Akibat Coretax dan Formula Baru PPh 21, Setoran Pajak Awal Tahun Bisa Merosot
Pemerintah mesti mencari sumber penerimaan baru dan membenahi sistem Coretax agar penerimaan pajak tidak lesu berkepanjangan.
Oleh Agnes Theodora
20 Feb 2025 07:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan pajak di awal tahun diperkirakan turun dibandingkan tahun sebelumnya akibat berbagai persoalan yang muncul di awal tahun. Dengan kinerja perpajakan yang lesu di awal tahun, pemerintah dinilai bakal kesulitan mengejar target penerimaan pajak pada tahun 2025.
Beberapa faktor yang menghambat laju penerimaan pajak di awal tahun 2025 adalah sistem perpajakan baru Coretax yang sampai saat ini masih bermasalah, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang batal berlaku secara umum, serta dampak berlakunya formula baru tarif efektif rata-rata (TER) dalam pemungutan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21).
Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, penerimaan pajak pada Januari 2025 kemungkinan besar akan berkontraksi atau tumbuh negatif secara tahunan (year on year). Ada dua faktor besar yang menurutnya mengganggu setoran pajak.
Pertama, risiko operasional dari sistem Coretax atau Sistem Informasi Administrasi Pajak (SIAP) yang berlaku sejak 1 Januari 2025, tetapi belum siap diterapkan. Sistem tidak berjalan mulus sehingga banyak wajib pajak kesulitan menunaikan kewajiban, khususnya untuk membayar dan melaporkan PPN ataupun PPh.
Sudah lebih dari satu bulan sistem berlaku, tetapi masih menghadapi berbagai kendala teknis. Akibat sistem yang tak kunjung siap, awal Februari 2025 ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pun sepakat tetap mempertahankan sistem pajak yang lama agar tidak menghambat proses pengumpulan pajak.
Dengan demikian, saat ini ada dua sistem yang berlaku secara paralel, yakni Coretax dan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) yang selama ini dipakai.
”Coretax memang didesain sebagai game changer. Sayangnya, sampai sekarang sistem itu malah menjadi masalah alih-alih menjadi solusi. Dari segi kebijakan pajak, risikonya tinggi sekali,” kata Fajry saat dihubungi di Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Faktor kedua adalah koreksi dari penerimaan PPh 21 akibat mekanisme TER yang diterapkan mulai tahun 2024 lalu. Akibat mekanisme baru itu, ada selisih kelebihan pembayaran pajak yang mesti dikembalikan ke wajib pajak karyawan. Pengembalian lebih bayar pajak itu wajib dilakukan paling lambat pada Januari 2025.
Menurut Fajry, dampak koreksi PPh 21 baru terlihat awal tahun ini karena administrasi pemotongan PPh 21 di Masa Desember kebanyakan baru disetorkan dan dilaporkan oleh perusahaan di bulan berikutnya alias Januari 2025.
”Kita tahu, dalam perhitungan PPh 21 ada koreksi perhitungan di bulan Desember karena mekanisme TER. Namun, pembayarannya paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya di Januari. Makanya, kemungkinan besar dampaknya ke penerimaan baru terasa di bulan Januari,” ujar Fajry.
Sulit capai target
Berkaca pada kinerja lesu di awal tahun, pemerintah dinilai bakal kesulitan mengejar target pajak 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Meskipun penerimaan pajak diprediksi tetap tumbuh positif sepanjang tahun, capaiannya bakal jauh dari target.
Perhitungan CITA, pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan sebesar Rp 265 triliun dibandingkan outlook penerimaan tahun lalu untuk bisa mengejar target penerimaan 2025. Itu angka yang sulit dicapai mengingat tambahan penerimaan pada 2024 pun hanya Rp 63,1 triliun. Besarannya tidak jauh beda dari rata-rata tambahan penerimaan prapandemi (2014-2019), yakni Rp 68,62 triliun.
