KASUS MAFIA IMPOR DAGING

I. Pendahuluan

Penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah RI dengan IMF pada Bulan Januari 1998 merupakan tonggak sejarah yang berperan besar merusak sistem produksi pangan di Indonesia.

Melalui LoI, peranan Bulog sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan, utamanya beras, dikebiri habis. Kredit likuiditas untuk pangan juga dilarang. Akibatnya Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok dan operasi pasar yang dulu efektif menstabilkan harga pangan, kecuali pada saat krisis Asia. Bahwa monopoli oleh Bulog menjadi sumber korupsi itu memang benar dan harus diberantas. Tapi memberantas korupsi bisa dilakukan tanpa harus melumpuhkan sistem stabilisasi pangan yang terbukti cukup efektif.

LoI juga membuka keran impor besar-besaran dengan jalan menurunkan bea masuk impor produk pertanian pangan dan non-pangan menjadi 0 dan 5 persen.

 

II. Kebijakan Pro-Impor sebagai Lahan Subur bagi Mafia Impor Pangan

Dampak LoI yang paling parah adalah dari sisi orientasi kebijakan. Pada masa Presiden Soeharto, para pembuat kebijakan berorientasi pada swasembada serta pengamanan produksi dan harga bagi petani. Pasca LoI, orientasi kebijakan menjadi sangat pro impor pangan.

Penentangan terhadap sikap pro-impor ini sudah banyak disuarakan oleh para ekonom dan lembaga penelitian yang anti neoliberalisme. Himpunan Alumni IPB juga sangat konsisten menyuarakan keberpihakan terhadap buah lokal.

Bersama Indef, saya sejak 1999 terus menerus menyuarakan hal yang sama. Saya tidak anti asing, tidak anti impor. Yang saya tentang adalah kebijakan pro-impor yang sudah berlebihan, yang hingga pemerintahan saat ini pun tidak mengalami perubahan berarti.

Penangkapan pimpinan parpol terkait impor daging sapi seolah-olah membuka mata rakyat Indonesia, bahwa mafia impor yang kami teriakkan itu benar adanya. Bahwa tidak sedikit oknum, baik dari parpol maupun non-parpol, yang mengeruk rente uang haram besar-besaran dari impor pangan. Bahwa impor pangan itu bukan murni soal supply dan demand, tapi lebih kepada "bagaimana bisa mengeruk uang banyak dengan mudah dan cepat".

Orang sering menyalahkan politisi dan parpol. Memang benar ada oknum politisi yang korupsi dari impor pangan. Namun, dengan atau tanpa politisi pun, pengerukan uang haram dari impor pangan tetap akan terjadi.

Beberapa modusnya antara lain, Pertama estimasi kebutuhan komoditi pangan dilebih-lebihkan. Yang penting terdapat gap besar antara supply dan demand sehingga kesannya impor menjadi keharusan.

Kedua, membuat lonjakan harga komoditas pangan pada bulan-bulan tertentu. Sehingga, impor pangan terjustifikasi.

Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan sehingga importir mendapat keuntungan besar dari pembebasan PPN, bea masuk dan PPh. Keuntungan besar ini yang kemudian dibagi-bagi kepada siapa saja yang membantu menjaga impor, baik politisi, birokrat atau siapa saja.

Keempat, memainkan berbagai mekanisme pengaturan seperti kuota impor. Padahal faktanya, impor setiap komoditas pangan itu hanya dikuasai oleh segelintir pemain. Mekanisme kuota ini memudahkan membagi-bagi uang haram dari impor.

Sebagai alumni IPB, saya sangat menyayangkan bahwa meskipun Presiden SBY adalah alumni pasca sarjana IPB, namun kebijakan pro-impor ini tidak dikoreksi total. Saya berharap dalam sisa masa pemerintahan ini, Presiden SBY dan tim ekonominya, yang notabene dikomandani Ketum partai saya, mau mengembalikan orientasi kebijakan pangan menjadi pro-swasembada dan produksi dalam negeri seperti pada jaman Presiden Soeharto.

 

III. Kehilangan Uang Negara

Sebagai salah satu contoh dari pengerukan uang haram di atas, mari kita lihat kasus mafia impor daging sapi. Data-data yang saya kemukakan di sini adalah berdasarkan laporan yang tidak dipublikasikan dari sebuah lembaga resmi negara.

Sama seperti mafia impor kedelai yang pernah saya ungkap, impor daging sapi sebenarnya hanya dikuasai segelintir pemain saja, tepatnya 12 pemain.

Pemerintah cq Kementerian Pertanian lalu seolah-olah akan mendobrak dominasi 12 pemain ini dengan membuka sebanyak mungkin pemain baru. Faktanya, sebagian besar pemain baru tersebut hanya berjualan ijin saja, atau hanya dipinjam sebagai bendera, atau kalaupun benar-benar mengimpor, jumlahnya sangat kecil.

Itulah sebabnya mengapa mekanisme kuota justru memudahkan pembagian uang haram. Pemain baru tersebut lebih senang mengambil fee yang dihitung per kilogram daging. Tentu ada oknum tertentu, dari parpol atau non-parpol, yang mem-back up pemain baru ini. Sementara ke-12 pemain tersebut tetap juga mendapatkan kuota, namun harus membayar fee tertentu kepada mereka yang membantu mendapatkan kuota.

Dari mana mereka bisa menutup fee tersebut?

