Trump Tunda Tarif Impor, Ekonom: Tak Ada Seorang Pun yang Bisa Kalahkan Pasar Keuangan

Kompas.com - 10/04/2025, 12:42 WIB

Dian Erika Nugraheny, Erlangga Djumena

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Drajad Wibowo mengatakan, keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menurunkan tarif impor untuk sebagian besar mitra dagang AS menjadi 10 persen selama 90 hari menunjukkan masih kuatnya pengaruh pasar keuangan terhadap kebijakan AS.

Selain itu, menurut dia, kebijakan terbaru ini juga menunjukkan bahwa Trump mempertimbangkan pasar keuangan.

"Jadi tidak ada satu orang pun yang bisa mengalahkan pasar keuangan. Tidak Presiden paling kuat di dunia, tidak juga orang paling kaya di dunia. Elon Musk juga kalah sama pasar," ujar Drajad saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/4/2025).

"Karena kalau pasar keuangan, kalau pasar obligasi dia (AS) ambruk, itu seluruh tatanan ekonomi Amerika ambruk. Karena ekonomi Amerika kan banyak ditopang obligasi, ditopang utang," jelasnya.

Drajad melanjutkan, dengan adanya waktu 90 hari, Pemerintah Indonesia bisa menyisir komoditas perdagangan satu demi satu yang nantinya akan dinegosiasikan dengan AS.

Selain itu, pemerintah bisa punya waktu lebih panjang untuk menghitung dampak poin-poin negosiasi.

"Apa-apa yang kita tawarkan itu harus kita jadikan kartu yang benar-benar efektif gitu. Jangan sampai kesannya kita ngasih begitu saja tanpa imbal balik," tegas Drajad.

"Contohnya minyak tadi. Minyak itu kan bagus. Kita kasih (kesempatan investasi), tapi Anda tolong bangun refinery di sini supaya terjamin itu supply minyak dari Amerika gitu," jelasnya.

Meski begitu, Drajad menyarankan agar negosiasi dilakukan dengan hati-hati. Jangan sampai produsen Indonesia menjadi korban dari tawaran negosiasi Indonesia ke AS.

Saat ditanya apakah Indonesia bisa mencapai target penurunan tarif secara signifikan setelah negosiasi dengan AS, Drajad menyebut bisa saja terjadi.

"Mungkin targetnya (bisa) 10 persen, itu karena kalau turun total itu hanya bisa kalau kita sudah ada perjanjian perdagangan bebas dengan dia. Kita ada (perjanjian) TIFA itu yang sedang kita bahas dengan Amerika," tambahnya.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif timbal balik untuk lebih dari 180 negara pada 2 April 2025.

Untuk Indonesia, Trump mengenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen.

Dalam perkembangan terbaru, pada Rabu (9/4/2025) waktu setempat, Donald Trump menurunkan tarif impor dari sebagian besar mitra dagang AS menjadi 10 persen selama 90 hari.

Penurunan sementara ini untuk memberikan waktu bagi negosiasi perdagangan dengan negara-negara tersebut.

Trump mengumumkan jeda ini beberapa jam setelah barang dari hampir 90 negara dikenai tarif resiprokal oleh AS.

Di sisi lain, Trump menyatakan dalam sebuah unggahan di media sosial bahwa ia menaikkan tarif atas impor dari China menjadi 125 persen dan berlaku segera.

Sebelumnya, China, yang merupakan mitra dagang terbesar ketiga AS, menyatakan akan menaikkan tarif impor barang dari AS menjadi 84 persen, sebagai balasan pengenaan tarif Trump.

Trump mengatakan bahwa lebih dari 75 negara telah menghubungi pejabat AS untuk bernegosiasi setelah ia mengumumkan tarif barunya minggu lalu.

