Kemenangan Trump di Pemilu AS 2024 dan Imbasnya ke Ekonomi Indonesia

Kompas.com - 07/11/2024, 08:05 WIB

Editor : Palupi Annisa Auliani

DONALD Trump dipastikan memenangi Pemilu Amerika Serikat (AS) 2024. Dia akan menjadi Presiden AS untuk kali kedua.

Lalu, adakah imbasnya bagi Indonesia, terutama di bidang ekonomi?

Jawabannya, ada. Bahkan, imbasnya diprediksi cukup signifikan. Ada sejumlah dimensi pula. Imbas ini juga bisa dibagi untuk jangka pendek serta jangka menengah dan panjang.

"Kemenangan Trump ini bagi Indonesia lebih banyak ke aspek keuangan (dan) moneter," ujar Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan, Rabu (6/11/2024).

Secara umum, kata dia, kebijakan ekonomi dan dagang Trump akan mementingkan ekonomi domestik Amerika terlebih dahulu. Misal, dengan rencana bea masuk (tarif) tinggi ke Amerika untuk produk impor.

Namun, Maftuchan berkeyakinan Trump tidak akan membuat kebijakan seekstrem periode pertama jabatannya pada 2016-2020 yang antara lain memicu perang dagang dengan China dan berdampak global.

Adapun ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiandi, memprediksi ada imbas negatif untuk ekonomi Indonesia dalam jangka pendek, terutama di sektor keuangan dan moneter.

Meski demikian, Fithra berkeyakinan tetap ada peluang terpampang bagi Indonesia di jangka menengah dan panjang terkait kebijakan ekonomi Trump.

"Secara jangka pendek, kemenangan Trump ini saya prediksi akan mempengaruhi keputusan The Fed (terkait suku bunga acuan The Fed) pada 7 November 2024 waktu setempat," kata Fithra, Rabu.

Bila The Fed menahan atau membatasi penurunan suku bunga dibanding proyeksi sebelum hasil Pemilu AS 2024 ini menuju kemenangan Trump, nilai tukar rupiah dan bursa saham bisa tertekan.

Namun, Fithra berkeyakinan nilai tukar rupiah bakal mampu bertahan di bawah level Rp 16.000 per dollar AS hingga akhir tahun ini.

Terpisah, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Hari Wibowo, lebih khawatir dengan imbas kebijakan tarif yang akan diterapkan Trump terutama untuk produk dari China.

"Kita bisa semakin dibanjiri produk murah dari China yang tak bisa masuk Amerika," kata Dradjad, Rabu.

Menurut Dradjad, ini bisa berdampak serius bagi industri di dalam negeri.

Berikut ini ulasan dari masing-masing dimensi imbas kemenangan Trump di Pemilu AS terhadap ekonomi Indonesia, baik positif maupun negatifnya.

Keuangan dan moneter

Federal Open Market Committee (FOMC atau The Fed) pada Kamis (7/11/2024) waktu setempat akan menggelar pertemuan rutin yang antara lain menentukan besaran suku bunga acuan (Fed funds rate atau Fed rate).

Sebelumnya, para ekonom memprediksi The Fed akan menurunkan lagi suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps). Namun, ini prediksi sebelum kemenangan Trump di Pemilu AS 2024.

Fithra mengatakan, setelah Trump menang, diperkirakan The Fed akan punya pertimbangan lain soal kebijakan moneternya ini.

"Sekarang kemungkinan turun 25 bps, bahkan mungkin di-hold dulu (penurunan Fed rate)," sebut Fithra.

Proyeksi perubahan pemikiran The Fed ini karena persepsi pasar ke Trump selalu adalah mengasosiasikannya dengan kebijakan yang akan memicu inflasi. Wajar bila kemudian The Fed punya kekhawatiran bahwa kemenangan Trump ini akan memicu ekspektasi inflasi.

"(Jadi) kalau The Fed (sekarang) memangkas suku bunga acuan terlalu cepat, (dikhawatirkan) inflasi akan naik," kata Fithra yang juga adalah pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) ini.

