Ekonom Senior Komentari Soal Kasus Pagar Bambu Misterius
METRO TV
Jan 14, 2025 #pagarlaut #TopEconomy #pagarbambu
MetroTV,
Pagar laut sepanjang 30 kilometer yang berada di lepas Pantai Tangerang, Banten membuat publik bertanya-tanya, siapa yang bertanggung jawab atas pagar laut ini?
#pagarlaut #pagarbambu #pagarbambumisterius
#TopEconomyMetroTV #TopNewsMetroTV #UrusPagarLautSiapaTakut
- Hits: 32
Apa Benar KKP Lengah Sehingga Tidak Melihat Siapa Yang Memasang Pagar di Laut?
METRO TV
Jan 14, 2025 #MetroTV #TopEconomy #TopEconomyMetroTV
MetroTV, Pagar laut sepanjang 30 kilometer yang berada di lepas Pantai Tangerang, Banten membuat publik bertanya-tanya, siapa yang bertanggung jawab atas pagar laut ini?
#TopEconomyMetroTV #TopNewsMetroTV #UrusPagarLautSiapaTakut #MetroTV
- Hits: 33
Pagar Laur Meresahkan Warga, Lalu Apa Alasan Dibangunnya Pagar Laut?
METRO TV
Jan 14, 2025 #PagarLaut #Tangerang #PIK
MetroTV, Pagar laut sepanjang 30 kilometer yang berada di lepas Pantai Tangerang, Banten membuat publik bertanya-tanya, siapa yang bertanggung jawab atas pagar laut ini?
#TopEconomyMetroTV #TopNewsMetroTV #UrusPagarLautSiapaTakut #PagarLaut #Tangerang #Bekasi #PIK
- Hits: 38
Dradjad Wibowo: Segera Cabut Pagar Laut jika tak Punya Ijin
Jika tidak ada ijin maka tidak alasan untuk tidak mencabut pagar laut.
Rabu 15 Jan 2025 17:48 WIB
Red: Joko Sadewo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF, Dradjad Wibowo, menyarankan agar persoalan pagar laut ditindak tegas, dengan melakukan pencabutan dan proses hukum. Energi bangsa sudah cukup terkuras dengan polemik pagar laut.
Dradjad mengatakan, jika memang pagar laut tersebut tidak memiliki ijin maka tidak ada masalah kalau dicabut karena tidak mempunya hak pemasangan. “Ini pagar bambu. PKL-PKL yang tanpa ijin saja juga dikejar-kejar satpol PP. Kalau tidak ada ijin ya selesai itu barang,” kata Dradjat, Rabu (15/1/2025).
Negara, menurut Dradjad, memiliki kuasa untuk membongkar pagar laut tersebut. “Negara bisa meminta TNI untuk cabut. Tidak ada yang punya kok, dan kalaupun ada (pagar laut) itu tidak sah, tidak ada ijinnya. Daripada berpanjang-panjang, cabut aja sudah selesai. Energi kita bisa kita gunakan untuk hal lain. Energi kita bisa kita pakai untuk mengurusi rupiah yang sedang mengalami tekanan,” ungkapnya.
Tidak itu saja, dikatakan Dradjad, harus ada proses hukum terhadap pemasang pagar laut tersebut. Persoalan pagar laut ini, menurutnya, sudah membawa dampak sosial maupun eksternalitas ekonomi. “Ya sudah tutup, cabut, proses hukum silakan dilanjutkan,” kata Dradjad.
Mengenai penelusuran pagar laut tersebut, Dradjad mengatakan bisa dilihat dari nilai ekonominya. “Kita orang ekonomi itu akan melihat uangnya lari kemana, follow the money. Ini kalau kita lihat, investasi pagar laut yang cukup besar ini mau dipakai untuk apa?. Apa mau dipakai untuk abrasi? tambak udang? garam? kan bisa kita uji. Mungkin orang berspekulasi reklamasi, tapi kan kalau dilihat dari bentuknya (pagar laut) kan itu seperti tidak murah,” kata Dradjad.
Dengan melihat bahwa pembuatan pagar laut tersebut tidak murah, kata Dradjad, mudah untuk menelusurinya. Termasuk dengan melihat bentukya yang teratur, sepertinya bukan masyarakat yang membuatnya. “Kalau masyarakat (pagar laut) tidak seteratur itu. Kalau masyarakat kan biasanya acak-acakan,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Jika ada yang mengaku memasang pagar laut tersebut, menurut Dradjad, Dirjen Pajak tinggal turun tangan. “Biaya memasang itu kan kelihatan, follow the money saja. Pajak kan akan bilang kamu sudah memasang ini, kamu punya uang segini, kok pajakmu cuma segini. Nanti akan kelihatan seimbang atau tidak,” ungkapnya. Institusi negara, lanjut Dradjad, punya banyak cara dan instrumen untuk mengetahui dan memverifikasi keberadaan pagar laut.
- Hits: 40
Indonesia Gabung BRICS, demi Apa?
Kompas.com - 17/01/2025, 08:00 WIB
Palupi Annisa Auliani, Sakina Rakhma Diah Setiawan
KOMPAS.com - Indonesia baru saja bergabung ke kelompok negara-negara BRICS, Senin (6/1/2025). Secara ekonomi, adakah manfaatnya? Apakah wacana mata uang acuan baru juga realistis?
"Kalau untuk harapkan investasi (dari BRICS), rasanya tidak banyak. Mungkin (ada keuntungan) dari perdagangan," ujar ekonom senior Dradjad Hari Wibowo, dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (16/1/2025).
Menurut Dradjad, Indonesia bergabung ke BRICS ada imbas positif dan negatif.
"Tapi (karena) sudah diputuskan oleh Presiden (untuk bergabung ke BRICS), tentu harus kita jalankan," kata dia.