"Mereka mulai panik, kalian tahu, mereka mulai agak panik, sedikit takut,” kata Trump di Gedung Putih.

https://money.kompas.com/read/2025/04/10/124200226/trump-tunda-tarif-impor-ekonom-tak-ada-seorang-pun-yang-bisa-kalahkan-pasar

  • Hits: 21

IHSG TERJUN BEBAS, EKONOMI TERTEKAN HEBAT

inilah.com

Kamis, 10 April 2025

Andhika Dinata, M. Hafid, dan Ucha Julistian Mone

Indeks Harga Saham Gabungan menunjukkan pelemahan hingga pengujung Maret 2025. Kebijakan pemerintah membentuk Danantara direspons negatif pelaku pasar modal. Pemerintah menarik utang baru guna menambal beban keuangan. Pakar mendesak pemerintah mengoptimalkan pendapatan negara dan mengikis erosi kepercayaan pasar.

Tak lama setelah pelantikan Prabowo sebagai Presiden 20 Oktober 2024 lalu, Dradjad Hari Wibowo menerawang ekonomi Indonesia bakal tak baik-baik saja. Sinyal itu didapat saat anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran itu menghadiri diskusi reguler dengan pelaku pasar asing di Singapura, November 2024.

Kala itu, sejumlah pelaku pasar asing—termasuk investor kakap—gelisah terhadap prospek pasar keuangan Indonesia di masa pemerintahan Prabowo. Ketika itu mereka memperkirakan kurs rupiah akan melemah hingga menyentuh angka Rp16.300 per dolar AS sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 6900 pada tutup tahun.

“Investor mulai bearish (pesimis) terhadap pasar keuangan Indonesia,” kata Dradjad Wibowo ketika dihubungi insider, Kamis, 27 Maret 2025.

Mengetahui sinyalemen sektor keuangan global mulai demam, Dradjad mengontak sejumlah menteri di Kabinet Merah Putih dan Dewan Pakar Prabowo-Gibran yang dipimpin Burhanuddin Abdullah. Politisi Partai Amanat Nasional yang pernah menjabat Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan Badan Intelijen Negara (DISK BIN) pada 2014-2015 blak-blakan menyampaikan situasi ekonomi nasional.

“Ternyata ekspektasi tersebut terealisasi lebih cepat untuk rupiah. Untuk IHSG, realisasinya lebih lambat, tapi jatuhnya lebih dalam,” ucap Dradjad.

Ekonomi Indonesia mengalami tekanan hebat pada masa awal pemerintahan Prabowo. Pasar saham Indonesia terperosok sejak akhir Februari hingga Maret 2025. Bahkan di momentum peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), saham bank BUMN Danantara terus memerah.

Dominasi bank BUMN yang tinggi memengaruhi rontoknya hampir semua saham bank. Antara lain saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, dan PT Bank Mandiri Tbk. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat mengalami pelemahan signifikan di level 3.800 hingga 4.600-an.

Publik juga harap-harap cemas dengan terpuruknya nilai rupiah yang menyentuh level terlemah sejak 1998. Pada Selasa, 25 Maret 2025 rupiah melemah 0,54 persen atau menjadi Rp16.640 per dolar AS. Penurunan tersebut didorong ketidakpastian pasar dunia dan kekhawatiran terhadap kesehatan fiskal serta prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Merujuk data London Stock Exchange Group (LSEG), rupiah mengalami titik terendah pada 1998 saat menyentuh angka Rp16.800 per dolar AS selama krisis keuangan di Asia. Tak hanya itu, penerimaan pajak di Indonesia—tidak termasuk bea dan cukai—berjumlah Rp88,89 triliun pada Januari lalu. Angka tersebut turun 42 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Kementerian Keuangan tidak menyampaikan detil alasan penurunan tersebut. Sejumlah kalangan menduga melorotnya penerimaan pajak salah satunya disebabkan kendala dalam peluncuran Sistem Administrasi Inti Perpajakan (Coretax) baru.

Hal lain yang menjadi perhatian yakni pemerintah menarik utang baru melalui Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp361,97 triliun hingga Maret 2025. Nilai utang tersebut terdiri dari Rp260,44 triliun Surat Utang Negara (SUN) dan Rp101,53 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Bila dirincikan berdasarkan denominasinya, pemerintah menerbitkan SBN dalam denominasi rupiah senilai Rp261,66 triliun dan SBN berdenominasi valas senilai Rp100,31 triliun.

