Solusi Pendapatan Negara

Kompas.com - 17/03/2025, 11:33 WIB

Editor : Palupi Annisa Auliani

SEBAGAI pembuka, saya ingin menegaskan, tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili sikap PAN atau institusi apa pun.

Tulisan ini saya buat terbuka, agar masyarakat khususnya pelaku pasar domestik yakin, ada solusi untuk menjaga kepercayaan pasar.

Waktunya saya pilih setelah data resmi kinerja APBN dipublikasikan. Namun, secara informal pada 1 Februari 2025, kondisi Modul Penerimaan Negara (MPN) per akhir Januari 2025 sudah saya laporkan kepada pimpinan yang berwenang.

Kepercayaan

Kita tahu, sektor keuangan global mulai demam.

Di sisi lain, pada awal November 2024 saya pernah mengingatkan, investor asing mulai bearish terhadap pasar keuangan Indonesia.

Pesan itu saya sampaikan kepada beberapa menteri dan Dewan Pakar Prabowo-Gibran, setelah saya pulang dari diskusi reguler dengan pelaku pasar asing di Singapura.

Waktu itu saya sampaikan, ekspektasi asing terhadap kurs rupiah adalah Rp 16.300 per dollar AS dan IHSG 6.900 pada tutup tahun.

Ternyata, ekspektasi tersebut terealisasi lebih cepat untuk rupiah. Untuk IHSG, realisasinya lebih lambat, tapi jatuhnya lebih dalam.

Faktor utamanya adalah kepercayaan pasar.

Jika kepercayaan tinggi atau membaik, konsumen akan berbelanja lebih banyak; pelaku bisnis akan menaikkan investasi, produksi, dan perekrutan. Pasar cenderung bullish.

Jika sebaliknya, konsumen mengerem belanja; pelaku bisnis mengerem investasi dan produksi, serta mengurangi karyawan. Pasar cenderung bearish.

Beberapa bulan ini, erosi kepercayaan mulai terlihat. Di tingkat global, perang dagang dengan instrumen tarif menjadi salah satu penyebabnya.

Di tingkat nasional, sumber utamanya adalah persepsi terhadap kredibilitas APBN 2025. Pasar melihat, pemerintah kesulitan membiayai pos-pos belanja negara yang besar.

Akibatnya, opsi yang tersedia adalah: (a) realokasi belanja, (b) menambah pembiayaan (utang), dan atau (c) mengenjot pendapatan.

Banyak pihak, baik domestik maupun asing, melihat opsi (c) sangat kecil peluangnya. Bahkan, sebagian mereka kurang yakin target pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun akan tercapai.

Jadi, menurut mereka, yang paling mungkin adalah opsi (a) dan (b).

Hal tersebut diucapkan langsung kepada saya, baik oleh pelaku atau analis pasar di Jakarta dan Singapura maupun oleh duta besar atau diplomat senior dari negara-negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Pasifik.

Dengan berbagai langkah efisiensi, mereka melihat opsi (a) sudah terjadi. Namun, mereka juga tahu, opsi (b) semakin mahal biayanya. Dinamika global membuat para manajer dana lebih memilih kualitas dan keamanan.

Sekarang, kekhawatiran mereka terhadap opsi (c) juga terbukti dari rilis APBN KiTa. Karena itu tidak heran jika Morgan Stanley dan Goldman Sachs menurunkan peringkat obligasi Indonesia.

Kita tidak bisa meremehkan erosi kepercayaan di atas. Jika kepercayaan runtuh, dampaknya akan sangat merusak.

Karena itu, kita harus bertindak maksimal membalikkan erosi tersebut. Dan ini perlu menjadi proritas mendesak pemerintah.

Pendapatan negara

Karena sumber keraguan awalnya adalah kredibilitas APBN 2025, solusinya harus dimulai dari APBN juga. Yaitu, kita harus menggenjot pendapatan negara.

Di sinilah saya berbeda pandangan dengan teman-teman di atas.

Mereka cenderung "menyerah" mengenai opsi (c). Sementara saya melihat cukup banyak sumber pendapatan negara yang "belum dikumpulkan" dan atau "belum digali".

Belum dikumpulkan" berarti dananya seharusnya masuk APBN tapi karena sesuatu hal—biasanya politis—dana tersebut tidak masuk. Sedangkan "belum digali" berarti potensi pendapatan negara akan muncul jika dibuat kebijakan yang tepat.