Dengan kebijakan Trump yang cenderung ekspansif, lanjut Fithra, yang bisa dilakukan The Fed adalah memilih mempertahankan besaran suku bunga acuan saat ini atau kalaupun Fed rate tetap dipangkas maka pada 2025 tidak akan ada kebijakan moneter yang agresif dari bank sentral Amerika tersebut.

"(Gambarannya) kalau bukan Trump yang menang The Fed bisa turunkan (Fed rate) empat sampai lima kali (pada 2025), sekarang (dengan Trump menang) ya (frekuensinya) turun," tutur Fithra. Hingga Rabu, suku bunga acuan The Fed adalah rentang 4,75-5 persen, setelah turun sebesar 50 bps pada September 2024 untuk kali pertama sejak pandemi Covid-19.

Pemangkasan dilakukan karena The Fed berkeyakinan angka inflasi di AS akan berlanjut membaik, beserta penyerapan tenaga kerja yang juga naik. Sekali lagi, ini keyakinan sebelum Trump menang.

Slogan Trump "Make America great again", menurut Fithra memang dimungkinkan membuat ekonomi AS menguat. Namun, inflasi juga bisa tinggi lagi.

Buat Indonesia, konsekuensi dari proyeksi kebijakan The Fed ini adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan ruang terbatas bagi Bank Indonesia untuk mengelola suku bunga acuan. Ini bila benar suku bunga acuan The Fed dipertahankan di level yang sama atau turun terbatas.

"Pertumbuhan ekonomi (Indonesia) akan dibayangi suku bunga tinggi, padahal di kuartal III/2024 sudah melemah di bawah 5 persen," kata Fithra.

Ruang negara-negara berkembang (emerging market) seperti Indonesia untuk mengelola kebijakan moneternya akan terbatas.

Dengan persepsi pasar tentang arah kebijakan ekonomi Trump, lanjut Fithra, indeks dollar akan cenderung meningkat, yang berarti rupiah akan tertekan.

Lalu, pasar saham Amerika diyakini akan menguat dengan ekspektasi ekonomi Amerika lebih kuat di era Trump. Artinya, bursa saham emerging market berpotensi kurang peminat.

Untuk pasar surat berharga (bond), ada paradoks yang terjadi di situasi seperti saat ini. Sekalipun yield (semacam bunga) bond bertenor 10 tahun di Amerika naik menjadi 4,4 persen, peminatnya tetap berkurang.

Meski demikian, ini berdampak bond bertenor 10 tahun di Indonesia juga tidak menarik karena selisih yield pun tipis dengan yang di Amerika.

"Ini tren, kalau mau growth jangka pendek, (investor akan) lebih banyak koleksi saham dibanding bond," ungkap Fithra.

Konsekuensi jangka pendek bagi Indonesia dari peta indeks dollar, bursa saham, dan pasar obligasi ini, menurut Fithra adalah rupiah tertekan, bursa saham tertekan, dan pasar obligasi tertekan meski terbatas.

"Akan ada limited capital ke emerging, bahkan reversal. (Akan terjadi) depresiasi di emerging market. (Kemenangan Trump) positif untuk (ekonomi) AS tapi negatif buat emerging (market)," ringkas Fithra.

Maftuchan menambahkan, imbas dari situasi ini bahkan dimungkinkan terjadi arus uang keluar (capital outflow) dari Indonesia ke AS. Bersamaan, lanjut dia, Bank Indonesia akan semakin sibuk dengan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah.

"(Dan upaya stabilisasi itu) bisa berdampak pada penurunan devisa Indonesia," sebut Maftuchan.

Meski demikian, Fithra optimistis ada peluang yang tetap bakal terbuka bagi emerging market, termasuk Indonesia, dalam jangka menengah dan panjang.

"Ketika (ekonomi) mereka (AS) tumbuh, uangnya juga tumbuh. Mereka juga akan mendorong ekspor. Secara sistematis dia akan (berupaya juga) melemahkan nilai tukar (dollar AS) karena dia pun punya kepentingan untuk tetap bisa kompetitif (di pasar)," papar Fithra.