Kantor Komunikasi Kepresidenan buru-buru merespon anjloknya pasar modal Indonesia beberapa pekan lalu. Juru Bicara Presidential Communications Office (PCO) Dedek Prayudi membeberkan alasan IHSG anjlok lantaran investor tengah melepas kepemilikan sahamnya untuk membeli aset yang lebih aman.

“Faktanya investor itu sebenarnya sedang melepas kepemilikan saham di seluruh dunia. Untuk apa? Untuk membeli aset yang lebih aman seperti emas. Nah, ini akibatnya semua bursa itu turun. Jadi, enggak hanya IHSG,” kata Dedek Prayudi dalam penjelasannya dikutip dari Instagram @jurubicarapco.

Ia menyentil narasi yang menyebut pihak asing tidak percaya dengan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagai biang keladi anjloknya IHSG. “Katanya nih, katanya, asing enggak percaya dengan pemerintah Prabowo sehingga IHSG ditinggalkan. Sehingga IHSG turun, merosot, kurang lebih begitu,” kata Dedek.

Dedek meminta publik untuk tidak khawatir dengan iklim investasi di Indonesia selepas anjloknya IHSG beberapa waktu terakhir. “Iklim investasi tetap terjaga baik. Dan pemerintah bekerja keras siang malam untuk menjaga iklim ini tetap baik,” ujar Dedek.

Dirinya menerangkan penurunan indeks pasar modal tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di Amerika Serikat. Ia mencontohkan indeks S&P 500 turun hingga 10 persen dalam satu bulan terakhir, sehingga harga emas meroket karena investor mencari perlindungan dari volatilitas pasar saham.

Sementara itu, lanjut Dedek, pemerintah juga menerbitkan SUN. Penerbitan instrumen investasi tersebut mampu membuat negara mengumpulkan dana mencapai Rp28 triliun. “Dan ini justru menggambarkan kepercayaan pasar terhadap pemerintah di samping mengalihkan modal dari IHSG ke SUN tadi,” katanya.

Bahkan, menurut Dedek, iklim investasi Indonesia masih kondusif, dengan defisit tetap terjaga di 2,5 persen terhadap PDB, penerimaan pajak bruto naik 6,6 persen, dan penawaran SBN yang masuk ke pemerintah mencapai Rp62 triliun di mana 23 persen berasal dari dana luar negeri.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira mengatakan, IHSG mengalami tekanan signifikan hingga memicu trading halt (penghentian sementara) dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Bhima, pelemahan tersebut bukan semata akibat faktor eksternal seperti kebijakan proteksionisme Amerika Serikat atau dampak politik global. Melainkan karena masalah yang lebih serius di sektor riil domestik.

Bhima menyoroti, pasar terlambat mengenali permasalahan di sektor riil Indonesia. IHSG menjadi satu-satunya indeks di Asia yang melemah, sementara negara lain masih bertahan di zona hijau. Faktor lain yang berkontribusi terhadap pelemahan IHSG adalah penurunan konsumsi barang impor.

Pada umumnya, satu bulan menjelang Ramadan dan Lebaran, masyarakat mulai berbelanja barang impor, mengingat Indonesia menerapkan kebijakan perdagangan yang terbuka. “Namun, kali ini, justru terjadi penurunan impor barang konsumsi hingga 21 persen, menandakan lemahnya daya beli masyarakat,” ujar Bhima Yudhistira kepada insider, Jumat, 28 Maret 2025.

Selain konsumsi rumah tangga, sektor keuangan juga menunjukkan tren negatif. Simpanan individu mengalami penurunan, sementara angka pinjaman yang tidak tersalurkan (un-disposed loan) terus meningkat.

“Bank kini semakin berhati-hati dalam menyalurkan kredit karena tingginya risiko. Di sisi lain, pelaku usaha juga cenderung menunda pengambilan fasilitas kredit yang sudah disetujui,” kata Bhima mewanti-wanti.

