Vaksin Berbayar

Bagi saya vaksin berbayar itu sangat bagus. Apakah perusahaan yang membayar, dikenal dengan vaksin gotong royong, atau individu yang membayar, dikenal sebagai vaksin mandiri, keduanya sangat kita butuhkan.

Saya bukan hanya mendukung. Saya malah pernah mengusulkan hal ini dengan istilah “vaksinasi bisnis” dalam tulisan di sebuah media online tanggal 29 Desember 2020. Syaratnya, vaksinnya bukan berasal dari hibah bilateral ataupun COVAC karena tidak etis. Waktu itu saya tulis vaksin Pfizer dan Moderna.

Alasannya sederhana. Kita perlu menaikkan cakupan vaksinasi sebesar dan secepat mungkin agar herd immunity segera tercapai. Tujuannya agar rakyat bisa beraktifitas normal sesegera mungkin. Lihat saja AS dan Inggris yang cakupan vaksinasi Covid-19 nya sudah tinggi. Aktifitas di sana relatif pulih.  Orang bisa nonton bola di Wembley.

Karena kemampuan fiskal negara relatif terbatas, bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu.

Dengan tingginya cakupan vaksinasi, kepercayaan konsumen dan bisnis akan pelan-pelan pulih. Harapannya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih juga sehingga Indonesia bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik.

  • Hits: 986

Vaksin COVID-19 Berbayar Tuai Pro-Kontra dari Ekonom

 

Senin, 12 Jul 2021 15:13 WIB

Jakarta - Munculnya pilihan vaksin COVID-19 berbayar menuai pro-kontra. Program vaksinasi gotong royong individu ini disebut demi mempercepat herd immunity.

Meski Kementerian Kesehatan RI menjamin ketersediaan stok vaksin COVID-19 gratis dari pemerintah, namun tak sedikit yang akhirnya mendesak pembatalan vaksin COVID-19 berbayar Kimia Farma.

Salah satunya muncul dari pakar Ekonomi. Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai, adanya vaksin berbayar membuat penguasa dan pengusaha kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Menurutnya, kebijakan tersebut akan menguntungkan segelintir pihak saja.

"Sebaiknya jangan ada dualisme dalam pendistribusian vaksin ini, sebaiknya semua ditanggung oleh pemerintah agar program vaksin bisa merata ke setiap orang. Sudah tidak ada kepercayaan publik kepada penguasa dan pengusaha, kalau vaksin ini dibiarkan dijual di Kimia Farma," kata Anthony saat dihubungi detikcom, Senin (12/7/2021).

Dia mempertanyakan, kesanggupan pemerintah dalam menyediakan vaksin gratis jika vaksin mandiri bergulir. Jika tidak ada jaminan dari pemerintah, lanjutnya, maka bisa saja pemerintah berdalih sudah tidak ada vaksin sehingga membuat masyarakat harus membeli di Kimia Farma.

"Kalau tidak ada jaminan tersebut, maka bisa saja pemerintah bilang sudah tidak ada vaksin, sehingga rakyat harus membeli di Kimia Farma," tuturnya.

"Dan saya rasa ini yang akan terjadi. Manipulasi keberadaan dan ketersediaan vaksin pemerintah, agar pemerintah dapat menghindari pengeluaran dan pengusaha dapat untung besar. Sangat bahaya. Ya memang tujuannya untuk menguntungkan segelintir pihak saja," kata Anthony menambahkan.

Di sisi lain,Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo menilai, antara vaksin gotong royong dari pengusaha dan vaksin mandiri berbayar sangat dibutuhkan. Menurutnya, mempercepat vaksinasi sekaligus mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi nasional.

"Saya bukan hanya mendukung. Saya malah pernah mengusulkan hal ini dengan istilah 'vaksinasi bisnis' pada 29 Desember lalu. Syaratnya, vaksinnya bukan dari berasal dari hibah bilateral ataupun COVAC karena tidak etis," kata Dradjad.

Lebih lanjut, alasan 'vaksinasi bisnis' yang ia maksud agar herd immunity segera tercapai dan masyarakat dapat beraktivitas normal sesegera mungkin. Dia pun mencontohkan warga negara di Amerika Serikat dan Inggris yang memiliki cakupan vaksinasi tinggi hingga bisa menonton pertandingan olahraga dengan bebas.

"Karena kemampuan fiskal negara relatif terbatas, bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu," jelasnya.

Dia menuturkan, cakupan vaksinasi yang tinggi justru dinilainya mampu memulihkan kepercayaan konsumen dan bisnis. Harapannya, kata dia, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih sehingga RI bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

"Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik," pungkasnya.