Lalu bagaimana mewujudkannya?

Mari kita lihat apa yang pernah dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Intelijen Negara (BIN). Karena terikat etika dan aturan kerahasiaan, saya hanya bisa menyampaikan data dan informasi yang terbuka untuk publik.

Pada 26 November 2015, Menkeu Bambang Brodjonegoro dan Kepala BIN Sutiyoso (Bang Yos) menandatangani nota kesepahaman, antara lain terkait pendapatan negara. Beritanya ada di media.

Terdapat beberapa pendapatan negara yang "belum dikumpulkan" yang menjadi target. Sebagai ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) BIN, saya ditugasi Bang Yos menanganinya.

Dalam tulisan ini, saya akan tunjukkan contoh yang berasal dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bersifat terbuka, yaitu kasus sengketa pajak yang sudah inkracht.

Singkatnya, wajib pajak (WP) menggugat keputusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ke pengadilan pajak. Pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan WP wajib membayar semua kewajiban pajaknya.

Ternyata, terdapat cukup banyak WP yang enggan membayar kewajiban tersebut. Pada 2015, nilainya mencapai lebih dari Rp 90 triliun. Saya lupa pastinya.

Sebagai uji coba, pada awal 2016 dilakukan operasi intelijen (opsin) terhadap WP dengan kewajiban terkecil. Meski awalnya "membandel", WP akhirnya mau membayar akibat opsin tersebut.

Dengan keberhasilan ini, Kemenkeu-BIN menyiapkan opsin yang lebih besar. Sayangnya, Mas Bambang diganti pada 27 Juli 2016 dan Bang Yos pada 9 September 2016.

Saya sendiri memilih tidak lanjut. Bang Yos lalu memberhentikan para personel DISK sebelum lengser.

Saya tidak tahu berapa nilai kasus pajak inkracht tersebut sekarang. Perlu diingat, kasus ini hanyalah satu dari pendapatan yang "belum dikumpulkan". Ada beberapa sumber lain yang tidak bisa saya sampaikan karena kerahasiaan intelijen.

Pada 2017, pengalaman BIN tersebut saya jadikan tulisan ilmiah populer berjudul "Stabilitas Fiskal Berbasis Teknologi dan Intelijen", sebagai bagian dari buku Menuju Ketangguhan Ekonomi: Sumbang Saran 100 Ekonom Indonesia, Penerbit Buku Kompas, halaman 38-42.

Rendahnya PPN

Saya sering menyampaikan, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kita terlalu rendah.

Bayangkan, target PPN pada 2025 ditetapkan Rp 917,78 triliun atau hanya 3,77 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Padahal, APBN 2025 disusun dengan asumsi tarif PPN 12 persen. Di sisi lain, target PPN 2025 itu sudah dinaikkan 18 persen dari target 2024.

Artinya, gap antara tarif PPN dengan realisasinya terlalu besar. Alasan yang sering disampaikan adalah fasilitas bebas PPN.

Harus diakui, banyak barang atau jasa yang bebas PPN. Namun, gap sekitar 7-8 persen itu juga menunjukkan kebocoran serius dalam sistem PPN masukan dan keluaran.

Opsin dan teknologi bisa menekan kebocoran ini.

PNBP

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saya pilih sebagai contoh pendapatan "belum digali".

Sebenarnya PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) juga memiliki sumber yang "belum digali". Namun karena memerlukan revisi UU, prosesnya lebih memakan waktu.

Untuk PNBP, prosesnya lebih cepat karena revisi UU belum dibutuhkan. Cukup dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru atau revisi PP yang relevan.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, PNBP bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, pengelolaan barang milik negara, serta pengelolaan dana dan hak negara lainnya.

Saya ambil contoh, peluang PNBP dari spektrum elektromagnetik (SE). SE sebenarnya merupakan sumber daya alam. Sayangnya, kita belum maksimal memanfaatkannya.

Contohnya, ada sebuah teknologi inter-operabilitas yang sudah dipakai beberapa negara, tapi Indonesia belum. Jika pemerintah mengizinkan teknologi ini, sambungan internet jadi lebih cepat dan biaya data lebih murah.

Atas manfaat tersebut, negara dapat mengenakan PNBP, yang menurut hitungan sementara sebesar Rp 9-20 triliun per tahun. Ini baru satu teknologi, sementara masih ada beberapa teknologi lain.

