atas yang selama ini memakai BBM non-subsidi akan membayar dobel. Ini memang satu kelemahan yang perlu diatasi dengan penggunaan teknologi. Karena bon pembelian BBM non-subsidi dari SPBU mudah dipalsukan. Karena penerapan teknologi ini perlu waktu, pembayaran dobel oleh kelas atas ini tidak bisa dihindari. Hitung-hitung penebusan dosa karena saya rasa banyak kaum atas yang merendah-rendahkan pembayaran pajaknya.

Cukai BBM bisa diterapkan juga untuk solar dan pemakaian BBM oleh industri. Kelemahan administrasi pasti ada, tapi sistem perpajakan kita juga tidak bagus-bagus amat administrasinya. Namun yang jelas, cukai BBM lebih adil daripada kenaikan harga BBM secara langsung dan pukul rata. Cukai memungkinkan negara mencabut subsidi dari target-target yang spesifik, yang memang tidak layak menerima subsidi.

Saga BBM ini akan terus berlangsung selama negara tidak mengambil kebijakan energi yang sering saya sebut "total football". Contoh kecilnya, industri otomotif  perlu didorong lebih banyak memasang mesin yang cocok dengan BBM non-subsidi. Impor minyak mentah dan BBM oleh Pertamina perlu dibongkar total sehingga tidak kemahalan, yang ujungnya menambah beban subsidi. Efisiensi konversi dari minyak mentah ke BBM perlu dinaikkan drastis. Kampanye dan program hemat energi perlu digalakkan karena bangsa kita memang boros energi. Dan seterusnya, dan sebagainya. Smg bermanfaat.

 

Author: Dradjad Wibowo, Ir (IPB), MEc (UQ), PhD (UQ)

 

  • Hits: 17153

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id