Situasi tersebut menunjukkan bahwa sektor riil Indonesia sedang berada dalam tekanan berat. Ketidakpastian ekonomi membuat pelaku usaha bersikap defensif, sementara konsumen menahan pengeluaran. “IHSG yang sempat mengalami trading halt adalah sinyal bahwa fundamental ekonomi Indonesia membutuhkan perhatian lebih serius,” tutur Bhima.

Di tengah ketidakpastian ekonomi, dirinya berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan menjaga daya beli. Langkah-langkah konkret sangat dibutuhkan agar dampak negatif pelemahan rupiah tidak semakin dalam dan perekonomian nasional tetap bertahan di tengah tantangan global.

Di mata Dradjad Wibowo, faktor utama yang berpengaruh terhadap keuangan adalah kepercayaan pasar. Karena itu, pemerintah harus memulihkan kepercayaan pelaku pasar domestik. “Kita tidak bisa anggap remeh erosi kepercayaan. Jika kepercayaan runtuh, dampaknya akan sangat merusak. Karena itu, kita harus bertindak membalikkan erosi tersebut, dan ini perlu menjadi prioritas pemerintah,” kata Dradjad Wibowo.

Teorinya begini, jika kepercayaan tinggi atau membaik, konsumen akan berbelanja lebih banyak. Pelaku bisnis akan menaikkan investasi, produksi dan perekrutan. Pasar cenderung bullish (optimis). “Jika sebaliknya, konsumen mengerem belanja; pelaku bisnis mengerem investasi dan produksi, serta mengurangi karyawan. Pasar cenderung bearish,” tuturnya.

Dradjad menyebut, beberapa bulan terakhir, erosi kepercayaan publik terhadap pasar keuangan mulai terlihat. Penyebab utama erosi kepercayaan di tingkat global lantaran perang dagang dengan instrumen tarif. Sementara di Indonesia yang menjadi penyebab utama adalah persepsi terhadap kredibilitas APBN 2025. Pelaku pasar melihat pemerintah tertatih-tatih membiayai pos-pos belanja yang besar.

“Pasar melihat, pemerintah kesulitan membiayai pos-pos belanja negara yang besar. Akibatnya, opsi yang tersedia adalah realokasi belanja, menambah pembiayaan (utang), dan atau mengenjot pendapatan,” ujar ekonom INDEF itu.

Menurut Dradjad, pelaku pasar—baik domestik maupun asing—melihat opsi menggenjot pendapatan sangat kecil peluangnya. Bahkan, sebagian besar kurang yakin dengan target pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun dalam APBN 2025.

Dradjad menyebut, sejumlah pelaku pasar di Jakarta dan Singapura, maupun duta besar dan diplomat senior dari Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia Pasifik meragukan pemerintah Prabowo akan mampu mencapai target pendapatan negara tahun ini.

“Menurut mereka (diplomat dan pelaku pasar), yang paling mungkin adalah opsi realokasi belanja dan menambah utang,” ucap Dradjat. Prabowo sudah menjalankan opsi realokasi belanja dengan melakukan efisiensi anggaran. Dinamika global, lanjut Dradjad, membuat para manajer dana lebih memilih kualitas dan keamanan.

“Sekarang, kekhawatiran mereka terhadap opsi menggenjot pendapatan juga terbukti dari rilis APBN KiTa. Karena itu tidak heran jika Morgan Stanley dan Goldman Sachs menurunkan peringkat obligasi Indonesia,” papar doktor lulusan Universitas Queensland itu.

Sebelumnya, Bank Investasi dan pengelola aset global Goldman Sachs menurunkan peringkat dan rekomendasi atas aset keuangan di Indonesia. Penurunan itu terjadi karena perusahaan yang bermarkas di New York tersebut memperkirakan adanya peningkatan risiko fiskal atas sejumlah kebijakan yang ditempuh Presiden Prabowo.

Goldman menurunkan peringkat saham RI dari overweight menjadi market weight. Penurunan peringkat ini terjadi setelah Goldman menaikkan proyeksi defisit anggaran Indonesia dari semula 2,5 persen menjadi 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut mendekati batas maksimal yang ditetapkan undang-undang, yakni 3 persen dari PDB.

