Sholat Jamaah Bebas Masker, Dradjad : MUI Jangan Kebablasan
Rabu, 18 Mei 2022 | 09:14 WIB
Red : Joko Sadewo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF Dradjad Wibowo, menyayangkan pernyataan Ketua MUI Asrorun Niam, yang menyebut masyarakat yang sehat dalam pelaksanaan sholat tidak memakai masker lagi. Pernyataan tersebut dinilai Dradjad kebablasan.
"Saya sangat menyayangkan pernyataan Asrorun Niam Sholeh tentang sholat berjamaah tanpa masker. Itu pernyataan yang kebablasan. Presiden saja baru mengijinkan membuka masker di ruang outdoor, bukan ruang indoor. Masjid adalah ruang indoor,” kata Dradjad kepada Republika, Rabu (18/5/2022).
Dikatakannya, sains itu mempelajari sunnatullah. "Kita juga tahu berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Faathir 43 bahwa tidak ada perubahan dan penyimpangan dalam sunnatullah,” kata Dradjad.
Sunnatullah Covid, menurut Dradjad, menular melalui droplet, dan masker mengurangi risiko penularan secara signifikan. Program vaksinasi dari pemerintah berjalan dengan baik dan sangat berperan menekan kasus COVID-19 di Indonesia. "Tapi kita tahu masih ada kematian akibat COVID-19. Itu sebabnya Presiden dengan sangat hati-hati melonggarkan kewajiban memakai masker,” ungkap Dradjad yang juga ketua Dewan Pakar PAN ini.
Jika Asrorun melonggarkan kewajiban masker dalam sholat berjamaah, Dradjad mempertanyakan sains dan data apa yang dia pakai sebagai dasar?. "Ini keputusan MUI sebagai lembaga atau pribadi? Bagaimana jika ada jamaah yang tertular COVID-19 dan meninggal karena ada DKM yang mengikuti Asrorun membebaskan jamaah tanpa masker?” tanya Dradjad.
Dikatakannya, pengurus MUI itu tergolong pemimpin. Kewajiban pemimpin menjaga keselamatan yang dipimpin, dalam hal ini jamaah sholat. Apalagi Al Maidah 32 menggariskan memelihara nyawa satu orang itu sama dengan memelihara kehidupan manusia seluruhnya.
"Jadi MUI jangan kebablasan. Ini menyangkut kesehatan dan keselamatan banyak orang,” kata Dradjad.
Link berita : https://www.republika.co.id/berita/rc23k4318/sholat-jamaah-bebas-masker-dradjad-mui-jangan-kebablasan
- Hits: 661
Dradjad Ingatkan Varian Omicron Bisa Rusak Momentum Ekonomi
Senin 29 Nov 2021 06:40 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF Dradjad Wibowo menyarankan pemerintah segera mengambil langkah pencegahan agar mutasi virus Covid-19 tidak meluas. Jika tidak ada langkah pencegahan, transmisi virus di Indonesia akan melonjak tinggi lagi.
Dradjad, mengatakan SARS-CoV-2 sudah banyak bermutasi. Sebelumnya ada varian Mu di Kolumbia. Sekarang muncul varian Omicron dari Afrika Selatan, dan sudah terdeteksi di Hongkong maupun beberapa kota Eropa. "Kita belum tahu seberapa tinggi virulensi Omicron ini, demikian juga dengan tingkat keparahan sakitnya,” kata Dradjad kepada Republika, Senin (29/11).
Jika tidak mengambil langkah pencegahan, menurut Dradjad, terdapat risiko transmisi virus di Indonesia melonjak tinggi lagi. “Dan ini bisa merusak pemulihan ekonomi yang sudah mulai mendapatkan momentum,” ungkapnya.
Dradjad mengingatkan Presiden Jokowi sudah dengan akurat mewanti-wanti, pemulihan ekonomi tergantung pengendalian pandemi. Jadi, lanjutnya, para menteri harus segera bertindak cepat. "Lakukan pembatasan bahkan pelarangan orang masuk dari negara-negara yang diketahui punya transmisi tinggi, khususnya varian Omicron,” ungkapnya.
Kedubes-kedubes Indonesia di berbagai negara sebaiknya diberi tugas melaporkan dengan rutin dan detil perkembangan transmisi virus di negara tempat mereka bertugas. "Jadi kita punya intelijen dari lapangan, bukan hanya data yang dikumpulkan WHO dan lembaga lain.” kata Dradjad. Ia meminta agar jangan pernah lengah terhadap pandemi ini.
Dilihat dari tren transmisi virus, Dradjad menduga sudah cukup banyak penduduk Indonesia yang mempunyai imunitas terhadap sebagian dari varian SARS-CoV-2. Imunitas tersebut, kata Dradjad, mungkin ada yang level tinggi, sedang ataupun rendah. Pemicu imunitasnya bisa dari vaksinasi, bisa juga dari tertular virus baik dengan gejala maupun tanpa gejala.
“Saya sudah beberapakali menyarankan perlunya survey bahkan tracking imunitas agar kita tahu gambaran imunitas penduduk. Karena survey ini tidak ada, kita hanya bisa menduga-duga,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN.
