PENGHASILAN PEJABAT ESELON 1 KEMENKEU SETARA ATAU BAHKAN LEBIH TINGGI DARI PM INGGRIS DAVID CAMERON
Minggu lalu saya mendapat kiriman data tentang penghasilan beberapa eselon 1 Kementerian Keuangan (tidak semua eselon 1 Kemenkeu). Sumber data tersebut dari internal Lapangan Banteng sendiri.
Yang mengagetkan, jika dirata-rata, penghasilan sebagian pejabat eselon 1 Kemenkeu ternyata kira-kira setara atau bahkan bisa lebih besar dari penghasilan PM Inggris David Cameron. Sebagaimana diketahui, sebagai realisasi janji kampanye untuk memotong gajinya sendiri 5%, penghasilan PM Inggris adalah sebesar £ 142 ribu. Dengan kurs tengah Pound saat ini sekitar Rp 14300/£, maka Inggris hanya menggaji PM-nya sekitar Rp 2,03 milyar per tahun.
Data yang dikirim ke saya mencakup periode 2006-2010. Namun untuk tahun 2009 dan 2010 sebagian datanya masih bolong. Untuk periode 2006-2008, jika dirata-rata, penghasilan eselon 1 yang namanya disebut dalam data tersebut bisa mencapai Rp 2,23 milyar setahun. Bandingkan dengan penghasilan PM David Cameron.
Penghasilan di atas mencakup gaji dan TKPKN (Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara) dari Kementerian Keuangan, ditambah penghasilan sebagai komisaris. Seperti diketahui, pejabat eselon 1 dan 2 Kemenkeu sebagian ditempatkan sebagai komisaris Bank BUMN, Bank eks BPPN dimana negara masih mempunyai saham, serta berbagai BUMN. BUMN ini termasuk BUMN yang merugi dan atau terlilit utang dan atau menyedot subsidi sangat besar dari negara, seperti misalkan PLN.
Dengan kata lain, penghasilan para eselon 1 tersebut semuanya berasal dari aset negara, baik yang dipisahkan maupun tidak. Selain itu, negara juga membayar pajak dari penghasilan di atas. Sebagian pajak dibayarkan oleh Kemenkeu, masuk DTP (ditanggung pemerintah) dan atau dibayarkan oleh BUMN. Kalaupun ada pajak yang dibayar sendiri, saya tidak yakin kalau jumlahnya diatas 5% dari penghasilan di atas.
Untuk tahun 2006, penghasilan tersebut belum mencakup TKPKN. TKPKN ini adalah tunjangan terkait reformasi birokrasi, secara resmi baru diberikan mulai tahun 2007. Besarnya adalah antara Rp 2,09 juta per bulan untuk PNS Kemenkeu dengan grade terendah, hingga Rp 49,33 juta per bulan untuk eselon 1 dengan grade tertinggi.
Sebagai catatan, kalau di DPR sebenarnya TKPKN ini tidak jauh berbeda substansinya dengan Dana Aspirasi Anggota DPR yang ditolak publik tersebut. Hanya bedanya, dana aspirasi anggota DPR harus dibagi-bagi kepada masyarakat konstituen, sementara TKPKN 100% untuk pejabat yang bersangkutan.
Angka di atas hanya mencakup penghasilan langsung tunai. Penghasilan tidak langsung dan atau dalam bentuk natura belum masuk. Padahal BUMN (terutama bank BUMN) memberikan penghasilan tidak langsung/natura yang mewah untuk komisarisnya, seperti jatah kartu kredit dengan nilai plafon yang bisa mencapai Rp 100 juta, mobil dinas yang bisa dimiliki setelah 5 tahun bertugas, tunjangan perumahan, transportasi, kesehatan dan lain-lain yang nilainya cukup besar.