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5640509/vaksin-covid-19-berbayar-tuai-pro-kontra-dari-ekonom/amp

 

  • Hits: 609

Vaksin Berbayar, Dradjad: Biar yang Mampu Membayar Sendiri

 

Senin 12 Jul 2021 14:11 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef, Dradjad Wibowo, yang saat ini aktif melakukan kajian COvid-19 dari aspek ekonomi, menilai adanya vaksin gotong royong yang berbayar, adalah hal yang sangat bagus. Masyarakat yang mampu biar membayar sendiri, dan negara membayari masyarakat yang tidak mampu

"Bagi saya vaksin berbayar itu sangat bagus. Apakah perusahaan yang membayar, dikenal dengan vaksin gotong royong, atau individu yang membayar, dikenal sebagai vaksin mandiri, keduanya sangat kita butuhkan,” kata Dradjad, kepada Republika, Senin (12/7).

Dradjad mengatakan bukan hanya mendukung, malah malah pernah mengusulkan hal itu dilakukan. “Waktu itu saya menyebutnya dengan istilah 'vaksinasi bisnis' dalam tulisan di sebuah media online tanggal 29 Desember 2020,” kata Dradjad.

Syaratnya, lanjut Dradjad, vaksinnya bukan dari berasal dari hibah bilateral ataupun COVAC karena tidak etis. Waktu itu Dradjad mengusulkan vaksin Pfizer dan Moderna.

Mengenai dukungannya terhadap keberadaan vaksin berbayar, Dradjad mengatakan perlunya menaikkan cakupan vaksinasi sebesar dan secepat mungkin agar herd immunity segera tercapai. Tujuannya agar rakyat bisa beraktifitas normal sesegera mungkin.

"Lihat saja AS dan Inggris yang cakupan vaksinasi Covid-19 nya sudah tinggi. Aktifitas di sana relatif pulih. Orang bisa nonton bola di Wembley,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Karena kemampuan fiskal negara relatif terbatas, menurut Dradjad, bagi rakyat yang mampu sebaiknya dibuka kesempatan membeli vaksin sendiri. "Toh ini untuk kesehatan dan keselamatan mereka juga. Negara membayari rakyat yang kurang mampu,” ungkap dia.

Dengan tingginya cakupan vaksinasi, Dradjad yakin kepercayaan konsumen dan bisnis akan pelan-pelan pulih. Harapannya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan mulai pulih juga, sehingga Indonesia bisa kembali ke zona pertumbuhan positif.

"Jadi saran saya, Kimia Farma dan BUMN Farmasi yang lain maju terus saja dengan vaksinasi berbayar. Menkes dan menteri terkait lainnya tinggal menjelaskan hal ini dengan baik kepada publik,” kata Dradjad menyarankan.

https://www.republika.co.id/berita/qw4emo318/vaksin-berbayar-dradjad-biar-yang-mampu-membayar-sendiri

 

  • Hits: 613

Perlu Operational Room untuk Jamin Layanan Kesehatan Covid

 

Operational Room harus berkoordinasi dengan dokter, RS maupun apotik.

Ahad , 11 Jul 2021, 10:56 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Wibowo mengusulkan pemerintah untuk segera membuat operation room untuk menjamin semua warga yang membutuhkan perawatan karena Covid bisa dilayani. Jika pelayanan kesehatan ambruk maka akan punya dampak psikologis yang sangat besar.

“Saya mengusulkan pemerintah memiliki semacam operation room, dimana setiap hari berkomunikasi dengan dokter, RS, apotik. Dengan begitu,kondisi per hari akan bisa diketahui sistem pelayanan kesehatannya, dan kebutuhannya,” kata Dradjad, yang saat ini sedang melakukan kajian Covid-19 dari aspek ekonomi, Ahad (11/7).

Dicontohkannya, Apotik juga sangat krusial dalam menjaga sistem layanan kesehatan masyarakat. Masyarakat yang melakukan isolasi mandiri (isoman) harus mudah mendapatkan obat-obatan dengan harga terjangkau.

“Tidak bisa negara hanya menerapkan harga eceran tertinggi (HET) saja, lalu ancaman ini itu. Tapi harus dengan komunikasi yang bagus, karena semua unsur kesehatan harus berjalan sinergi,” ungkap dia.

Dengan demikian pemerintah perlu memiliki operation room yang setiap hari bekerja untuk menjamin pelayanan kesehatan. Jangan sampai pelayanan kesehatan ambruk, sehingga tidak mampu merawat pasien.

Kalau sistem pelayanan kesehatan ambruk, menurut Dradjad, efek psikologis pasar sangat besar. masyarakat akan turun kepercayaan terhadap sistem pelayanan kesehatan, pelaku pasar akan juga jatuh kepercayaan terhadap prospek ekonomi.

“Efeknya sangat besar sekali. Jadi dalam kondisi sekarang pemerintah perlu all out menjamin sistem kesehatan sanggup merawat semua pasien covid, yang membutuhkan perawatan medis, yang jumlahnya sangat meningkat drastis saat ini,” papar dia.

Pada kondisi sekarang, menurut Dradjad, hal yang sangat mendesak yang harus dilakukan adalah menjamin pelayanan kesehatan. Dikatakannya, salah satu tolok ukur dalam penanganan pandemi adalah agar sistem pelayanan kesehatan tidak kalah dengan jumlah kasus. “Jangan sampai jumlah kasus meledak melebihi dari sistem pelayanan kesehatan,” kata Dradjad.