Dalam analisisnya, Goldman mengungkap, pasar keuangan Indonesia berada dalam tekanan beberapa bulan terakhir akibat sentimen tarif dan perang dagang global hingga pelemahan ekonomi domestik. Faktor itu yang membuat investor ketakutan dan kabur dari pasar keuangan Indonesia.

Kondisi pendapatan negara yang kembang kempis itu membuat pemerintah harus segera menyusun solusi pendapatan negara. Dradjad mengaku sudah melaporkan kondisi Modul Penerimaan Negara (MPN) kepada pejabat berwenang pada 1 Februari 2025. “Waktu itu sudah saya sampaikan pandangan secara informal,” kata Dradjad.

Ia mengusulkan agar pemerintah menempuh opsi skenario optimis dengan menggenjot pendapatan negara. Menurut Dradjad, bertumpu pada efisiensi anggaran dan utang bukan solusi terbaik. “Di sini saya berbeda pandangan dengan teman-teman (diplomat dan pelaku pasar). Mereka cenderung ‘menyerah’ dengan opsi menggenjot pendapatan. Sementara saya melihat cukup banyak sumber pendapatan negara yang belum dikumpulkan atau belum digali,” tuturnya.

Dirinya menyebut, terdapat sejumlah opsi yang dapat dilakukan pemerintah. Terkait dana atau pendapatan negara yang belum terhimpun, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat menerapkan operasi intelijen (opsin) sebagaimana yang pernah dilakukan Bambang Brodjonegoro selama menjabat Menteri Keuangan pada 2015.

Kala itu, opsin dilakukan sebagai hasil kolaborasi antara Kemenkeu dan Badan Intelijen Negara (BIN) yang saat itu di bawah komando Sutiyoso. Pada realisasinya, opsin dinilai berhasil menagih para wajib pajak (WP) yang bandel sehingga mereka pada akhirnya mau membayar pajak.

Selain itu, Dradjad menyoroti rendahnya pencapaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk diketahui, target PPN tahun 2025 ditetapkan Rp917,78 triliun atau hanya 3,77 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, APBN 2025 disusun dengan asumsi tarif PPN 12 persen. Di sisi lain, target PPN 2025 tersebut sudah dinaikkan 18 persen dari target 2024.

“Artinya, gap antara tarif PPN dengan realisasinya terlalu besar. Gap sekitar 7-8 persen itu juga menunjukkan kebocoran serius dalam sistem PPN masukan dan keluaran,” katanya. Di sisi lain, Dradjad menyebut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai contoh pendapatan belum digali.

“Berdasarkan ketentuan perundangan, PNBP bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, pengelolaan barang milik negara, pengelolaan dana dan hak negara lainnya,” ujar Dradjad.

Ekonom sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto menilai tren pelemahan IHSG dan nilai tukar rupiah mengindikasikan adanya keraguan investor terhadap target makroekonomi yang dipasang pemerintah. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dinilai terlalu ambisius, sementara kebijakan efisiensi anggaran dan realokasinya ke program jangka panjang menimbulkan ketidakpastian di jangka pendek.

“Kesenjangan antara target makroekonomi dan ‘amunisi’ dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mencapainya membuat investor ragu. Akibatnya, terjadi capital outflow dan banyak perusahaan yang menunda ekspansi,” ujar Eko Listiyanto kepada insider, Rabu, 3 April 2025.

Eko menyoroti fenomena buyback saham yang terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, jika buyback dilakukan terus-menerus tanpa diimbangi fundamental ekonomi yang kuat, pasar modal nasional berisiko mengalami stagnasi dan semakin sulit menarik minat investor asing.

Buyback saham biasanya dilakukan untuk menjaga harga saham tetap stabil di tengah tekanan pasar. Namun, dalam kondisi saat ini, aksi buyback yang terlalu sering dapat menimbulkan ketergantungan dan tidak mendorong pertumbuhan pasar modal secara alami.

Eko menekankan pentingnya peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam menopang perekonomian Indonesia. UMKM saat ini menyumbang hampir 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan mencakup 99 persen dari total usaha di Indonesia. Namun, dalam sektor keuangan, dominasi dana masih dikuasai oleh usaha besar.

