Kepentingan Terancam, Pengadaan Vaksin Harus All Out

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia disarankan harus all out untuk urusan ketersediaan vaksin dan obat Covid-19. Hal ini karena   Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan, tapi juga ekonomi dan pertahanan dan keamanan nasional.

Ekonom Indef, Dradjad Wibowo mengatakan menjamin ketersediaan vaksin dan obat untuk mengatasi pandemi Covid-19, adalah kebutuhan mutlak. Hal ini karena Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan, tapi juga ekonomi dan pertahanan dan keamanan nasional. “Jadi sudah sangat strategis bagi kepentingan nasional,” kata Dradjad dalam perbincangan dengan Repubika.co.id, Sabtu (17/4).

Dicontohkannya, di sisi ekonomi, pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, sangat tergantung pada pergerakan orang. Jika pergerakan orang terganggu karena covid, terutama investor, pebisnis, rumah tangga konsumen, maka ekonomi akan terganggu.

Dalam hal pertahanan keamanan, lanjut Dradjad, vaksin dan obat covid-19, sudah menjadi ‘senjata’ dalam percaturan politik global. Jika Indonesia tidak mempunyai ketersediaan vaksin dan obat yang cukup, maka Indonesia akan tergantung pada negara lain, sehingga kepentingan nasional sangat rawan terhadap pengaruh dari berbagai negara lain.

Jadi untuk menjaga agar perekonomian Indonesia tetap tumbuh dengan baik, dan dari sisi strategis pertahanan keamanan nasional bisa independen, menurut Dradjad, Indonesia harus all out untuk urusan ketersediaan vaksin dan obat.

Pembina Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI) ini  menilai langkah pemerintah melakukan kontrak dengan sinovac sudah tepat. Hal penting adalah Indonesia bisa segera melakukan vaksinasi. Banyak negara yang tidak bisa vaksinasi.

"Memang efikasinya sinovac ini relatif rendah dibanding vaksin moderna, tapi kalau saya ibaratkan kalau kita belum bisa mendapatkan mobil kebakaran yang bagus, sementara yang tersedia baru tong air, mau gak mau itu yang kita pakai. Ini supaya kita bisa mengurangi kobaran apinya,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Sinovac, kata Dradjad, memang bukan vaksin covid terbaik. Tapi yang penting adalah yang sudah ada dipakai lebih dulu. Sehingga dari sisi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan dan kepentingan strategis, Indonesia bisa mengurangi dampak negatif pandemi covid 19.

Namun Dradjad mengingatkan langkah ini masih jauh dari mencukupi. Hal ini karena dampak positif vaksin ini terhadap imunitas orang bukan beberapa tahun. Artinya, orang yang sudah divaksin atau penyintas akan memerlukan vaksin lagi setelah beberapa waktu. Sehingga kebutuhan akan vaksin ini akan terus menerus ada.

Di sisi lain, lanjut Dradjad, Indonesia juga harus mengupayakan ada obat, sehingga covid-19 nantinya akan seperti flu biasa. “Jadi kalau orang sakit dikasih obat ya sembuh, seperti penyakit-penyakit biasa,” paparnya.

Agar ini bisa terwujud, menurut Dradjad, syarat mutlaknya adalah riset. Indonesia harus investasi besar dalam hal riset. Karena itulah, Dradjad mendukung semua riset untuk Indonesia bisa memiliki vaksin sendiri.

Diungkapkan Dradjad, saat ini sudah ada upaya vaksin merah putih. Vaksin ini harus dipercepat, dana maupun fasilitas perlu disiapkan. “Saya dengar ada beberapa kesulitan krusial, itu harus kita atasi agar vaksin merah putih bisa segera selesai fase uji klinisnya,” kata Dradjad.

Termasuk, lanjut Dradjad, vaksin yang berbasis sel dendritik atau dikenal sebagai vaksin nusantara. Terhadap inovasi ini, kata Dradjad, sebaiknya tidak diambil sikap berlebihan. Baik seolah vaksin ini hebat ataupun vaksin jelek sekali.