Sumber PNBP yang lain ada banyak, seperti dari sektor lingkungan hidup, industri, perdagangan, standarisasi, dan sebagainya.

Jika Indonesia menerapkan regulasi tertentu seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, China, India, Korsel, dan Taiwan, sebuah perusahaan audit terkemuka nasional menghitung ada potensi PNBP Rp 50 triliun per tahun dari sektor-sektor tersebut.

Penutup

Sebagai catatan akhir, saya pernah menyebutkan adanya pembiayaan Rp 116,4 triliun yang bisa dirilis melalui perubahan satu peraturan.

Angka tersebut dihitung pada Juni 2023, ketika pasar keuangan stabil. Dalam kondisi rupiah dan saham sekarang, opsi tersebut tidak valid lagi.

https://money.kompas.com/read/2025/03/17/113343226/solusi-pendapatan-negara

  • Hits: 35

Penerimaan Pajak Diperkirakan Lesu

Kompas, Kamis, 20 Februari 2025

https://sdi.or.id/images/2025/Kompas%2020Feb.pdf

  • Hits: 40

Pemangkasan Anggaran Berisiko Tekan Konstruksi

Kompas, Senin, 10 Februari 2025

https://sdi.or.id/images/2025/Kompas%2010Feb.pdf

  • Hits: 43

Akibat Coretax dan Formula Baru PPh 21, Setoran Pajak Awal Tahun Bisa Merosot

Pemerintah mesti mencari sumber penerimaan baru dan membenahi sistem Coretax agar penerimaan pajak tidak lesu berkepanjangan.

Oleh Agnes Theodora

20 Feb 2025 07:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan pajak di awal tahun diperkirakan turun dibandingkan tahun sebelumnya akibat berbagai persoalan yang muncul di awal tahun. Dengan kinerja perpajakan yang lesu di awal tahun, pemerintah dinilai bakal kesulitan mengejar target penerimaan pajak pada tahun 2025.

Beberapa faktor yang menghambat laju penerimaan pajak di awal tahun 2025 adalah sistem perpajakan baru Coretax yang sampai saat ini masih bermasalah, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang batal berlaku secara umum, serta dampak berlakunya formula baru tarif efektif rata-rata (TER) dalam pemungutan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21).

Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, penerimaan pajak pada Januari 2025 kemungkinan besar akan berkontraksi atau tumbuh negatif secara tahunan (year on year). Ada dua faktor besar yang menurutnya mengganggu setoran pajak.

Pertama, risiko operasional dari sistem Coretax atau Sistem Informasi Administrasi Pajak (SIAP) yang berlaku sejak 1 Januari 2025, tetapi belum siap diterapkan. Sistem tidak berjalan mulus sehingga banyak wajib pajak kesulitan menunaikan kewajiban, khususnya untuk membayar dan melaporkan PPN ataupun PPh.

Sudah lebih dari satu bulan sistem berlaku, tetapi masih menghadapi berbagai kendala teknis. Akibat sistem yang tak kunjung siap, awal Februari 2025 ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pun sepakat tetap mempertahankan sistem pajak yang lama agar tidak menghambat proses pengumpulan pajak.

Dengan demikian, saat ini ada dua sistem yang berlaku secara paralel, yakni Coretax dan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) yang selama ini dipakai.

”Coretax memang didesain sebagai game changer. Sayangnya, sampai sekarang sistem itu malah menjadi masalah alih-alih menjadi solusi. Dari segi kebijakan pajak, risikonya tinggi sekali,” kata Fajry saat dihubungi di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Faktor kedua adalah koreksi dari penerimaan PPh 21 akibat mekanisme TER yang diterapkan mulai tahun 2024 lalu. Akibat mekanisme baru itu, ada selisih kelebihan pembayaran pajak yang mesti dikembalikan ke wajib pajak karyawan. Pengembalian lebih bayar pajak itu wajib dilakukan paling lambat pada Januari 2025.

Menurut Fajry, dampak koreksi PPh 21 baru terlihat awal tahun ini karena administrasi pemotongan PPh 21 di Masa Desember kebanyakan baru disetorkan dan dilaporkan oleh perusahaan di bulan berikutnya alias Januari 2025.

”Kita tahu, dalam perhitungan PPh 21 ada koreksi perhitungan di bulan Desember karena mekanisme TER. Namun, pembayarannya paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya di Januari. Makanya, kemungkinan besar dampaknya ke penerimaan baru terasa di bulan Januari,” ujar Fajry.

