PSBB Dierpanjang, Dradjad Wibowo : PSBB Terbukti Tidak Berhasil, Anies Perlu Lobi Pemerintah Pusat

 

 

25/01/2021

Sandi Suryadinata

Jakarta, JurnalUtara.com – Kondisi penularan Covid-19 di Jakarta yang masih meninggi, mendorong Gubernur DKI Jakarta memperpanjang PSBB yang diperketat. Keputusan perpanjangan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 51 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan, Jangka Waktu dan Pembatasan Aktivitas Luar Rumah PSBB yang diteken per 22 Januari lalu. Perpanjangan ini berlaku mulai tanggal 26 Januari hingga 8 Februari 2021.

Perpanjangan ini telah menarik perhatian Ketua Dewan Pakar DPP Partai Amanat Nasional, Dr. Dradjad H. Wibowo. Ekonom yang juga banyak mendalami masalah pandemi Covid-19 ini, dalam releasenya melalui WA kepada JurnalUtara.com menyatakan bahwa PSBB maupun PPKM terbukti tidak berhasil mengatasi transmisi Covid-19. Menurutnya, Jakarta itu sudah mendesak sangat perlu tindakan kesehatan publik (TKP) yang ketat sekali. Beliau juga menyarankan untuk beberapa hari dilakukan penutupan perkantoran, pusat perbelanjaan, dan restoran.

“Sebenarnya PSBB maupun PPKM sudah terbukti tidak berhasil mengatasi transmisi COVID-19, baik di DKI maupun daerah lain. Ini karena baik pemerintah maupun masyarakat tidak disiplin. Lihat saja masyarakat masih bebas berinteraksi, bahkan banyak yang melepas maskernya. Di sisi lain, negara juga tidak disiplin mendidik masyarakat, misalnya tentang risiko penularan,” ujar pakar yang akrab disapa sebagai Mas Dradjad atau Mas DW.

“Jakarta itu sudah mendesak sangat perlu tindakan kesehatan publik (TKP) yang ketat sekali. Malah untuk hari-hari sekarang, saya merasa penutupan perkantoran, pusat perbelanjaan, restoran itu menjadi sangat penting,” lanjutnya.

Dradjad Wibowo memahami bahwa Gubernur DKI Jakarta tidak mudah memberlakukan aturan yang ketat karena kewenangan tidak sepenuhnya di tangan. Beliau menyarankan dua hal, yakni: (1) Agar pemerintah provinsi DKI Jakarta melakukan lobby semaksimal mungkin ke pemerintah pusat, agar disadari bahwa Jakarta perlu TKP yang ketat. (2) Memperbanyak edukasi ke masyarakat tentang risiko-risiko penularan.

“Saya paham sekali Gubernur Anies tidak bebas memberlakukan aturan yang ketat karena kewenangan ada di Pusat. Jadi saran saya dua, satu, tolong lobby semaksimal mungkin ke pemerintah pusat agar menyadari bahwa Jakarta perlu TKP yang ketat. Dua, perbanyak edukasi ke masyarakat tentang risiko-risiko penularan. Keliling Jakarta untuk mengingatkan orang2 yang membuka maskernya.

 

 

  • Hits: 545

Dradjad : Perlu Transparasi Ilmiah dalam Vaksin

 

Selasa 12 Jan 2021 07:10 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef, Dradjad Wibowo mengatakan menyambut baik pengumuman Kepala BPOM Penny K. Lukito tentang efikasi CoronaVac, vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac. Namun ia menyarankan adanya transparansi ilmiah dalam hal vaksin.

"Saya juga menyambut baik pengumuman Menkes Budi Sadikin bahwa program vaksinasi akan dimulai Rabu besok, di mana Presiden Jokowi menjadi penerima pertama,” kata Dradjad dalam pesan watsapp-nya kepada republika.co.id, Selasa (12/1)

Dengan penerbitan EUA oleh BPOM, menurutnya, Indonesia menjadi negara pertama di luar China yang secara resmi menyetujui penggunaan CoronaVac. "Tentu ada implikasi geopolitisnya, tapi saya tidak akan membahasnya sekarang,” ugkapnya.

Vaksinasi massal, apalagi dalam waktu bulanan, kata Dradjad, merupakan pekerjaan besar. Selain masalah teknis seperti kecukupan vaksin, logistik dan kesiapan SDM, yang sangat krusial adalah kepercayaan publik.