Terkait dengan obat covid, Dradjad mengatakan Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang luar biasa. Dradjad yakin dari biodiversitas ini ada material yang bisa dijadikan obat. “Hanya kita harus kerja keras, rajin mencari, melakukan riset, memfasilitasi riset,” kata Dradjad.

Jika Indonesia bisa menemukan obat covid-19, maka itu akan menjadi kekuatan ekonomi, kekuatan strategis, pertahanan keamanan yang luar biasa besar. Karena obat ini akan dibutuhkan oleh semua orang di dunia.

https://republika.co.id/berita/qroq9e318/kepentingan-terancam-pengadaan-vaksin-harus-all-out

  • Hits: 929

Sebuah Rekam Jejak Vaksinasi Tulisan kedua dari seri “Pemulihan Ekonomidan Vaksinasi”

 

Dradjad H. Wibowo

Ekonom senior INDEF, Ketua Dewan Pakar PAN, Ketua Umum IFCC

 

Saya mengetahui betul seseorang yang sudah dua kali disuntik vaksin CoronaVac dari Sinovac. Atas ijin yang bersangkutan, dengan tetap menjaga privasi, rekam jejak vaksinasinya saya tulis untuk edukasi publik. Saya memang meneliti COVID-19 dari sisi ekonomi dan model matematikanya. Salah satu pracetak tulisan saya dimasukkan EuropePMC dan the World Pandemic Research Network. Karena itu, saya harus banyak membaca dan menulis riset tentang COVID-19.

Awalnya orang tersebut ragu mengikuti program vaksinasi. Penyebabnya, Sinovac tidak transparan mengenai hasil uji klinis fase 3-nya.  Saya kemudian merujuknya ke tulisan Prof. Yanjun Zhang et alyang berjudul “Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine in healthy adults aged 18-59 years: a randomized, double-blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial”.  Artikel ini diterbitkan online oleh The Lancet Infectious Diseases pada 17/11/2020.

Temuan penting artikel tersebut, pertama, efek samping dari CoronaVac tergolong ringan dan hanya dialami oleh 13-35% dari penerima vaksin. Efek samping terbanyak adalah nyeri di sekitar titik penyuntikan. Ada satu kasus urtikaria yang cukup berat, tapi sembuh setelah 3 hari diobati. Urtikaria itu ruam merah, gatal, disertai peninggian permukaan kulit.

Kedua, dalam uji klinis fase 2, laju serokonversi untuk neutralising antibodies (NAbs) bervariasi antara 92,4%-100%. Untuk immunoglobulin G (IgG) spesifik terhadap receptor binding domain (RBD), angkanya 96,5%-100%.  Serokonversi adalah pengembangan antibodi dalam tubuh hingga mencapai jumlah yang terdeteksi. Antibodi jenis IgG mengikat virus pada RBD-nya. NAbs adalah antibodi yang mengikat dan menetralisasi virus sehingga tidak mampu menginfeksi sel tubuh. Dalam vaksinasi berinterval 14 hari, antibodi diukur 14 dan 28 hari paska suntikan kedua (PSD). Dalam vaksinasi berinterval 28 hari, pengukurannya 28 hari PSD.

Jadi menurut artikel tersebut, CoronaVac aman dan efektif. Orang tersebut akhirnya ikut vaksinasi, dan melakukan sendiri beberapa prosedur. Pertama, dia memonitor efek samping selama 7 hari setelah disuntik. Kedua, dia jalankan prosedur kesehatan ekstra ketat untuk menjamin hanya vaksin, dan bukan infeksi, yang memicu antibodinya. Ketiga, dia lakukan uji serologi kualitatif (USK)7-14 hari PSD, dan uji serologi kuantitatif (USKn) setelah 14 hari PSD.

Orang tersebut tidak mengalami efek samping yang serius. Hanya sedikit pegal di area penyuntikan selama 2-3 jam. Hasil USK-nya nonreaktif. Artinya, dia belum punya antibodi pada 7-14 hari PSD. USKn dilakukan dengan metode ECLIA, atau electro chemiluminescence immunoassay, dengan target antigen S-RBD. S ini spike protein. Yang diukur adalah jumlah total antibodi. Hasilnya, antibodi dia di atas 5 kali lipat ambang batas. Singkat kata, vaksinasi dia berhasil.