Pertama, dari pembebasan PPN. Dengan berbagai alasan, mafia impor berhasil memperjuangkan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor daging. Akibatnya, selama periode Januari 2010-Juli 2011 negara kehilangan PPN sebesar Rp 546 milyar, hanya dari daging sapi (termasuk jeroan).

Berdasarkan data base Ditjen Bea Cukai, jumlah impor daging sapi tahun 2010 adalah sebanyak 90.541.414 kg daging dan 49.599.762 kg jeroan/daging sisa. Jadi totalnya 140.141.176 kg.

Untuk periode Januari-Juni 2011 jumlah impornya 25.080.734 kg daging dan 16.398.425 kg jeroan/daging sisa. Totalnya adalah 41.479.159 kg.

Jumlah PPN yang harus dibayar adalah Rp 548.803.681.353,00 atau Rp 548,8 milyar. Ini dibebankan kepada 49 importir. Dari jumlah tersebut, yang dibayarkan kepada negara hanya Rp 2,8 milyar !!! Sisanya yang Rp 546 milyar dibebaskan, sehingga menjadi tambahan keuntungan importir.

Apakah rakyat Indonesia diuntungkan dari pembebasan PPN ini? Tidak sama sekali. Negara kehilangan penerimaan, sementara rakyat tetap dibebani harga daging yang melonjak-lonjak.

Yang unik, jumlah pembebasan PPN di atas ternyata setara dengan fee haram yang harus dibayarkan importir kepada oknum-oknum yang "membantu" mereka. Informasi yg beredar di lapangan, fee tersebut besarnya Rp 5000 per kg daging dan Rp 2000 per kg jeroan/daging sisa. Jika dikalikan data impor di atas, diperoleh angka sekitar Rp 452,5 milyar ditambah Rp 99 milyar, yaitu Rp 551,5 milyar.

Dengan kata lain, bisa dikatakan fee atau sebenarnya sogokan untuk oknum-okmun parpol dan non-parpol tersebut dibiayai dari pembebasan PPN. Para penegak hukum sebaiknya mulai menyelidiki dan menyidik pembebasan PPN ini.

Kedua, dari pemindahan klasifikasi antara daging sapi dengan jeroan/daging sisa.

Importir harus membayar bea masuk sebesar 5 persen terhadap nilai pabean dari barang yang diimpor. Nilai pabean dihitung berdasarkan harga CIF (Cost, Insurance and Freight), atau nilai patokan tertentu yang ditetapkan oleh Ditjen Bea Cukai.

Karena harga CIF jeroan/daging sisa lebih rendah dari daging, importir yang nakal akan mengurangi kewajiban bea masuknya dengan melaporkan seolah-olah dia mengimpor jeroan/daging sisa. Padahal yang diimpor adalah daging.

Modus ini terbukti dalam kasus 4 perusahaan importir, yaitu IGU, IP, SLP dan BMA. Ini setelah laporan impor yg tercatat pada Ditjen BC (DJBC) dibandingkan dengan yang tercatat pada Badan Karantina Pertanian (Barantan), Kementerian Pertanian.

Selama periode Januari 2010-Juni 2011 diketahui jumlah impor daging keempat perusahaan tersebut adalah 13.453.271,13 kg (data DJBC), sementara data Barantan adalah 28.331.263,72 kg.

Artinya, data impor daging di DJBC ternyata 14,9 ribu ton lebih rendah dari data Barantan.

Sementara untuk impor jeroan/daging sisa, data DJBC sebesar 30.993.006,85 kg, sementara data Barantan 7.841.980,59 kg. Artinya, data DJBC 23,2 ribu ton lebih besar dari Barantan.

Karena harga CIF daging sapi lebih mahal dari jeroan/daging sisa, jelas negara kehilangan penerimaan bea masuk. Dokumen yang saya peroleh menyebutkan negara kehilangan potensi penerimaan bea masuk, PPN dan PPh sebesar Rp 48,5 milyar. Angka tersebut baru untuk 4 importir.

Sebagai catatan, kode Harmonized System (HS Code) untuk daging sapi adalah HS 0201 dan 0202. Sementara untuk jeroan/daging sisa masuk HS 0206.

Penegak hukum juga perlu menyelidiki dan menyidik manipulasi data impor ini.

Ketiga, sumber yang ketiga adalah permainan harga di pasar. Namun estimasinya jauh lebih sulit dilakukan.

 

IV Penutup (Mafia dari hulu ke hilir)

Uraian ringkas di atas menunjukkan bahwa mafia impor daging bermain di semua lini, dari hulu ke hilir untuk mengamankan permainannya. Dari Ragunan hingga Lapangan Banteng. Dari formulasi kebijakan hingga hal-hal kecil seperti pelaporan impor. Ini adalah ciri khas yang juga terdapat pada mafia impor pangan lainnya.

Pemindahan HS Code misalnya sulit bisa dibayangkan bisa mulus terjadi tanpa kerjasama dengan oknum DJBC. Bagaimana mungkin dengan segala peralatan yang canggih dan super mahal, DJBC bisa kebobolan sebanyak itu hanya untuk 4 importir? Mengapa tidak dilakukan cek silang dengan Barantan?

Yang jelas, dari semua permainan mafia impor, ujung-ujungnya sama. Negara kehilangan potensi penerimaan, rakyat dipermainkan oleh harga pangan yang melonjak-lonjak. Sementara para pemain dan oknum yg mem-back up-nya memperoleh uang banyak dengan mudah dalam waktu yang singkat.

 

Dradjad H. Wibowo - Ekonom - Sustainable Development-Indonesia (SDI)

 

  • Hits: 29403

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id