Sebagai ilmuwan yang meneliti pandemi ini dari sisi ekonomi kesehatan, Dradjad  mengingatkan bahwa salah satu kunci vital bagi kepercayaan publik adalah transparansi ilmiah. Sudah bersikap transparan saja terkadang masih belum cukup, apalagi jika kurang transparan.

Untuk itu Dradjad menyarankan agar Menkes dan Kepala BPOM merilis data uji klinis fase 3 yang lebih lengkap. "Saya cek berbagai sumber, termasuk situs setkab, tidak ada data tentang jumlah peserta penerima vaksin dan plasebo, serta berapa yang terinfeksi di masing-masing kelompok. Datanya langsung ke efikasi,” papar Dradjad.

Tanpa data di atas, menurutnya, sulit untuk mengetahui //attack rate dari setiap kelompok. Apalagi tidak sedikit tokoh masyarakat, termasuk akademisi, yang belum tepat pemahamannya tentang angka efikasi vaksin.

Dradjad menyebut menemukan berita  di //Reuters, sumber di BPOM menyebut jumlah infeksi 25. Jika benar demikian, kata Dradjad, berdasarkan efikasi 65,3%, jika dihitung jumlah penerima vaksin yang terinfeksi sekitar 6 orang. Sementara dari kelompok plasebo sekitar 19 orang. Asumsinya adalah peserta vaksin dan plasebo sama jumlahnya.

Dradjad menyarankan angka tersebut sebaiknya diumumkan resmi oleh Menkes dan BPOM. Tentu perlu diberi penjelasan bahwa semua vaksin memang seperti itu. Tetap ada penerima vaksin yang masih rawan terinfeksi. Karena itu, prokes tetap harus dijalankan dengan disiplin meski sudah menerima vaksin.

Transparansi ilmiah ini, menurutnya, sangat penting. Menurutnya wajar ada keraguan bahkan penolakan vaksin di masyarakat. Terlebih banyak tulisan ngawur dan tidak ilmiah yang beredar di medsos.

Dipaparkannya, sejak dulu di seluruh dunia selalu ada saja kelompok “anti vaxxers”. Pada tahun 1885 saat epidemi cacar air di Montreal masih mematikan, ada dokter bernama Alexander M. Ross yang justru menjadi penentang utama vaksin cacar.  Padahal tingkat kematian akibat cacar air saat itu sangat tinggi, antara 30-40%.

"Argumen yang dipakai juga sama. Yaitu, tidak percaya adanya pandemi, penyakitnya tidak berbahaya, vaksin justru dianggap lebih berbahaya dan sebagainya,” ungkap Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Faktanya, kata Dradjad, dunia berhasil memberantas cacar air dengan vaksinasi sebagai program utama. Lebih telak lagi, Dr Ross ternyata juga memilih disuntik vaksin.  "Jadi, pak Menkes dan bu Kepala BPOM, mari kita bangun kepercayaan publik dengan transparansi ilmiah. Tolong keluarkan data lengkapnya,” ungkapnya.

Link berita : https://republika.co.id/berita/qmsohm318/dradjad-perlu-transparansi-ilmiah-dalam-vaksin

 

  • Hits: 590

Akibat tak Disiplin, Dradjad : Pandemi, Resesi, Utang Nambah

 

Jumat 15 Jan 2021 17:25 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Wibowo menyebut, akibat tidak disiplin dalam tindakan kesehatan maka pandemi Covid-19 di Indonesia tidak juga selesai, resesi ekonomi terjadi, dan utang luar negeri bertambah.

Dradjad mengatakan, banyak hal yang perlu diwaspadai dari statistik utang luar negeri (ULN) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI). “Tapi saya akan fokus ke efektivitas utang luar negeri dalam mengendalikan pandemi dan memulihkan ekonomi.” Kata Dradjad menjawab pertanyaan Republika.co.id, Jumat (14/1)

Dijelaskannya, hanya dalam waktu empat bulan selama April-Juli 2020, untuk mebiayai APBN 2020 dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama pandemi Covid-19, Kemenkeu menerbitkan 11 surat berharga negara (SBN) internasional. Total nilainya mencapai 7 miliar dan 2 juta dolar US atau USD 7.002 juta. “Dalam rupiah sedikit di atas Rp 98 triliun,” jelasnya.

Di sisi lain, posisi ULN pemerintah per November 2020 naik sebesar USD 22.74 miliar atau sekitar Rp 318 triliun jika dibandingkan posisi Maret 2020 pada saat Indonesia resmi mengonfirmasi kasus Covid-19. Posisi yang melonjak ini, kata Dradjad, lebih disebabkan oleh kembalinya asing memegang SBN Indonesia. Secara netto, jika dibandingkan dengan Januari/Februari 2020, posisi asing di SBN relatif sedikit turun.

