Ekonom Bicara Peluang dan Dampak Negatif Kebijakan Tarif Trump Terhadap Indonesia
Tayang: Kamis, 3 April 2025 10:52 WIB
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Dradjad Hari Wibowo melihat dampak negatif kebijakan tarif imbal balik sebesar 32 persen yang Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Indonesia.
Trump secara resmi telah mengumumkan kebijakan tarif baru untuk barang yang masuk AS. Trump mengenakan tarif imbal balik terhadap Indonesia sebesar 32 persen.
Hal tersebut diyakini akan berdampak negatif terhadap Indonesia.
Menurut Dradjad, praktis ekpor ke AS, seperti di sektor pertanian, industri padat karya seperti pakaian, aksesoris, dan alas kaki akan terdampak.
"Termasuk juga mebel, minyak sawit, karet dan turunannya. Efeknya ke lapangan kerja tentu terasa. Saya belum menghitung berapa persen karena harus memasukkan ke model dinamik dulu," ujar Dradjad saat dihubungi Kamis (3/4/2025).
Selain itu, barang-barang impor dipastikan akan semakin melambung harganya. Sebab, negara-negara lain akan 'membalas' kebijakan perang dagang Trump, sehingga harga-harga barang secara global akan naik.
"Cost of money untuk membiayai defisit “sangat mungkin” akan naik juga. Jadi, pertama makin krusial bagi Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menjaga Rupiah semaksimal mungkin," tutur Dradjad.
Di sisi lain, Dradjad melihat Indonesia bisa memanfaatkan potensi positif dari kebijakan perang dagang dari Trump. Dia mencontohkan, negara-negara di Uni Eropa pastinya perlu pasar baru termasuk Indonesia.
"Kita bisa bernegosiasi dengan mereka untuk memudahkan masuknya ekspor andalan Indonesia seperti produk-produk olahan sawit, karet, coklat, kopi, kertas dan bubur kertas," imbuh Dradjad.
Dua negara ASEAN, yakni Thailand dan Vietnam, juga mendapat “tekanan” tarif yang cukup besar, masing-masing 36 persen dan 46 persen.
Merujuk laman resmi Kementerian Perdagangan RI, AS memang merupakan penyumbang surplus perdagangan nonmigas nasional tahun 2024.
Angka surplus perdagangan Indonesia-AS sebesar 16,08 miliar dollar AS dari total surplus perdagangan nonmigas 2024, yaitu sebesar 31,04 miliar dollar AS.
Ekspor nonmigas Indonesia ke AS antara lain berupa garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati.
- Hits: 136
Kena Tarif Dagang 32% oleh Donald Trump, Indonesia Harus Lakukan Dua Hal Ini! | SEDANG VIRAL
Liputan6, Apr 3, 2025
#indonesia #donaldtrump #tarifdagang #barangimpor #prabowo #kurs #rupiah #usdollar #perangdagang #dradjadwibowo #ekonomi #ekonomidunia #ekonomiindonesia
https://www.youtube.com/watch?v=bFbXHLWB1xE
- Hits: 322
Tarif Trump, Dradjad: Krusial bagi BI untuk Jaga Rupiah Semaksimal Mungkin
Dradjad sebut akan ada tiga ronde efek yang muncul dari kebijakan Trump.
Red: Joko Sadewo
Jumat 04 Apr 2025 10:06 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar ekonomi INDEF, Dradjad Wibowo, mengingatkan akan makin krusialnya bagi Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjaga Rupiah semaksimal mungkin. Kebijakan-kebijakan untuk menjadikan tarif Trump berdampak positif bagi ekonomi Indonesia juga perlu digali, baik dr sisi perdagangan maupun sektor produksi riil.
Hal ini disampaikan Dradjad menanggapi langkah Presiden AS, DOnald Trump, yang menaikkan tarif timbal balik untuk Indonesia sebesar 32 persen untuk Indonesia. Tariif untuk Indonesia ini hanya selisih 2 persen yang ditetapkan Trump untuk China.
Secara umum, kata Dradjad, akan ada tiga ronde efek yang muncul dari kebijakan Trump menaikkan tarif timbal balik di 180 negara ini. “Ronde pertama, ekspor kena. Saya belum masukkan ke model dinamik berapa persen,” kata Dradjad.
Ronde kedua, impor makin mahal in USD term karena negara-negara akan membalas. Akibatnya harga-harga global akan mengalami kenaikan. “Ronde ketiga, cost of money untuk membiayai defisit “very likely” akan naik juga,” ujar Dradjad, yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini.
- Hits: 110
Solusi Pendapatan Negara
Kompas.com - 17/03/2025, 11:33 WIB
Editor : Palupi Annisa Auliani
SEBAGAI pembuka, saya ingin menegaskan, tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili sikap PAN atau institusi apa pun.