Belum lagi bila gaya ekspansif Trump dalam menjalankan ekonomi benar-benar menyeret naik inflasi di negaranya. Bila terjadi, kurs dollar AS pun akan melemah dengan sendirinya.

"(Bila benar ekonomi AS tumbuh pesat di era Trump), akan ada dampak bagus juga buat emerging market, untuk jangka menengah dan panjang," tegas Fithra.

Sembari memantau dinamika di AS, emerging market pun bisa melirik kolaborasi dengan negara-negara selain Amerika. Ini terutama terkait dengan proyeksi perang tarif yang bakal dilakukan Trump.

"Dengan perang tarif, ongkos produksi akan naik untuk bisa masuk ke pasar AS. Ini bisa jadi potensi untuk kolaborasi dengan (negara) non-AS," ujar Fithra.

Perang dagang

Bicara perang tarif, ini berarti mengarah ke perang dagang. Pada era pertama kepemimpinan Trump, AS terang-terangan berperang dagang dengan China. Efeknya mendunia.

"Secara umum, kebijakan ekonomi dan perdagangan Trump akan American first," tegas Maftuchan.

Dia menduga, Trump akan benar-benar menerapkan tarif 20 persen untuk impor tekstil dan produk tekstil (TPT) seperti sepatu. Trump diperkirakan juga akan merealisasikan tarif 300 persen untuk kendaraan listrik dari negara lain masuk ke negaranya.

"Ini tentu akan berdampak bagi ekonomi global," kata Maftuchan.

Bagi Indonesia, Maftuchan berpendapat perang tarif yang diperkirakan digeber Trump sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh. Ini karena secara riil neraca dagang Indonesia ke AS tidak sampai 10 persen, saat neraca yang sama dengan China sudah tembus mendekati 25 persen.

"Artinya dari sisi dampak ke ekspor impor (Indonesia-AS), saya prediksi tidak terlalu berpengaruh," ujar dia.

Sekalipun AS menempati peringkat kedua dalam neraca dagang Indonesia, lanjut Maftuchan, selisih dengan peringkat pertama yang adalah China masih terlalu jauh.

Dia menyarankan, pemerintahan Prabowo Subianto menyasar juga pasar selain AS untuk mensubstusi kemungkinan dampak kebijakan tarif Trump terhadap neraca dagang Indonesia.

"Misal ke Jepang, India, (kawasan) Timur Tengah, Afrika. Ini bisa mengantisipasi guncangan dari perubahan (neraca dagang) AS di periode pemerintahan Trump," papar Maftuchan.

Kekhawatiran justru datang dari Dradjad terkait imbas perang tarif yang diprediksi akan diarahkan AS ke China.

"Masalahnya, jika Trump jadi menerapkan tarif tinggi terhadap produk China, dampaknya akan sangat berat bagi Indonesia. Ini karena, produk-produk China akan semakin membanjiri Indonesia, sehingga sektor industri makin terpukul, penyerapan tenaga kerja formal makin tertekan, kelas menengah Indonesia juga demikian," papar Dradjad.

Dradjad yang juga pendiri dan chairman Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) ini menegaskan, skenario tersebut bukan hanya proyeksi tetapi sudah dialami Indonesia.

"Industri mobil listrik Indonesia yang dibangun dengan susah payah sekarang tertekan oleh banjirnya mobil listrik China yang tertolak pasar Uni Eropa. Harganya pun luar biasa murah sampai saya bertanya apakah ini harga dumping," ungkap Dradjad.

Bila benar Trump mengenakan tarif tinggi untuk produk China, lanjut Dradjad, Indonesia tidak hanya bakal kebanjiran mobil listrik tetapi juga produk industri lain dengan harga super murah.

"Pertanyaannya, beranikah Indonesia melindungi industri dalam negeri dari skenario itu?" tanya Dradjad.

Geopolitik dan ekonomi global

Kemenangan Trump di Pemilu AS 2024 diyakini juga bakal mengubah dinamika geopolitik global. Perang fisik diperkirakan akan berkurang bahkan berhenti.