Politik strategis

Saya tidak tahu berapa banyak penerima vaksin yang berhasil seperti orang tersebut. Seharusnya pemerintah mendata semuanya, atau minimal meriset sampelnya. Ini agar kita mempunyai data valid tentang perkembangan imunitas kawanan (herd immunity) dari vaksinasi. Data tersebut sangat berguna bagi penanganan pandemi dan pemulihan kepercayaan konsumen, bisnis dan investor.

Vaksin memang menjadi harapan utama bagi pengendalian pandemi, selain obat dan tindakan medis. Vaksinasi semakin penting karena Indonesia tidak disiplin dengan tindakan kesehatan publik (TKP) seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sejak Maret 2020 saya sering sampaikan, pemulihan ekonomi itu tergantung pandemi. Karena itu, TKP harus dijalankan dengan disiplin.

Tapi karena takut ekonomi merosot, kita tidak disiplin. Dalam tulisan pertama saya tentang “Pemulihan ekonomi dan vaksinasi”, saya tunjukkan bagaimana kedisiplinan Vietnam dan Taiwan membuat pandemi terkendali dan ekonomi pulih. Sementara Indonesia, pandemi memburuk, ekonominya resesi.

Karena saya tidak yakin pemerintah dan rakyat bakal disiplin, mau tidak mau vaksin menjadi andalan. Soal vaksin, upaya pemerintah menjamin ketersediaannya patut diapresiasi. Upaya ini tidak mudah karena vaksin dan obat COVID-19 sudah menjadi komoditi strategis seperti minyak. Negara-negara maju memborong vaksin untuk rakyatnya agar kehidupan ekonomi dan sehari-hari segera pulih. Akibatnya nasionalisme vaksin pun bermunculan.

Karena itu kerjasama pemerintah dengan Sinovac, Novavax, AstraZeneca/Oxford, dan Pfizer/BioNTech, serta COVAC yang difasilitasi WHO, GAVI dan CEPI adalah langkah yang tepat. Kontrak dini dengan Sinovac dan peran Bio Farma sebagai pabrik fill finish membuat Indonesia mampu menghadapi nasionalisme vaksin.

Namun, kita tidak boleh hanya tergantung pada Sinovac. Vaksin COVID-19 ini diduga mirip dengan vaksin flu, imunitasnya tidak bertahan multi-tahun. Jadi setiap tahun Indonesia bakal butuh ratusan juta dosis vaksin. Karena itu pengembangan vaksin Merah Putih bukan lagi hanya prioritas kesehatan. Dia sudah menjadi prioritas politik, pertahanan, keamanan dan ekonomi nasional.

Kebijakan ekonomi

Terus terang saya sulit memahami kebijakan ekonomi pemerintah. Yang sering saya kritisi adalah lemahnya pengendalian pandemi sebagai kunci utama pemulihan ekonomi. Tapi ada juga beberapa hal lain.

Contohnya, harapan yang tidak realistis terhadap serapan anggaran. Presiden Jokowi beberapa kali marah tentang ini. Di Bandung (11/8/2020) Presiden menyebutkan, kecepatan penyerapan anggaran Juli-September menjadi kunci agar kita tidak masuk resesi.

Saya tidak tahu masukan apa yang diberikan kepada Presiden dan oleh siapa. Serapan anggaran harus baik, itu jelas. Tapi serapan anggaran sebagai andalan mencegah resesi? Wow! Kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto itu hanya sekitar 9%. Rinciannya 9,53% (2016), 9,12% (2017), 9,02% (2018), 8,81% (2019), dan 9,29% (2020). Angka ini naik ke sekitar 12% pada kuartal ke-4 karena biasanya serapan melonjak di akhir tahun.Untuk Q4/2020, kontribusinya 12,26%.