Tulisan ini saya buat terbuka, agar masyarakat khususnya pelaku pasar domestik yakin, ada solusi untuk menjaga kepercayaan pasar.
Waktunya saya pilih setelah data resmi kinerja APBN dipublikasikan. Namun, secara informal pada 1 Februari 2025, kondisi Modul Penerimaan Negara (MPN) per akhir Januari 2025 sudah saya laporkan kepada pimpinan yang berwenang.
Kepercayaan
Kita tahu, sektor keuangan global mulai demam.
Di sisi lain, pada awal November 2024 saya pernah mengingatkan, investor asing mulai bearish terhadap pasar keuangan Indonesia.
Pesan itu saya sampaikan kepada beberapa menteri dan Dewan Pakar Prabowo-Gibran, setelah saya pulang dari diskusi reguler dengan pelaku pasar asing di Singapura.
Waktu itu saya sampaikan, ekspektasi asing terhadap kurs rupiah adalah Rp 16.300 per dollar AS dan IHSG 6.900 pada tutup tahun.
Ternyata, ekspektasi tersebut terealisasi lebih cepat untuk rupiah. Untuk IHSG, realisasinya lebih lambat, tapi jatuhnya lebih dalam.
Faktor utamanya adalah kepercayaan pasar.
Jika kepercayaan tinggi atau membaik, konsumen akan berbelanja lebih banyak; pelaku bisnis akan menaikkan investasi, produksi, dan perekrutan. Pasar cenderung bullish.
Jika sebaliknya, konsumen mengerem belanja; pelaku bisnis mengerem investasi dan produksi, serta mengurangi karyawan. Pasar cenderung bearish.
Beberapa bulan ini, erosi kepercayaan mulai terlihat. Di tingkat global, perang dagang dengan instrumen tarif menjadi salah satu penyebabnya.
Di tingkat nasional, sumber utamanya adalah persepsi terhadap kredibilitas APBN 2025. Pasar melihat, pemerintah kesulitan membiayai pos-pos belanja negara yang besar.
Akibatnya, opsi yang tersedia adalah: (a) realokasi belanja, (b) menambah pembiayaan (utang), dan atau (c) mengenjot pendapatan.
Banyak pihak, baik domestik maupun asing, melihat opsi (c) sangat kecil peluangnya. Bahkan, sebagian mereka kurang yakin target pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun akan tercapai.
Jadi, menurut mereka, yang paling mungkin adalah opsi (a) dan (b).
Hal tersebut diucapkan langsung kepada saya, baik oleh pelaku atau analis pasar di Jakarta dan Singapura maupun oleh duta besar atau diplomat senior dari negara-negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Pasifik.
Dengan berbagai langkah efisiensi, mereka melihat opsi (a) sudah terjadi. Namun, mereka juga tahu, opsi (b) semakin mahal biayanya. Dinamika global membuat para manajer dana lebih memilih kualitas dan keamanan.
Sekarang, kekhawatiran mereka terhadap opsi (c) juga terbukti dari rilis APBN KiTa. Karena itu tidak heran jika Morgan Stanley dan Goldman Sachs menurunkan peringkat obligasi Indonesia.
Kita tidak bisa meremehkan erosi kepercayaan di atas. Jika kepercayaan runtuh, dampaknya akan sangat merusak.
Karena itu, kita harus bertindak maksimal membalikkan erosi tersebut. Dan ini perlu menjadi proritas mendesak pemerintah.
Pendapatan negara
Karena sumber keraguan awalnya adalah kredibilitas APBN 2025, solusinya harus dimulai dari APBN juga. Yaitu, kita harus menggenjot pendapatan negara.
Di sinilah saya berbeda pandangan dengan teman-teman di atas.
Mereka cenderung "menyerah" mengenai opsi (c). Sementara saya melihat cukup banyak sumber pendapatan negara yang "belum dikumpulkan" dan atau "belum digali".
Belum dikumpulkan" berarti dananya seharusnya masuk APBN tapi karena sesuatu hal—biasanya politis—dana tersebut tidak masuk. Sedangkan "belum digali" berarti potensi pendapatan negara akan muncul jika dibuat kebijakan yang tepat.
Lalu bagaimana mewujudkannya?
Mari kita lihat apa yang pernah dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Intelijen Negara (BIN). Karena terikat etika dan aturan kerahasiaan, saya hanya bisa menyampaikan data dan informasi yang terbuka untuk publik.
Pada 26 November 2015, Menkeu Bambang Brodjonegoro dan Kepala BIN Sutiyoso (Bang Yos) menandatangani nota kesepahaman, antara lain terkait pendapatan negara. Beritanya ada di media.