"Dengan era Trump ini, akan ada pembatasan-pembatasan dagang (aka perang dagang), tapi perang fisik relatif tidak akan ada," tegas Fithra, sembari mengingatkan bahwa di periode pertama Trump juga terjadi hal serupa.

Menurut Fithra, Trump sebagai representasi kubu Partai Republik yang pro-senjata api memang cukup paradoks dalam hal perang fisik ini. Bahkan menyikapi perang di Timur Tengah, dia berkeyakinan Trump akan memilih jalan lain walau tetap di posisi mendukung Israel.

"Trump akan memilih pendekatan non-perang. (Misal), mendirikan kedutaan di Jerusalem, yang itu lebih aman sekalipun buat kita tetap kontroversial," tutur Fithra.

Perang di Ukraina pun dalam prediksi Fithra akan berhenti di era Trump.

"Dia teman Putin (Presiden Rusia). Selesai itu perang Ukraina," kata Fithra.

Perang di Ukraina juga tidak dapat dilepaskan dari upaya pemerintahan Presiden AS Joe Biden menarik Ukraina ke NATO. Bila era Trump langkah itu tak lagi dilanjutkan, diyakini perang pun akan mereda bahkan berhenti.

Sependapat, Dradjad melihat pula peluang Trump untuk mengondisikan kesepakatan penghentian perang di Ukraina ini. Secara ekonomi, dia berpendapat ini akan baik imbasnya, termasuk bagi Indonesia.

"Jika Trump bisa mengondisikan kesepakatan penghentian perang di Ukraina maka harga migas dan gandum akan turun. Karena Indonesia net importer (untuk kedua komoditas itu) maka secara netto hal ini menguntungkan Indonesia," tutur Dradjad.

Senada, Maftuchan melihat Trump akan melakukan sejumlah penyesuaian dibanding periode pertama pemerintahannya, dalam persoalan hubungan bilateral dan multilateral.

"Saya prediksi tidak akan seekstrem periode pertama. Dia tentu belajar bagaimana menjadi Presiden Amerika yang tidak hanya melayani rakyat AS tapi juga melayani komunitas internasional," kata Maftuchan.

Kebijakan ekstrem yang pernah dibuat Trump antara lain keluar dari Paris Agreement, juga mencabut sokongan dana bagi WHO karena menyanggah keberadaan pandemi Covid-19.

Dalam konteks ekonomi, keyakinan ada "proses belajar" Trump juga diyakini Fithra. Pada akhirnya, kata dia, seorang Trump sekalipun akan berupaya membuat Amerika tetap relevan di emerging market, terutama Asia.

"Sekeras-kerasnya Trump, dia pebisnis juga. Kuat-kuatan di negosiasi saja. Perang dagang itu bisa dinegosiasikan dan (kita) lebih bisa bernegosiasi di perang dagang (daripada di perang fisik)," tegas Fithra.

Fithra menambahkan, peluang negosiasi itu dimungkinkan karena kecenderungan Trump dan kubu Republik adalah menilik beragam persoalan dengan pendekatan bilateral, bukan multilateral sebagaimana yang lazim dilakukan kubu Demokrat laiknya di era pemerintahan Presiden Joe Biden.

https://money.kompas.com/read/2024/11/07/080555126/kemenangan-trump-di-pemilu-as-2024-dan-imbasnya-ke-ekonomi-indonesia

  • Hits: 53

Sri Mulyani Kabarnya Tidak Setuju, Badan Penerimaan Negara Ditunda

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance

Jumat, 18 Okt 2024 14:16 WIB

Jakarta - Rencana presiden terpilih Prabowo Subianto membentuk Badan Penerimaan Negara nampaknya tidak akan terealisasi. Rencana sebelumnya, bakal ada Badan Penerimaan Negara sebagai pengganti Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai yang selama ini berada di bawah Kementerian Keuangan.

Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Dradjad Wibowo mengatakan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara kemungkinan akan tertunda.