Karena itu, mau digenjot berapapun serapan anggaran sulit menjadi andalan mencegah resesi. Kecuali, jika dia mampu memicu konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (investasi). Sayangnya, saya melihat pengeluaran pemerintah 2020 tidak mampu. Buktinya, saat pengeluaran pemerintah tumbuh 9,76%pada Q3/2020, konsumsi tetap terkontraksi -4,05% (Q3) dan -3,61% (Q4). Dua pos konsumsi terbesar, yaitu makanan/minuman dan transportasi/komunikasi, terus terkontraksi. Konsumsi makanan/minuman bahkan makin besar anjloknya, dari -0,69% (Q3) menjadi -1,39% (Q4). Konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga justru turun pertumbuhannya dari 2,36% (Q2) menjadi 1,82% (Q3) dan 0,71% (Q4).

Terhadap investasi juga sama. Pengeluaran investasi tetap terkontraksi lebih dari -6% pada Q3-Q4/2020. Bangunan justru membesar anjloknya, dari -5,26% (Q2) menjadi -5,60% (Q3) dan -6,63% (Q4). Padahal bangunan adalah pos terbesar dari investasi (76%). Pos kedua terbesar, yaitu mesin dan perlengkapan (9,74%), lebih drastis anjloknya, dari -12,86% (Q2) menjadi -21,01% (Q3), meski membaik ke -7,57% (Q4).

Saya juga tidak habis pikir melihat sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) sampai Rp 234,7 triliun, sementara utang pemerintah bertambah Rp 1257 triliun di tahun 2020. Penghentian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik juga aneh, mengingat pada awal tahun konstruksi sudah terlihat melemah. Sinyal ini terkonfirmasi oleh data pertumbuhan 2,90% (Q1), atau setengah dari tahun 2019. Selama Q2-Q4/2020 sektor konstruksi anjlok -4,5% sampai -5,7%. Saya tidak tahu berapa kontribusi dari penghentian DAK Fisik. Yang jelas, DAK Fisik sangat membantu konstruksi di daerah. Banyak rakyat yang bisa makan darinya. Wacana pengendalian BI dan OJK oleh Kementerian Keuangan lebih aneh lagi. Memangnya wacana ini bisa mengatasi pandemi dan mencegah resesi?

Ada beberapa hal lain sebenarnya. Tapi, mari bicara perbaikan ke depan. Saran saya, pertama, jadikan vaksinasi dan pengendalian pandemi sebagai motor pemulihan ekonomi. Untuk itu kita perlu riset dan edukasi publik besar-besaran. Riset seperti tentang imunitas kawanan hasil vaksinasi, efektifitas vaksin terhadap berbagai varian, pengembangan vaksin dan obat, mutlak kita butuhkan.

Rakyat juga perlu dididik bahwa setelah divaksin, mereka masih mungkin sakit selama antibodi belum muncul dan atau ada varian yang baru. Selain itu, perlu edukasi melawan bualan anti-vaksinasi. Rakyat perlu diberi tahu, sekitar 136 tahun yang lalu di tengah epidemi cacar, dokter Alexander M. Ross dari Montreal menyebar pamflet anti vaksinasi. Argumennya mirip dengan sekarang. Mulai dari konspirasi Rusia hingga menganggap remeh cacar meski mortalitasnya 30-40%, jauh di atas COVID-19. Faktanya, dengan vaksinasi umat manusia akhirnya berhasil membasmi epidemi cacar. Satu lagi, dr Ross ternyata ikut divaksin.

Kedua, pulihkan kepercayaan konsumen, bisnis dan investasi. Salah satunya adalah melalui program vaksinasi bisnis berbayar mahal. Targetnya kelas menengah atas, karena mereka menyumbang 82% lebih dari konsumsi. Sepintas seperti tidak adil. Tapi jika mereka sudah imun dan pede, konsumsi dan investasi bisa lebih cepat pulih. Bio Farma juga untung karena ada pemasukan triliunan.

Ketiga, ubah bauran anggaran dalam APBN 2021 dengan mengutamakan program dan proyek yang memicu konsumsi dan investasi. Banyak rinciannya, yang tidak mungkin ditulis di sini.

Sebagai penutup, ada catatan kecil. Meski saya unsur pimpinan parpol, sejak muda saya adalah peneliti. Karena itu, sains, riset, data dan dokumen – bukan politik – yang menjadi basis saya dalam mengritisi atau mendukung sebuah kebijakan.

 

  • Hits: 511

Page 8 of 8

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id