”Untuk jenis pajak, penerimaan PPN dan PPnBM (pajak barang mewah) akan paling berat untuk mencapai target, butuh setidaknya tambahan Rp 116,62 triliun. Kalau kenaikan tarif PPN yang lalu jadi dilaksanakan, ada tambahan penerimaan Rp 70 triliun-Rp 80 triliun, masih mungkin untuk mencapai target. Namun, sekarang jadi sulit,” tutur Fajry.
Meski demikian, ia menilai PPh Badan masih bisa tumbuh positif pada 2025 dibandingkan tahun 2024. Itu karena basis penerimaan pada 2024 yang rendah akibat terdampak moderasi harga komoditas dari 2022 ke 2023.
”PPh Badan akan membaik lagi, bahkan bisa tumbuh positif. Namun, kemungkinan besar tahun ini kita akan tetap lebih banyak bergantung pada penerimaan PPN,” katanya.
Efisiensi bisa terhambat
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo memperkirakan penurunan penerimaan pajak cukup besar, khususnya penerimaan pajak neto. Hal itu didasarkan pada data Modul Penerimaan Negara (MPN).
"Perbaikan Coretax tetap perlu dilakukan, tetapi perlu waktu. Sebaiknya lakukan terobosan PNBP dulu untuk beberapa bulan ini agar cash flow pemerintah bagus," kata Dradjad yang juga ekonom Sustainable Development Indonesia.
Menurut Dradjad, jangan sampai gara-gara MPN anjlok, rencana efisiensi belanja negara Rp 600 triliun lebih menjadi tidak terwujud.
Dipertanyakan
Isu kinerja penerimaan pajak yang merosot pada awal 2025 juga mencuat dalam rapat kerja Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan jajaran Kementerian Keuangan yang digelar tertutup di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (18/2/2025).
Di forum rapat, Ketua Komite IV DPD Ahmad Nawardi meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menjelaskan perihal penerimaan negara yang turun akibat permasalahan di sistem Coretax. Ia mempertanyakan informasi yang didapat bahwa penerimaan negara di awal tahun hanya sanggup menyentuh Rp 50 triliun, turun jauh dari penerimaan awal tahun 2024 lalu yang mencapai Rp 172 triliun.
Informasi yang didapat Nawardi, setoran pajak yang anjlok itu akibat permasalahan di Coretax. Faktur pajak yang masuk ke sistem hanya mampu mencapai 20 juta faktur, turun signifikan dibandingkan 60 juta faktur pada periode yang sama tahun lalu.
Namun, pertanyaan Nawardi tidak dijawab Kemenkeu. ”Belum dijawab sama Bu Sri Mulyani. Mungkin lupa juga karena banyak pertanyaan. Waktu beliau juga sempit sehingga saya mau memperdalam tidak cukup waktu,” kata Nawardi.
Ia pun meminta pemerintah untuk mencari sumber penerimaan baru demi menutup kinerja yang lesu di awal tahun itu. ”Sistem pajak digital memang bagus, tetapi kalau terus terjadi masalah ini harus cepat diperbaiki. Berarti pemerintah harus cari solusi mendapat penerimaan dari tempat lain,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, DJP Kemenkeu belum mau berkomentar ataupun membuka informasi terkait data penerimaan pajak per Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti hanya menjawab, ”Realisasi penerimaan pajak per Januari 2025 akan disampaikan langsung Menkeu melalui konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) yang rutin dilaksanakan setiap bulan.”
- Hits: 14
Penjelasan Tim Ekonomi soal Presiden Prabowo Pangkas Anggaran Rp306 T Demi Makan Bergizi Gratis
Feb 5, 2025 #anggaran #makanbergizi #prabowo
JAKARTA, KOMPAS.TV - Tim Ekonomi Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo memberikan penjelasan terkait efisiensi anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo dalam masa pemerintahannya.
Ia mengatakan bahwa efisiensi dilakukan untuk membantu mewujudkan program Presiden Prabowo, misalnya seperti makan bergizi gratis dan program pembangunan rumah.
"Mau tidak mau lakukan efisiensi, relokasi anggaran," ujar Drajad.
#efisiensianggaran #prabowo #makanbergizi #anggaran
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/nasional/571805...
https://www.youtube.com/watch?v=ZCRW7R02W28
- Hits: 66
More Articles …
Page 1 of 45