Pria yang juga merupakan Ekonom Senior INDEF dan Ketua Dewan Pakar PAN itu mengatakan wacana Badan Penerimaan Negara gagal dibentuk karena Sri Mulyani Indrawati yang bakal ditunjuk Prabowo menjadi Menteri Keuangan menolak wacana tersebut.

Sri Mulyani menjabat Menteri Keuangan di Kabinet Presiden Joko Widodo mulai 2016, dan lanjut kembali membantu Jokowi pada periode kedua di Kabinet Indonesia Maju.

"Yang jelas bakal tertunda entah sampai kapan. SMI (Sri Mulyani Indrawati) selama ini tidak setuju pemisahan tersebut," ungkap Drajad ketika dihubungi detikcom, Jumat (18/10/2024).

Sri Mulyani juga sebelumnya sudah pernah bicara soal wacana ini ketika dipanggil ke rumah Presiden terpilih Prabowo Subianto beberapa hari lalu. Saat itu, dia dipanggil Prabowo karena mendapatkan tawaran untuk melanjutkan posisi sebagai Menteri Keuangan di kabinet berikutnya.

Saat ditanya lebih lanjut tentang rencana pembentukan Badan atau Kementerian Penerimaan Negara, Sri Mulyani enggan berbicara banyak. Dia cuma menegaskan Kementerian Keuangan adalah satu.

"Nggak ada. Kemenkeu masih satu," Sri Mulyani, di Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024) yang lalu.

Ketua Umum Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) Anggawira ikut bicara soal wacana ini. Menurutnya rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara belum tentu batal. Namun, kemungkinan akan disesuaikan oleh Prabowo dengan tim ekonomi di kabinet berikutnya.

"Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara belum tentu batal, tetapi bisa mengalami penyesuaian atau revisi tergantung pada hasil diskusi antara Presiden dan tim ekonomi kabinet," ungkap Anggawira ketika dihubungi detikcom.

Anggawira menekankan pembentukan Badan Penerimaan Negara yang diusulkan oleh Prabowo adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan meningkatkan efisiensi pengelolaan keuangan.

Jika Sri Mulyani kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan dan menolak ide tersebut, Anggawira menilai tentu akan ada pembahasan lebih lanjut terkait implementasi strategi ini.

"Pemerintahan baru memiliki ruang untuk mengkaji ulang berbagai kebijakan yang sesuai dengan visi ekonomi ke depan, termasuk potensi reformasi institusi," ungkap Anggawira.

"Pak Prabowo juga cenderung berfokus pada peningkatan efisiensi dan efektivitas birokrasi. Bila Badan Penerimaan Negara dinilai sebagai instrumen yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut, masih ada peluang untuk diwujudkan, tentu dengan mempertimbangkan masukan dari Bu Sri Mulyani dan pihak terkait lainnya," tutupnya.

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7594329/sri-mulyani-kabarnya-tidak-setuju-badan-penerimaan-negara-ditunda

  • Hits: 58

Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Bakal Gerus Daya Beli

Kelas menengah bisa semakin turun

09 Oct 24 | 17:11

Verified: Triyan Pangastuti

Jakarta, IDN Times -  Ekonom senior Drajad Wibowo tidak setuju dengan wacana pemerintah untuk menaikan pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 12 persen  pada 2025. Kenaikan pajak itu dinilai bakal menggerus daya beli dan penerimaan negara.

“Itu saya sebenarnya kurang sepakat dengan PPN naik 12 persen  karena saya khawatir efeknya justru akan menurunkan total pajak yang diterima,” kata Drajad saat ditemui di acara Katadata Forum bertajuk Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (10/9/2024).                                

1. PPN naik jadi 12 persen bakal bebani ekonomi

Ia menjelaskan kenaikan tarif PPN tersebut akan membebani perekonomian Indonesia, apalagi saat ini tengah terjadi tren penurunan kelas menengah.

"Saya agak khawatir dengan kenaikan 12 persen itu dampaknya terhadap penerimaan pajak kita. Karena apalagi dengan adanya fakta bahwa kelas menengah kita menurun," kata dia.

2. Masyarakat bisa enggan belanja

Ia mengatakan, kenaikan PPN berpotensi membuat masyarakat justru enggan berbelanja karena transaksi barang dan jasa yang dikenakan PPN menjadi lebih mahal. 