Terdapat beberapa pendapatan negara yang "belum dikumpulkan" yang menjadi target. Sebagai ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) BIN, saya ditugasi Bang Yos menanganinya.
Dalam tulisan ini, saya akan tunjukkan contoh yang berasal dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bersifat terbuka, yaitu kasus sengketa pajak yang sudah inkracht.
Singkatnya, wajib pajak (WP) menggugat keputusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ke pengadilan pajak. Pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan WP wajib membayar semua kewajiban pajaknya.
Ternyata, terdapat cukup banyak WP yang enggan membayar kewajiban tersebut. Pada 2015, nilainya mencapai lebih dari Rp 90 triliun. Saya lupa pastinya.
Sebagai uji coba, pada awal 2016 dilakukan operasi intelijen (opsin) terhadap WP dengan kewajiban terkecil. Meski awalnya "membandel", WP akhirnya mau membayar akibat opsin tersebut.
Dengan keberhasilan ini, Kemenkeu-BIN menyiapkan opsin yang lebih besar. Sayangnya, Mas Bambang diganti pada 27 Juli 2016 dan Bang Yos pada 9 September 2016.
Saya sendiri memilih tidak lanjut. Bang Yos lalu memberhentikan para personel DISK sebelum lengser.
Saya tidak tahu berapa nilai kasus pajak inkracht tersebut sekarang. Perlu diingat, kasus ini hanyalah satu dari pendapatan yang "belum dikumpulkan". Ada beberapa sumber lain yang tidak bisa saya sampaikan karena kerahasiaan intelijen.
Pada 2017, pengalaman BIN tersebut saya jadikan tulisan ilmiah populer berjudul "Stabilitas Fiskal Berbasis Teknologi dan Intelijen", sebagai bagian dari buku Menuju Ketangguhan Ekonomi: Sumbang Saran 100 Ekonom Indonesia, Penerbit Buku Kompas, halaman 38-42.
Rendahnya PPN
Saya sering menyampaikan, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kita terlalu rendah.
Bayangkan, target PPN pada 2025 ditetapkan Rp 917,78 triliun atau hanya 3,77 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Padahal, APBN 2025 disusun dengan asumsi tarif PPN 12 persen. Di sisi lain, target PPN 2025 itu sudah dinaikkan 18 persen dari target 2024.
Artinya, gap antara tarif PPN dengan realisasinya terlalu besar. Alasan yang sering disampaikan adalah fasilitas bebas PPN.
Harus diakui, banyak barang atau jasa yang bebas PPN. Namun, gap sekitar 7-8 persen itu juga menunjukkan kebocoran serius dalam sistem PPN masukan dan keluaran.
Opsin dan teknologi bisa menekan kebocoran ini.
PNBP
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saya pilih sebagai contoh pendapatan "belum digali".
Sebenarnya PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) juga memiliki sumber yang "belum digali". Namun karena memerlukan revisi UU, prosesnya lebih memakan waktu.
Untuk PNBP, prosesnya lebih cepat karena revisi UU belum dibutuhkan. Cukup dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru atau revisi PP yang relevan.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, PNBP bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, pengelolaan barang milik negara, serta pengelolaan dana dan hak negara lainnya.
Saya ambil contoh, peluang PNBP dari spektrum elektromagnetik (SE). SE sebenarnya merupakan sumber daya alam. Sayangnya, kita belum maksimal memanfaatkannya.
Contohnya, ada sebuah teknologi inter-operabilitas yang sudah dipakai beberapa negara, tapi Indonesia belum. Jika pemerintah mengizinkan teknologi ini, sambungan internet jadi lebih cepat dan biaya data lebih murah.
Atas manfaat tersebut, negara dapat mengenakan PNBP, yang menurut hitungan sementara sebesar Rp 9-20 triliun per tahun. Ini baru satu teknologi, sementara masih ada beberapa teknologi lain.
Sumber PNBP yang lain ada banyak, seperti dari sektor lingkungan hidup, industri, perdagangan, standarisasi, dan sebagainya.
Jika Indonesia menerapkan regulasi tertentu seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, China, India, Korsel, dan Taiwan, sebuah perusahaan audit terkemuka nasional menghitung ada potensi PNBP Rp 50 triliun per tahun dari sektor-sektor tersebut.
Penutup
Sebagai catatan akhir, saya pernah menyebutkan adanya pembiayaan Rp 116,4 triliun yang bisa dirilis melalui perubahan satu peraturan.
Angka tersebut dihitung pada Juni 2023, ketika pasar keuangan stabil. Dalam kondisi rupiah dan saham sekarang, opsi tersebut tidak valid lagi.
https://money.kompas.com/read/2025/03/17/113343226/solusi-pendapatan-negara
- Hits: 302
More Articles …
Page 4 of 49