Investasi vs perdagangan
Berdasarkan data, papar Dradjad, investasi terbesar ke Indonesia masih berasal dari negara-negara barat atau yang cenderung ke barat. Sebut saja Amerika Serikat, Uni Eropa, atau negara seperti Singapura dan Jepang.
Adapun dari negara-negara BRICS, posisi saat ini dan potensi investasi ke depan kemungkinan hanya berasal dari China. Meskipun peluang dari India tetap dimungkinkan, Dradjad menyebut selama ini ada persoalan terkait investasi yang tak pernah selesai antara Indonesia dan India.
Data berbeda muncul untuk perdagangan.
"Kalau lihat data (2024), ekspor kita ke BRICS itu sekitar 33-34 persen dari total ekspor Indonesia. Sepertiga dari total," sebut Dradjad.
Tapi, lanjut dia, dari proporsi total ekspor itu, 32 persen adalah ekspor ke China dan India, dengan porsi China sekitar 24 persen dan India di kisaran 8 persen.
Ekspor Indonesia dengan porsi besar berikutnya adalah negara-negara ASEAN, dengan proporsi sekitar 17 persen. Baru setelah itu ada Amerika Serikat di kisaran 10 persen, Uni Eropa 7 persen.
"Itu yang besar. Selebihnya nyebar, (seperti ke) Timur Tengah, dan sebagainya," imbuh dia.
Adapun Rusia dan Brasil, Dradjad menyebut ada pertimbangan yang lebih kompleks. Dari Brasil, kata dia, kemungkinan Indonesia akan mendatangkan sapi. Sementara dengan Rusia, pertimbangan geopolitik lebih mengemuka.
"Mungkin kita bisa dapat energi murah dari Rusia, juga pupuk atau gas. Tapi geopolitik harus dihitung," papar dia.
Lalu demi apa?
Dengan paparan data di atas, Dradjad menyarankan Indonesia menjadikan momentum bergabung ke BRICS ini untuk menyeimbangkan posisi geopolitik dan posisi ekonomi di tataran global.
"Bagaimana pun (negara-negara) barat enggak happy Indonesia masuk BRICS," ujar dia. Kala
Selain itu, lanjut Dradjad, momentum ini bisa dipakai untuk memperkuat posisi tawar Indonesia, baik ke negara-negara barat maupun anggota BRICS.
"Salah satunya lewat standardisasi dan peraturan perdagangan," sebut dia.
Selama ini, produk Indonesia untuk bisa masuk ke Amerika Serikat harus memenuhi standardisasi terkait biologi. Lalu, masuk ke pasar Uni Eropa juga ada banyak standardisasi seperti soal deforestasi dan lingkungan.
"Banyak mereka (negara barat) menerapkan standar. Mengapa kita tak terapkan standar untuk barang-barang mereka yang masuk ke kita?" tanya Dradjad.
Penerapan standardisasi bagi komoditas yang masuk ke Indonesia, menurut Dradjad sudah seharusnya dilakukan.
"Saya sedang mendorong untuk mengerjakan ini, (penerapan) standar. Supaya cengli, supaya fair. Mereka menerapkan standar, kita terapkan standar juga. Saya rasa fair ini," kata dia.
India, sebut Dradjad, bisa menjadi contoh soal membangun posisi tawar terhadap negara-negara barat. Seperti diketahui, India banyak membeli minyak dari Rusia. Tentu, kata Dradjad, Amerika Serikat tidak senang dengan langkah India tersebut.
"Tapi karena dia (India) kuat, Amerika tidak bisa terlalu banyak menekan dia," sebut Dradjad.
Nah, kata kuncinya menurut Dradjad ada pada kata "kuat". "Indonesia harus kuat secara politik dan ekonomi," tegas dia.
Isu mata uang baru dan dedollarisasi
Kehadiran BRICS juga memunculkan wacana mata uang acuan baru dari kelompok negara-negara ini.
"Masih jauh," tepis Dradjad.
Dradjad menerangkan, saat ini lebih dari 60 persen transaksi global masih memakai dollar AS. Menurut dia, angka penggunaan ini memang sudah turun dibanding masa jaya sebelumnya yang mencapai lebih dari 70 persen.
"Namun, penurunan itu juga butuh beberapa dekade," sebut dia.
Sementara itu, dari kelompok negara-negara BRICS, mata uang yang paling kuat adalah yuan. Namun, penggunaannya dalam transaksi perdagangan dan keuangan global baru di kisaran 2-5 persen.
"Untuk jadi mata uang acuan, perlu kekuatan sendiri. China yang paling kuat di antara negara-negara BRICS, tapi itu juga masih jauh untuk bisa jadi mata uang acuan," tegas Dradjad.
Terlebih lagi, Dradjad mengingatkan bahwa China sekalipun masih memegang banyak sekali dollar AS. Artinya, ungkap dia, kalau penggunaan dan nilai tukar dollar AS amblas, China pun rugi.
"(Jadi), saya rasa masih jauh untuk mata uang baru. Kalau dedolarisasi ditafsirkan sebagai peningkatan porsi settlement perdagangan internasional di luar dollar, memang sudah terjadi. Kita harus realistis," papar Dradjad.
Menurut Dradjad, bakal butuh beberapa dekade lagi dan bahkan mungkin tak akan terjadi penggunaan dollar AS dalam transaksi keuangan global turun sampai di bawah 50 persen.
"Bahwa settlement di luar dollar AS akan lebih banyak, iya. Tapi porsinya tak akan terlalu signifikan," pungkas dia.
https://money.kompas.com/read/2025/01/17/080000526/indonesia-gabung-brics-demi-apa
- Hits: 42
More Articles …
Page 1 of 44