Karena itu, pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing UMKM agar dapat menggeser dominasi usaha besar dalam pendanaan sektor keuangan.

“Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih pro-UMKM dalam berbagai aspek, mulai dari pangan, infrastruktur, hingga energi. Dengan demikian, UMKM bisa lebih kompetitif dan secara bertahap menjadi pemain utama dalam sektor keuangan,” jelasnya.

Di sisi lain, Eko menilai pelaku ekonomi menunggu langkah konkret pemerintahan Prabowo. Aksi buyback saham yang terjadi pasca pengumuman susunan kabinet belum cukup menjadi sinyal optimisme di pasar. Hingga saat ini, para pelaku ekonomi masih menunggu langkah strategis pemerintah untuk memastikan target-target ekonomi yang ditetapkan dapat dicapai dengan kebijakan yang kredibel dan implementasi yang jelas.

Meski kebijakan global turut memengaruhi stabilitas ekonomi nasional, Eko menegaskan bahwa faktor domestik seperti kredibilitas pengelolaan APBN, kemudahan investasi dan berusaha, serta dukungan bagi UMKM dan wirausaha jauh lebih menentukan arah perekonomian Indonesia ke depan.

Faktor global seperti kebijakan suku bunga Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik memang berpengaruh, tetapi jika kebijakan domestik kuat dan kredibel, maka dampak eksternal dapat diminimalkan.

Sebagai solusi, ia menyarankan agar pemerintah lebih realistis dalam menetapkan target makroekonomi sehingga dapat menjadi acuan bagi dunia usaha. Selain itu, fokus utama harus diarahkan pada peningkatan daya beli masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja formal, kemudahan investasi, serta pengembangan wirausaha profesional.

Hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penyederhanaan regulasi investasi, insentif pajak bagi perusahaan yang membuka lapangan kerja baru, serta mendorong akses pembiayaan yang lebih luas bagi UMKM dan wirausahawan baru.

“Dunia usaha butuh kepastian, bukan target yang terlalu muluk. Jika target terlalu tinggi dan tidak realistis, justru akan membuat kebingungan di kalangan pelaku ekonomi,” Eko memungkasi.

Diketahui, pemerintah baru saja mengumumkan susunan lengkap manajemen dari BPI Danantara. Nama-nama beken turut meramaikan kepengurusan Danantara. Sebut saja Ray Dalio, begawan investasi dari Bridgewater Associate; Jeffrey Sachs pengamat ekonomi dan geopolitik dari Columbia University, hingga mantan Perdana Menteri (PM) Thailand Thaksin Shinawatra.

Keberadaan Danantara sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) nasional menjadi menarik karena pemerintah Indonesia mengandalkan Danantara sebagai instrumen strategis jangka panjang untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara.

Di sisi lain, sejumlah kalangan mengkritik sejumlah persoalan di Danantara. Mulai dari transparansi, independensi, dan potensi sentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan aset BUMN melalui skema inbreng. INDEF misalnya menyoroti lemahnya kepatuhan Danantara terhadap Prinsip Santiago (Santiago Principles) terkait independensi, transparansi, dan akuntabilitas, serta potensi konflik kepentingan dalam struktur kelembagaannya.

Prinsip Santiago sendiri dikenal sebagai acuan bagi SWF dunia. Dalam kajiannya, INDEF menyebut Danantara sebagai lembaga investasi yang memiliki struktur kepengurusan yang gemuk. Full profesional di kalangan top manajemen dan full politisi di Dewan Pengarah dan Dewan Pengawas. Kekuatan Danantara yakni adanya Dewan Penasihat Internasional lalu manajemen eksekutif yang banyak diisi profesional.

Dradjad Wibowo menilai struktur kepengurusan Danantara sudah cukup baik. Ia mengapresiasi Rosan Roeslani selaku CEO Danantara yang telah memilih jajaran pengurus secara selektif dan profesional. “Saya kira mereka punya rekam jejak yang cemerlang di bidangnya masing-masing,” ujar Dradjad Wibowo.