Dalam sistem pelayanan kesehatan ini, lanjut Dradjad, ada unsur RS, alat kesehatan, obat-obatan, keuangan. Namun yang menjadi unsur paling krusial adalah dokter dan tenaga kerja kesehatan. “Negara perlu memberikan perhatian prioritas pada dokter dan nakes, bukan hanya dari kesehatan fisik tapi juga mental.

Mereka sudah setahun lebih dalam tekanan berat, langsung berhadapan dengan virus, yang bukan sekadar membuat mereka sakit tapi juga terancam jiwanya. Ini bukan hanya membuat tekanan fisik tapi mental. Sebagai perbandingannya, kata Dradjad, masyarakat yang mengalami pembatasan dua atau tiga pekan saja banyak yang suntuk. Mereka yang mengalami hal kecil ini saja mengalami tekanan mental.

Dalam kondisi ini, kata Dradjad, negara perlu memberi perhatian spesial terhadap kesehatan fisik dan mental dokter dan nakes ini. “Tentu juga harus memperhatikan juga masalah finansial mereka,” kata Dradjad.

Birokrasi pemerintah diminta untuk memprioritaskan dokter dan tenaga kesehatan. Begitu juga RS, baik jumlah tempat tidur maupun alat kesehatannya, perlu diperhatikan agar tercukupi.

https://republika.co.id/amp/qw2ay1318

 

  • Hits: 614

Iran dan Kuba Bikin Vaksin Sendiri, Dradjad: Malu Kita

Jumat 25 Jun 2021 18:05 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Hari Wibowo mengingatkan pemerintah untuk segera mendorong pembuatan vaksin dan obat Covid-19 dari dalam negeri. Biarpun sudah terlambat, tapi langkah ini harus segera dilakukan.

Dradjad mengatakan, dalam beberapa hari terakhir beredar kabar Iran dan Kuba sudah menemukan dan memproduksi vaksin Covid-19 sendiri. Menurut laporan yang ada, kata Dradjad, efikasinya cukup tinggi.

Sebagai ilmuwan, Dradjad mengatakan senang dengan vaksin yang tersedia untuk mengatasi pandemi. Namun, sebagai orang Indonesia, Dradjad mengaku nelongso (merana--Red), mengapa dua negara yang jauh lebih kecil ekonominya dibanding Indonesia, malah sudah menemukan vaksin. Sementara, Indonesia masih jauh.

“Iran diembargo besar-besaran karena masalah nuklir, Kuba juga baru mulai terbuka dari embargo,” ungkap Dradjad dalam pesan suara kepada Republika.co.id, Jumat (25/6).

Dradjad mengaku sudah sejak April 2020 menyuarakan di publik tentang kebutuhan melakukan riset dan menemukan vaksin dan obat sendiri sudah sangat mendesak. “Tolong segera kita genjot dana untuk riset besar-besaran untuk penemuan vaksin dan obat,” ungkap Dradjad.

Diingatkannya, pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan dan ekonomi, melainkan juga masalah pertahanan dan keamanan nasional. Selain itu, yang paling penting karena menyangkut masalah jiwa rakyat Indonesia.

Dradjad menegaskan, memang saat ini sudah terlambat. Namun, bukan berarti Indonesia tidak harus melakukan. Menurutnya, Indonesia tetap harus melakukan karena Covid ini sifatnya multitahun. “Jadi, yang sudah divaksin sekarang mungkin antibodinya akan turun dan perlu vaksin lagi sehingga harus punya vaksin dan obat sendiri,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Mengenai mana yang mau dikembangkan, Dradjad mengatakan, silakan saja mau vaksin merah putih atau vaksin nusantara. “Kita jangan apriori dulu. Semua diberi kesempatan yang sama, tapi prosedur ilmiah medis tetap harus diikuti, uji klinis transparan, dan hasilnya harus dipublikasikan ke jurnal yang bereputasi tinggi di dunia internasional. Jangan jurnal yang asal-asalan saja, supaya hasilnya kredibel,” kata Dradjad.

Mengenai dana, Dradjad mengatakan, sebenarnya dananya tidak terlalu besar. Ia memperkirakan antara Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun untuk satu jenis vaksin. “Tapi, untuk amannya mungkin bisa disiapkan Rp 2 triliun hingga Rp 3 triliun,” kata ekonom senior Indef ini.

Dradjad yakin berbagai universitas di Indonesia mampu melakukannya. “Kita juga punya lembaga Eijkman, punya rumah sakit-rumah sakit angkatan darat yang mampu melakukan itu,” ujarnya.

Dradjad minta agar berhenti berwacana dan berdebat yang tidak jelas. Lebih baik segera melakukan langkah nyata untuk menciptakan dan memproduksi vaksin dan obat sendiri. “Malu kita kalah sama Iran dan Kuba,” kata Dradjad.

https://republika.co.id/berita/qv982l318/iran-dan-kuba-bikin-vaksin-sendiri-dradjad-malu-kita

  • Hits: 695

Page 3 of 8

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id