Justru yang menarik, kata politikus PAN ini, ULN dari kreditor pemerintah dan lembaga internasional naik sekitar USD 3 miliar selama bulan-bulan tersebut. “Pertanyaannya, efektifkan tambahan ULN mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi?” ungkap Dradjad.

Jika dibandingkan dengan Vietnam dan Taiwan, menurut Dradjad, Indonesia tidak disiplin menjalankan tindakan kesehatan publik. Penyebabnya, karena khawatir ekonomi terpuruk.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi -5,32% di kuartal II/2020 dan -3,49% di kuartal III/2020. “Kita terkena resesi,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Sementara, Vietna, tumbuh positif terus selama tiga kuartal 2020, yaitu 3,82%, 0,39% dan 2,62%. Taiwan tumbuh negatif di kuartal II/2020, yaitu -0,58%. Tapi di kuartal III, Taiwan sudah pulih, tumbuh 1,59%.

Dalam hal pandemi Covid-19, hingga 6 Desember 2020, jumlah kasusu di Vietnam hanya 1.365, Taiwan 693. Jika dihitung per 100 ribu penduduk, jumlah kasus di Indonesia itu 72-149 kali lipat Vietnam dan Taiwan. Jumlah yang meninggal per 100 ribu penduduk di Indonesia 161-214 kali lipat di dua negara tersebut.

“Artinya apa? Karena pemerintah dan rakyat disiplin menjalankan tindakan kesehatan publik, Vietnam dan Taiwan berhasil mengendalikan pandemi dan sekaligus memulihkan ekonomi,” papar Dradjad.

Sebaliknya Indonesia, harus diakui, pemerintah dan rakyat tidak disiplin dengan tindakan kesehatan publik. Akibatnya, kata Dradjad, pandemi belum terkendali, ekonomi malah resesi. Sementara, utang luar negero pemerintah bertambah banyak.

“Bahasa gampangnya, sudah pandemi, kena resesi, utang nambah pula. Itu semua karena kita tidak disiplin,” ungkap Dradjad.

Link Berita : https://republika.co.id/berita/qmz0yp318/akibat-tak-disiplin-dradjad-pandemi-resesi-utang-nambah

 

  • Hits: 773

Apa Itu “Efikasi” Vaksin Covid-19?

 

Jumat 15 Jan 2021 11:16 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masalah efikasi menjadi hal yang banyak diperbincangkan di media massa maupun media sosial. Sebenarnya apa sih maksud efikasi vaksin?’

Secara singkat ekonom Indef Dradjad Wibowo, yang konsen terhadap masalah pandemi Covid-19 dari aspek ekonomi menjelaskan.

Dari satu populasi yg sama, diambil kelompok A dan B.

Kelompok A diberi treatment. Setelah beberapa waktu, dicek berapa yang tertular. Kelompok B tidak diberi treatment. Istilahnya placebo. Dihitung juga berapa yang tertular.

Semua individu di kelompok A dan B tidak tahu apakah mereka mendapat treatment atau placebo. Itu sebabnya uji cobanya disebut “blind”.

Katakanlah di kelompok A ada 1% yang tertular (terinfeksi), di kelompok B yang tertular 20%. Artinya treatment membuat penularan turun 95%. Hitungannya = (20-1)/20 = 95%. Jadi efikasinya 95%.

Jadi yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah penularan di setiap kelompok. Dalam contoh di atas, orang yang diberi treatment (misalkan divaksin) mempunyai risiko tertular 1%. Istilahnya adalah attack rate di kelompok treatment.

Attack rate di kelompok placebo adalah 20%.

Untuk CoronaVac, ada yang membaca bahwa dengan efikasi 65.3% maka ada risiko penularan 34.7%. Itu bacaan yang salah. Masalahnya, kita tidak tahu berapa attack rate karena data lengkapnya tidak diumumkan BPOM.

Sewaktu wawancara dengan Republika.co.id, Dradjad meminta datanya diumumkan. Karena dengan tranparansi, lebih mudah untuk membangun kepercayaan publik. Dengan tahu attack rate, maka masyarakat bisa diedukasi.

Edukasinya adalah “Meskipun sudah divaksin, tetap ada risiko sangat kecil untuk tertular. Jadi prokes harus dijalankan dengan disiplin. Dan kalaua da yang positif meski sudah divaksin, bukan berarti vaksinasi gagal total.”