Sulit capai target

Berkaca pada kinerja lesu di awal tahun, pemerintah dinilai bakal kesulitan mengejar target pajak 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Meskipun penerimaan pajak diprediksi tetap tumbuh positif sepanjang tahun, capaiannya bakal jauh dari target.

Perhitungan CITA, pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan sebesar Rp 265 triliun dibandingkan outlook penerimaan tahun lalu untuk bisa mengejar target penerimaan 2025. Itu angka yang sulit dicapai mengingat tambahan penerimaan pada 2024 pun hanya Rp 63,1 triliun. Besarannya tidak jauh beda dari rata-rata tambahan penerimaan prapandemi (2014-2019), yakni Rp 68,62 triliun.

”Untuk jenis pajak, penerimaan PPN dan PPnBM (pajak barang mewah) akan paling berat untuk mencapai target, butuh setidaknya tambahan Rp 116,62 triliun. Kalau kenaikan tarif PPN yang lalu jadi dilaksanakan, ada tambahan penerimaan Rp 70 triliun-Rp 80 triliun, masih mungkin untuk mencapai target. Namun, sekarang jadi sulit,” tutur Fajry.

Meski demikian, ia menilai PPh Badan masih bisa tumbuh positif pada 2025 dibandingkan tahun 2024. Itu karena basis penerimaan pada 2024 yang rendah akibat terdampak moderasi harga komoditas dari 2022 ke 2023.

”PPh Badan akan membaik lagi, bahkan bisa tumbuh positif. Namun, kemungkinan besar tahun ini kita akan tetap lebih banyak bergantung pada penerimaan PPN,” katanya.

Efisiensi bisa terhambat

Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo memperkirakan penurunan penerimaan pajak cukup besar, khususnya penerimaan pajak neto. Hal itu didasarkan pada data Modul Penerimaan Negara (MPN).

"Perbaikan Coretax tetap perlu dilakukan, tetapi perlu waktu. Sebaiknya lakukan terobosan PNBP dulu untuk beberapa bulan ini agar cash flow pemerintah bagus," kata Dradjad yang juga ekonom Sustainable Development Indonesia.

Menurut Dradjad, jangan sampai gara-gara MPN anjlok, rencana efisiensi belanja negara Rp 600 triliun lebih menjadi tidak terwujud.

Dipertanyakan

Isu kinerja penerimaan pajak yang merosot pada awal 2025 juga mencuat dalam rapat kerja Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan jajaran Kementerian Keuangan yang digelar tertutup di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (18/2/2025).

Di forum rapat, Ketua Komite IV DPD Ahmad Nawardi meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menjelaskan perihal penerimaan negara yang turun akibat permasalahan di sistem Coretax. Ia mempertanyakan informasi yang didapat bahwa penerimaan negara di awal tahun hanya sanggup menyentuh Rp 50 triliun, turun jauh dari penerimaan awal tahun 2024 lalu yang mencapai Rp 172 triliun.

Informasi yang didapat Nawardi, setoran pajak yang anjlok itu akibat permasalahan di Coretax. Faktur pajak yang masuk ke sistem hanya mampu mencapai 20 juta faktur, turun signifikan dibandingkan 60 juta faktur pada periode yang sama tahun lalu.

Namun, pertanyaan Nawardi tidak dijawab Kemenkeu. ”Belum dijawab sama Bu Sri Mulyani. Mungkin lupa juga karena banyak pertanyaan. Waktu beliau juga sempit sehingga saya mau memperdalam tidak cukup waktu,” kata Nawardi.

Ia pun meminta pemerintah untuk mencari sumber penerimaan baru demi menutup kinerja yang lesu di awal tahun itu. ”Sistem pajak digital memang bagus, tetapi kalau terus terjadi masalah ini harus cepat diperbaiki. Berarti pemerintah harus cari solusi mendapat penerimaan dari tempat lain,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, DJP Kemenkeu belum mau berkomentar ataupun membuka informasi terkait data penerimaan pajak per Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti hanya menjawab, ”Realisasi penerimaan pajak per Januari 2025 akan disampaikan langsung Menkeu melalui konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) yang rutin dilaksanakan setiap bulan.”

https://www.kompas.id/artikel/akibat-coretax-dan-formula-baru-pph-21-setoran-pajak-awal-tahun-bisa-merosot?utm_source=whatsapp&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_website_traffic

  • Hits: 45

Page 1 of 45

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id