- Hits: 831
PPKM Lambat, Dradjad Sarankan Booster Vaksinas Berbayar
Selasa 07 Sep 2021 09:57 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — PPKM lambat turunkan transmisi COVID-19, ekonom INDEF Dradjad Wibowo menyarankan pemerintah untuk mempercepat vaksinasi, jika perlu program booster vaksinas berbayar.
Dradjad mengatakan kalau dilihat dari sisi kesehatan publik dan ekonomi kesehatan, Indonesia belum mempunyai alasan kuat untuk menghentikan PPKM, apalagi di luar Jawa Bali. "Padahal sebagian daerah sudah menerapkan PPKM sejak 3 Juli lalu, berarti sudah dua bulan lebih,” kata Dradjad, Selasa (7/9).
Hal yang menjadi dilema, lanjut Dradjad, skema PPKM ternyata lambat menurunkan transmisi COVID-19. Dradjad menduga, penyebabnya karena banyaknya lubang dalam implementasi PPKM. Contohnya di Jabodetabek. Meski PPKM masih berlaku dengan level yang diturunkan, kemacetan banyak terjadi dan tidak sedikit masyarakat yang tidak memakai masker. Akibatnya, penularan COVID-19 jadi berkepanjangan.
Di sisi lain, lanjut Ketua Dewan Pakar PAN ini, secara ekonomi dan psikologis, masyarakat semakin sulit menanggung beban akibat PPKM. "Apalagi, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin naik 1,1 juta dibandingkan Maret 2020 ketika pandemi baru mulai,” papar Dradjad yang intens mengamati pandemi COVID-19 dari aspek ekonomi ini.
Dradjad mengatakan pemerintah menghadapi buah simalakama sekarang. Jika pemerintah memutuskan melanjutkan PPKM tapi dilonggarkan, Dradjad menyarankan pemerintah perlu lebih realistis dengan target-target ekonomi 2021 dan 2022. "Pertumbuhan triwulan III dan IV jelas akan lebih rendah dari target pemerintah,” ungkapnya.
Dradjad juga menyarankan percepat vaksinasi dengan berbagai cara, dan segera siapkan program booster, jika perlu melalui vaksin berbayar. Menurutnya, booster ini besar pengaruhnya bagi konfiden masyarakat menengah dan atas, yang ujungnya ke belanja konsumsi dan investasi mereka.
"Saya cukup yakin booster vaksin, jika perlu berbayar, bisa menjadi booster bagi konsumsi dan investasi, sehingga menjadi booster pertumbuhan juga,” papar Dradjad.
Pemerintah juga diminta untuk mencari langkah terobosan mendongkrak penerimaan negara, dengan menggunakan teknologi informasi dan intelijen. Menurutnya, ini penting sekali agar pemerintah bisa menjaga belanja perlindungan sosial, kesehatan dan riset penemuan obat dan vaksin, selain belanja penting lainnya.
https://republika.co.id/berita/qz1l0s318/ppkm-lambat-dradjad-sarankan-booster-vaksinas-berbayar
- Hits: 794
Dradjad : Belum ada Dasar Kuat untuk Longgarkan PPKM
Sabtu, 07 Agustus 2021 | 17:27 WIB
Dradjad Wibowo mengatakan berdasarkan kajian dari sudut pandang ekonomi kesehatan, PPKM masih perlu dilanjutkan. Tapi harus dievaluasi efektifitas pelaksanaan PPKM, serta dipastikan bantuan sosial bisa dirasakan masyarakat terdampak.
Untuk menjawab pertanyaan masih perlu tidaknya PPKM perlu dilanjutkan atau tidak jika dikaji dari sudut pandang ekonomi kesehatan, Dradjad mengatakan, ia merujuk pada artikelnya yang berjudul “When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy.” BMC Public Health 21, 1037 (2021).
Dalam artikel ini, kata Dradjad, ia memakai elastisitas produksi kesehatan sebagai salah satu tolok ukur menentukan “status transmisi”, dan memutuskan apakah pembatasan sosial bisa dilonggarkan. "Jika elastisitasnya 1 atau kurang, kita bisa mempertimbangkan pelonggaran pembatasan sosial seperti PPKM,” kata Dradjad.
Untuk kasus di Indonesia, kata Dradjad, pada Mei hingga pertengahan Juni 2021, elastisitas ini masih bergerak antara 1.1-2.0. Artinya, belum aman, masih di zona kuning elastisitas dan berisiko masuk ke zona merah.
Selama bulan Juli 2021, elastisitas ini tinggi sekali, naik dari sekitar 5, dan mencapai puncak sebesar 9,61 pada pertengahan Juli. Pada pekan pertama Agustus 2021, elastisitas ini sudah turun ke sekitar 5.