Link berita : https://republika.co.id/berita/qmyjvl318/apa-itu-efikasi%E2%80%99-vaksin-covid-19

 

  • Hits: 605

Dradjad: Tak Usah Berlebihan Menilai Vaksin Nusantara

 

Sabtu 17 Apr 2021 11:57 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Wibowo meminta agar tidak mengambil sikap berlebihan terhadap vaksin sel dendritik atau dikenal sebagai vaksin nusantara. Baik menilai seolah vaksin nusantara itu hebat  sekali atau jelek sekali.

“Kita biarkan riset ilmiah untuk menjawabnya,” kata ekonom yang sedang mengkaji covid-19 dari perspektif ekonomi ini, Sabtu (17/4).

Menurut Dradjad silakan saja riset vaksin Nusantara dilakukan, tapi harus disikapi dengan objektif. Jika memang hasilnya bagus harus disampaikan bagus. Kalau hasilnya secara ilmiah jelek ya harus disampaikan jelek.

“Yang saya minta adalah posisi objektif dari semua kalangan terhadap inovasi-inovasi ini,” ungkap Dradjad.

Dradjad mengatakan menemukan informasi temukan di
Good Clicicl Practice Network. Disebutkan bahwa baru akan mulai fase adaptif I, II, yang dilakukan Aivita Biomedical, yang dimulai pada Februari 2021. Nanti selesainya Februari 2022.

“Tapi melihat dari yang dilakukan Aivita Biomedical, sebenarnya vaksin ini masih lama,” kata Dradjad.

Dradjad mengatakan menjamin ketersediaan vaksin dan obat untuk mengatasi pandemi Covid-19, adalah kebutuhan mutlak. Hal ini karena Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan, tapi juga ekonomi dan pertahanan dan keamanan nasional. “Jadi sudah sangat strategis bagi kepentingan nasional,” kata Dradjad.

Dicontohkannya, di sisi ekonomi, pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, sangat tergantung pada pergerakan orang. Jika pergerakan orang terganggu karena covid, terutama investor, pebisnis, rumah tangga konsumen, maka ekonomi akan terganggu.

Dalam hal pertahanan keamanan, lanjut Dradjad, vaksin dan obat covid-19, sudah menjadi ‘senjata’ dalam percaturan politik global. Jika Indonesia tidak mempunyai ketersediaan vaksin dan obat yang cukup, maka Indonesia akan tergantung pada negara lain, sehingga kepentingan nasional sangat rawan terhadap pengaruh dari berbagai negara lain.

Jadi untuk menjaga agar perekonomian Indonesia tetap tumbuh dengan baik, dan dari sisi strategis pertahanan keamanan nasional bisa independen, menurut Dradjad, Indonesia harus all out untuk urusan ketersediaan vaksin dan obat.

Dradjad menilai langkah pemerintah melakukan kontrak dengan sinovac sudah tepat. Hal penting adalah Indonesia bisa segera melakukan vaksinasi. Banyak negara yang tidak bisa vaksinasi.

Namun Dradjad mengingatkan langkah ini masih jauh dari mencukupi. Hal ini karena dampak positif vaksin ini terhadap imunitas orang bukan beberapa tahun. Artinya, orang yang sudah divaksin atau penyintas akan memerlukan vaksin lagi setelah beberapa waktu. Sehingga kebutuhan akan vaksin ini akan terus menerus ada.

Di sisi lain, lanjut Dradjad, Indonesia juga harus mengupayakan ada obat, sehingga covid-19 nantinya akan seperti flu biasa. “Jadi kalau orang sakit dikasih obat ya sembuh, seperti penyakit-penyakit biasa,” paparnya.

Agar ini bisa terwujud, menurut Dradjad, syarat mutlaknya adalah riset. Indonesia harus investasi besar dalam hal riset. Karena itulah, Dradjad mendukung semua riset untuk Indonesia bisa memiliki vaksin sendiri.

Diungkapkan Dradjad, saat ini sudah ada upaya vaksin merah putih. Vaksin ini harus dipercepat, dana maupun fasilitas perlu disiapkan. Termasuk, lanjut Dradjad, vaksin yang berbasis sel dendritik atau dikenal sebagai vaksin nusantara. Terhadap inovasi ini, kata Dradjad, sebaiknya tidak diambil sikap berlebihan. Baik seolah vaksin ini hebat ataupun vaksin jelek sekali.

https://republika.co.id/berita/qror25318/dradjad-tak-usah-berlebihan-menilai-vaksin-nusantara

 

  • Hits: 929

Page 7 of 8

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id