Penghasilan di atas juga belum memasukkan per diem perjalanan dinas dalam dan luar negeri, honor rapat, honor sebagai pembicara, dsb. Jika semuanya itu dimasukkan, rata2 penghasilan tersebut akan berada pada kisaran Rp 2,6 - 3,0 milyar setahun. Di sini saya berasumsi bahwa para eselon 1 tsb adalah pejabat bersih semua. Saya asumsikan mereka tidak menerima gratifikasi dari pihak-pihak seperti: pemain pasar modal, brokers dan arrangers SUN yg memperoleh yield tinggi dari negara, pelaku asuransi, para wajib pajak, eksportir, importir, eks pasien-pasien BPPN, eks obligor BLBI, pelaku pelelangan aset negara, dst.
Mahalnya negara membayar para eselon 1 tersebut sangat ironis. Kemenkeu paling gencar menyuarakan penghematan nasional, bahkan penurunan subsidi BBM secara drastis dimana rakyat diminta berkontribusi makin besar menanggung beban negara. Namun eselon 1-nya diam-diam mendapatkan penghasilan super besar dari negara.
Selain itu, jika David Cameron memotong gaji, Kemenkeu justru sebaliknya. Mewahnya penghasilan di atas menjadi lebih ironis lagi karena hal-hal berikut:
Pertama, kepada Kementerian dan Lembaga (K/L) lain, Kemenkeu cenderung pelit. Penghasilan pegawai Gol III A di Kemenkeu bahkan bisa setara dengan Eselon 1 di K/L yg tidak memperoleh remunerasi. Untuk K/L yang sudah lolos reformasi birokrasi, remunerasinya pun tidak semuanya dibayar 100% seperti Kemenkeu.
Kedua, remunerasi tinggi tersebut tidak mencegah korupsi dan suap, seperti terlihat dari kasus Gayus, kasus bea cukai, dan sekarang kasus Dhana.
Ketiga, remunerasi tinggi tersebut tidak terbukti menaikkan kinerja secara signifikan. Contohnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) tahun 2011 menemukan hilangnya aset-aset eks BPPN sebesar Rp 38,11 triliun di Kemenkeu. Jika saja kinerja Kemenkeu bagus, aset tersebut tidak akan hilang dan bisa digunakan untuk menutup pembengkakan subsidi BBM dan energi.
Kasus 7 obligor BLBI yang dijanjikan tuntas tahun 2006/2007, hingga sekarang masih terkatung-katung. Dari sisi utang, Kemenkeu sangat rajin berutang, dengan biaya mahal lagi. Contohnya tahun 2009 Kemenkeu menerbitkan obligasi USD dengan yield 11,75% pada awal 2009. Padahal deposito Rupiah hanya memberikan bunga 6 - 7%.
Dari sisi penerimaan pajak, tax ratio tidak pernah bergerak dari level sekitar 12%. Kewenangan penegakan hukum yang besar, seperti penyidikan oleh Bea Cukai juga tidak dimanfaatkan dengan optimal. Contohnya, Ditjen Bea Cukai menjadi gamang ketika harus menyidik dugaan penyelewengan dan korupsi dalam pemberian monopoli impor gula oleh Kemendag kepada PPI pada awal 2012.
Keempat, Kemenkeu gencar menyiapkan pensiun dini PNS untuk menghemat APBN. Namun rekruitmen PNS Lapangan Banteng tetap jalan terus. Jika soal remunerasi, Kemenkeu menjadi pelopor yg pertama menerimanya di tahun 2007. Untuk pensiun dini, Kemenkeu tidak berani menjadi pelopor.
Sebagai penutup, pesan utama tulisan ini adalah, penghematan APBN yang dicanangkan Presiden sebaiknya dimulai dari Lapangan Banteng. Penghapusan rangkap jabatan petinggi Kemenkeu bisa menjadi langkah awal untuk menunjukkan komitmen penghematan ini. Apalagi rangkap jabatan ini tidak sesuai dengan reformasi birokrasi, dan Kemenkeu pernah berjanji akan melarangnya. Saya yakin jika tupoksi di setiap lini Kemenkeu dioptimalkan pelaksanaannya, penghematan yang bisa diwujudkan akan sangat besar sekali.
Bogor, 4 Juni 2012
Author: Dradjad H. Wibowo, Ir (IPB), MEc (UQ), PhD (UQ)
- Hits: 16340