Jadi, kata Dradjad, dari sisi elastisitas produksi kesehatan, belum ada dasar yang kuat untuk melonggarkan PPKM. "Kita masih jauh berada di dalam zona merah elastisitas. Bahkan dibanding dengan kondisi bulan Mei pun masih jauh. Apalagi, kasus di luar Jawa sekarang melonjak,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Masalahnya, lanjut Dradjad, setelah satu bulan lebih PPKM, bagaimana dengan daya tahan ekonomi rakyat, khususnya yang tergolong ekonomi lemah? Di sisi lain, negara tidak mempunyai dana cukup untuk membantu ekonomi rakyat.
Dibanding dengan keputusan PPKM sebelumnya, menurut Dradjad, keputusan 9 Agustus nanti sangat jauh lebih krusial. Dampaknya akan jauh lebih besar.
"Rekomendasi saya, sesuai artikel ilmiah di atas adalah pertama, memperpanjang PPKM namun dengan evaluasi kritis, mengapa PPKM sudah selama ini tapi jumlah kasus tetap tinggi?” ungkap Dradjad.
Kedua, menurut Dradjad, pemerintah harus melakukan terobosan fiskal dalam waktu singkat. Ini dimaksudkan agar negara mempunyai dana cukup untuk menjaga ekonomi rakyat.
Ketiga, pemerintah juga harus menjalankan program ekonomi sangat khusus, yang memang langsung dirasakan masyarakat terdampak. "Saran saya, Presiden memerintahkan evaluasi cepat, seberapa efektif dana bansos dan berbagai dana lainnya itu dirasakan oleh masyarakat terdampak,” kata Dradjad yang fokus melakukan kajian ekonomi covid ini.
Disinggung tentang rincian dari usul kedua dan ketiga ini, Dradjad mengatakan tidak bisa saya sampaikan terbuka melalui media. Alasannya karena sensitififas politiknya tinggi.
"Saya memang masih unsur pimpinan di PAN. Namun terkait pandemi ini, saya lepaskan dulu politik jauh-jauh. Prioritasnya adalah bagaimana pandemi ini bisa segera kita atasi,” kata Dradjad.
Link Berita : https://republika.co.id/berita/qxgt1t318/dradjad-belum-ada-dasar-kuat-untuk-longgarkan-ppkm
- Hits: 792
Biaya Tindakan Kesehatan Publik Mahal, Mas Dradjad Mengusulkan Ini kepada Pemerintah
Sabtu, 24 Juli 2021 – 17:23 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Senior Indef Dradjad H Wibowo menyebut tindakan kesehatan publik (TKP) seperti lockdown hingga PPKM demi menekan penularan Covid-19 di Indonesia, tidak bisa dilakukan pemerintah terus-menerus.
Menurut dia, TKP memakan biaya besar dan mengganggu pendapatan rakyat yang penghasilannya harian.
"Tidak bisa melaksanakan TKP terus-menerus. Biaya besar dan masyarakat terganggu ekonominya. Terutama masyarakat kelas bawah," kata Dradjad saat diskusi Bikin Risol JPNN.com bertema Eropa Sudah Angkat Piala, Bagaimana Indonesia yang disiarkan di YouTube, Sabtu (24/7).
Menurut eks anggota Komisi XI DPR itu, pemerintah harus memikirkan solusi percepatan vaksinasi Covid-19 sebagai upaya menanggulangi pandemi.
Walakin, Dradjad menyadari vaksinasi bukan solusi final dan menyeluruh. Tetapi, langkah itu terbaik diterapkan di tanah air.
"Itu pilihan terbaik yang kita miliki," ucapnya.
Pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu menuturkan bahwa vaksinasi dari beberapa studi mampu mengurangi tingkat kesakitan seseorang jika terjangkiti Covid-19.
Masih dalam studi, vaksinasi juga mampu mengurangi tingkat kematian akibat Covid-19.
Dradjad H Wibowo kemudian membeberkan studi di Amerika Serikat tentang vaksinasi di mencegah 279 ribu kematian akibat Covid-19 di Negeri Paman Sam.
"Tanpa vaksinasi, pada akhir Juni 2021 akan ada 279 ribu kematian dan 1,25 juta orang harus dirawat di rumah sakit. Tingkat kematian akan naik 4,5 ribu per hari," bebernya.
Ke depan, Dradjad berharap pemerintah mempercepat pelaksanaan vaksinasi. Selain itu, berikan gambaran utuh kepada masyarakat tentang vaksin.
"Satgas Covid-19 sampai Kemenkes, supaya masyarakat mendapat gambaran akurat tentang vaksinasi. Vaksinasi bukan berarti kita tidak tertulari, tetapi vaksinasi ini mengurangi tingkat kematian dan perawatan di RS," tutur alumnus Institut Pertanian Bogor itu. (ast/jpnn)
- Hits: 743
More Articles …
- Pemerintah Disarankan Buat Tim Konten Melawan Narasi Konspirasi Tentang Vaksin
- Kasus Covid-19 Masih Tinggi, Ekonom Senior: Tindakan Kesehatan Publik Perlu Biaya Besar
- PPKM Dilanjut, Dradjad: Siapkan Paket Bagi Pekerja Terdampak
- Wahai Menkes, Ini Ada Saran dari Eks Petinggi BIN soal Vaksinasi Berbayar
Page 1 of 8