"(Kenaikan PPN) itu kan hitungan berdasarkan asumsi bahwa semua orang akan tetap bayar. Bagaimana kalau dengan kenaikan itu, orang yang bayarnya makin sedikit? Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin dikit. Kan ujungnya penerimaan kita jeblok," ujarnya.

Menurut dia, dengan dampak kenaikan PPN yang seperti itu menjadi tidak tepat diterapkan di kala kondisi ekonomi masyarakat sedang mengalami penurunan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia sebanyak 57,33 juta orang pada 2019 lalu berkurang menjadi 47,85 juta orang pada tahun ini. Artinya, sebanyak 9,48 juta penduduk kelas menengah turun kelas pada 2024.                                

3. Kenaikan PPN tertuang dalam UU HPP

Adapun kenaikan PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam aturan tersebut, tarif PPN bisa naik dari semula 11 persen menjadi 12 persen sebelum 1 Januari tahun 2025.

https://www.idntimes.com/business/economy/triyan-pangastuti/kenaikan-ppn-jadi-12-persen-bakal-gerus-daya-beli

  • Hits: 85

Kala Pemerintah Berencana Turunkan PPh Badan dan Naikkan PPN...

Kompas.com - 11/10/2024, 14:13 WIB Isna Rifka Sri Rahayu, Sakina Rakhma Diah Setiawan

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto berencana menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan, tapi pemerintah juga berencana untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN).

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Dradjad Wibowo mengatakan, rencana penurunan tarif PPh Badan ini belum dibahas secara detail sehingga dia belum dapat memastikan berapa besar tarif yang akan dipangkas.

"Belum ada angkanya, karena kita memang menginginkan untuk suatu saat bisa menurunkan PPh Badan," ujarnya di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Dradjad bilang, untuk menurunkan tarif PPh Badan ini pemerintah akan melihat kinerja penerimaan negara.

"PPh Badan kita akan lihat bagaimana kinerja penerimaan negara, memang ingin kita turunkan supaya tidak terlalu memberatkan masyarakat," ucapnya.

Untuk diketahui, PPh Badan adalah pajak yang dikenakan ke perusahaan atau badan hukum lainnya yang dihitung atas penghasilan selama setahun.

Berdasarkan catatan Harian Kompas, rencana penurunan tarif PPh Badan telah mencuat sejak 2019. Harapannya, penurunan tarif pajak ini dapat meningkatkan daya tarik investasi RI.

Kala itu pemerintah akan menurunkan PPh Badan secara bertahap sampai 2023, dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2021 lalu 20 persen mulai 2023.

Tarif PPh badan 20 persen sudah tercantum di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berbentuk PT. Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang berlaku sejak 19 Juni 2020.

Namun, pemerintah batal menurunkan tarif PPh badan menjadi 20 persen pada 2022. Melalui pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPh Badan tahun itu hingga kini tetap 22 persen.

Rencana kenaikan PPN

Di sisi lain, pemerintah juga akan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan.

Ketentuan mengenai kenaikan tarif PPN diatur dalam Pasal 7, ayat (1), huruf b UU HPP yang berbunyi, tarif PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Sementara dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tidak disebutkan secara eksplisit, pemerintah akan menaikan tarif PPN menjadi 12 persen sebagai bagian dari arah kebijakan umum perpajakan 2025.

Namun demikian, dalam dokumen itu disebutkan, salah satu kebijakan teknis pajak yang akan ditempuh pada tahun depan ialah mengimplementasi kebijakan perpjakan sesuai UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Mengenai kepastian kenaikan PPN ini, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengungkapkan, keputusannya diserahkan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto.

"Biarlah Pak Prabowo menjadi presiden dulu ya, ini kan hal-hal kaitannya dengan keputusan dari seorang Presiden Prabowo dan kabinetnya," ujar Wamenkeu Thomas saat media gathering di Novus Jiva Anyer, Banten, Rabu (25/9/2024).