Menurutnya, superholding Danantara akan membawahi seluruh perusahaan BUMN sehingga membutuhkan basis pasar yang besar. Kehadiran jajaran pengurus dari level domestik hingga internasional diharapkan mampu menjangkau pasar investasi yang penetratif. “Danantara itu sebuah potensi sinergi pasar luar biasa. Jika pasar sudah dikuasai, otomatis kinerja perusahaan yang meningkat,” ujarnya.

Ia mengaku di masa awal pembentukan Danantara, pasar memberikan respons negatif terutama pada bank Himbara yang tergabung di dalamnya. Karena itu, Dradjad menyarankan kepada pemerintah atau pengurus Danantara memberikan governance guarantee/assurance bahwa bank-bank Himbara tersebut akan dikelola dengan banking prudence dan kepatuhan yang ketat.

“Jika hal ini diikuti dengan kinerja laba yang membaik di Q1 dan Q2, saya rasa harga saham Himbara akan naik kembali,” ungkapnya.

https://www.inilah.com/ihsg-terjun-bebas-ekonomi-tertekan-hebat

 

  • Hits: 46

Danantara Janjikan Profesionalisme

Kompas, 25 Maret 2025, hal.: 1 dan 15

https://sdi.or.id/images/2025/Kompas250325.pdf

  • Hits: 35

Ekonom Bicara Peluang dan Dampak Negatif Kebijakan Tarif Trump Terhadap Indonesia

Tayang: Kamis, 3 April 2025 10:52 WIB

Penulis: Dennis Destryawan

Editor: Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Dradjad Hari Wibowo melihat dampak negatif kebijakan tarif imbal balik sebesar 32 persen yang Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Indonesia.

Trump secara resmi telah mengumumkan kebijakan tarif baru untuk barang yang masuk AS. Trump mengenakan tarif imbal balik terhadap Indonesia sebesar 32 persen.

Hal tersebut diyakini akan berdampak negatif terhadap Indonesia.

Menurut Dradjad, praktis ekpor ke AS, seperti di sektor pertanian, industri padat karya seperti pakaian, aksesoris, dan alas kaki akan terdampak.

"Termasuk juga mebel, minyak sawit, karet dan turunannya. Efeknya ke lapangan kerja tentu terasa. Saya belum menghitung berapa persen karena harus memasukkan ke model dinamik dulu," ujar Dradjad saat dihubungi Kamis (3/4/2025).

Selain itu, barang-barang impor dipastikan akan semakin melambung harganya. Sebab, negara-negara lain akan 'membalas' kebijakan perang dagang Trump, sehingga harga-harga barang secara global akan naik.

"Cost of money untuk membiayai defisit “sangat mungkin” akan naik juga. Jadi, pertama makin krusial bagi Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menjaga Rupiah semaksimal mungkin," tutur Dradjad.

Di sisi lain, Dradjad melihat Indonesia bisa memanfaatkan potensi positif dari kebijakan perang dagang dari Trump. Dia mencontohkan, negara-negara di Uni Eropa pastinya perlu pasar baru termasuk Indonesia.

"Kita bisa bernegosiasi dengan mereka untuk memudahkan masuknya ekspor andalan Indonesia seperti produk-produk olahan sawit, karet, coklat, kopi, kertas dan bubur kertas," imbuh Dradjad.

Dua negara ASEAN, yakni Thailand dan Vietnam, juga mendapat “tekanan” tarif yang cukup besar, masing-masing 36 persen dan 46 persen.

Merujuk laman resmi Kementerian Perdagangan RI, AS memang merupakan penyumbang surplus perdagangan nonmigas nasional tahun 2024.

Angka surplus perdagangan Indonesia-AS sebesar 16,08 miliar dollar AS dari total surplus perdagangan nonmigas 2024, yaitu sebesar 31,04 miliar dollar AS.

Ekspor nonmigas Indonesia ke AS antara lain berupa garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati.

https://m.tribunnews.com/bisnis/2025/04/03/ekonom-bicara-peluang-dan-dampak-negatif-kebijakan-tarif-trump-terhadap-indonesia

  • Hits: 34

Page 1 of 46

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id