Meski demikian, keponakan Prabowo ini memastikan, Prabowo telah mengetahui terkait amanat UU HPP tersebut.

"Yang penting buat bapak presiden terpilih ini sudah ter-inform mengenai hal tersebut, dan pastilah nanti akan ada penjelasan lebih lanjut kalau sudah ada Kabinet yang terbentuk," tukasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberi sinyal, kenaikan tarif PPN 12 persen bakal tetap berlaku mulai 2025.

Airlangga mengatakan, ketentuan mengenai kenaikan tarif PPN telah diatur dalam UU HPP. "Kan undang-undangnya sudah jelas (tarif PPN naik jadi 12 persen pada 2025)," kata dia, ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (8/8/2024).

Airlangga bilang, kenaikan tarif PPN memang bisa ditunda sebagaimana diatur dalam ketentuan yang sama.

Dalam UU HPP disebutkan, pemerintah bisa menunda kenaikan tarif PPN dengan menerbitkan peraturan pemerintah untuk nantinya dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dirumuskan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Adapun pertimbangan penundaan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ialah perkembangan keadaan ekonomi masyarakat dan kebutuhan dana pemerintah.

Akan tetapi, Airlangga menyebutkan, sejauh ini belum ada pembahasan terkait aturan untuk menunda penerapan kenaikan tarif PPN. "Kecuali ada hal yang terkait UU (yang menunda kebijakan) kan tidak ada," ujarnya.

https://money.kompas.com/read/2024/10/11/141300926/kala-pemerintah-berencana-turunkan-pph-badan-dan-naikkan-ppn

 

  • Hits: 87

Ekonom khawatirkan wacana PPN 12 persen di tengah isu kelas menengah

Sigit Kurniawan    

Rabu, 09 Oktober 2024 - 20:55 WIB

Elshinta.com - Ekonom mengkhawatirkan soal wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen di tengah isu pelemahan daya beli kelas menengah saat ini.

Ekonom senior Drajad Wibowo menyatakan tidak setuju dengan wacana itu lantaran khawatir akan berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Ia mengakui ada potensi kenaikan penerimaan dari selisih 1 persen tarif PPN itu. Namun, dengan kondisi ekonomi saat ini, kemungkinan penarikan PPN akan lebih sulit dilakukan.

“Bagaimana kalau kenaikan itu membuat orang yang bayar makin sedikit? Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin sedikit. Ini ujungnya penerimaan kita jeblok,” kata Drajad saat ditemui usai kegiatan Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (9/10).

Pelemahan daya beli kelas menengah terindikasi pada tren deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut. Menurut Drajad, fenomena ini juga dipengaruhi oleh tingginya pengangguran di Indonesia, yang akhirnya membuat sebagian masyarakat terlempar dari kelompok kelas menengah.

Senada, ekonom senior Aviliani menilai rencana kenaikan PPN 12 persen dapat memperburuk kondisi kelas menengah yang sedang menurun. Bila daya beli melemah, dunia usaha akan turut terdampak.

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat sebelum menaikkan pajak.

“Ini yang diperhatikan oleh dunia usaha. Kalau mau menaikkan pajak, bereskan dulu soal pendapatan masyarakat di kelas menengah, karena mereka merupakan permintaan bagi pengusaha,” ujar Aviliani.

Rencana kenaikan tarif PPN 12 persen tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Pasal 7 ayat 1 UU HPP, disebutkan bahwa tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan akan dinaikkan lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Namun, kepastian kebijakan PPN 12 persen nantinya akan diumumkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto setelah pelantikan presiden.

Di samping rencana kenaikan PPN 12 persen, UU HPP juga memberikan ruang untuk mengubah PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen.

Kemudian, Pemerintah pun telah memberikan kebijakan pembebasan PPN pada sejumlah kelompok, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, di mana insentif ini juga dinikmati kelompok menengah hingga atas.

Sumber : Antara

https://elshinta.com/news/350573/2024/10/09/ekonom-khawatirkan-wacana-ppn-12-persen-di-tengah-isu-kelas-menengah#google_vignette

  • Hits: 86

Page 4 of 44

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id