JIKA Indonesia Jadi Zona Merah Covid-19, Risiko Buruk Ekonomi Bakal Terjadi, Begini Kata Ekonom

Selasa, 8 Juni 2021 23:29

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Ekonom Indef Dradjad H Wibowo mengatakan per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi.

Ia mewanti-wanti risiko memburuk ke zona merah.

Dradjad berujar, kesimpulan tersebut diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan Covid-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy.

BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1.

Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau.

"Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian," ujar Dradjad dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/6/2021).

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reporoduksi R.

Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat.

"Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi," ucap Dradjad.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia.

Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi.

Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45.

Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

Setelah itu tren-nya menurun.

Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1.

Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes.

Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning.

"Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan."

"Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya."

"Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," ucap Dradjad.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial.

Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan.

Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

"Sebagai penutup, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang."

"Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula," imbuhnya.

Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%.

Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%.

Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang.

Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut.

Catatan Redaksi:

Bersama kita lawan virus corona. Tribunnews.com mengajak seluruh pembaca untuk selalu menerapkan protokol kesehatan dalam setiap kegiatan. Ingat pesan ibu, 3M (Memakai masker, rajin Mencuci tangan, dan selalu Menjaga jarak).

(Tribunnews.com/Dennis Destryawan)

https://newsmaker.tribunnews.com/amp/2021/06/08/jika-indonesia-jadi-zona-merah-covid-19-risiko-buruk-ekonomi-bakal-terjadi-begini-kata-ekonom?page=4

  • Hits: 626

Dradjad Wibowo: Harus Antisipasi Masuk Zona Merah COVID-19

Selasa, 8 Juni 2021 | 19:06 WIB

VIVA – Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, melihat tingkat penularan COVID-19 saat ini, Indonesia masih dikategorikan dalam zona kuning pandemi. Tapi ia mewanti-wanti, agar pemerintah pusat dan daerah mewaspadai agar tidak turun ke zona merah.

Itu disampaikannya dalam artikelnya yang juga dimuat BMC Public Health, satu diantara jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dengan judul When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Dradjad yang juga ekonom senior INDEF ini mendasarkan pada penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19. Serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP). Ia pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dalam pembagian zona COVID-19, dikenal pada tiga tingkatan. Yakni zona hijau, kuning dan zona merah. Pada zona merah, kasus harian Corona ini adalah elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

"Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan," kata Dradjad, Selasa 8 Juni 2021.

Untuk wilayah zona kuning, kasus harian memang turun walau elastisitas di atas 1. Namun kata dia, pelonggaran tindakan kesehatan publik atau TKP, direkomendasikan agar tidak dilakukan.

Sementara di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1.

"Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas bayesian," katanya.

Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini mengatakan, indikator epidemiologi adalah kunci yang digunakan untuk menentukan reproduksi atau R. Hanya persoalannya, di negara-negara berkembang, hampir susah mengestimasi R tersebut secara akurat.

"Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar atau dikenal dengan istilah R0 pada awal pandemi," jelasnya.

Dengan kondisi demikian, Dradjad mengaku menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, ia mengembangkan 'jembatan sederhana' antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Menurutnya, cara itu juga diterapkan Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Dan memang benar terjadi.

"Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus," lanjutnya.

Data kasus di Indonesia per 5 Juni 2021, elastisitas masih sebesar 1,45. Jika dihitung dari 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas mengalami puncaknya yakni sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Di periode ini, memang Indonesia mengalami puncak kasus COVID-19, yang dianggap sebagai akibat dari libur panjang.

"Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning," jelasnya.

Dengan adanya tren elastisitas yang naik, ia mengatakan pemerintah tetap harus mengantisipasi resiko masuk dalam zona merah. Tidak bisa diabaikan kemungkinan tersebut. Untuk itu menurutnya, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya.

"Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," ujarnya.

Dradjad mengusulkan, agar analisa terhadap kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah harus dilakukan dengan akurat dan krusial. Dengan begitu, baik pemerintah pusat maupun daerahm bisa mengambil skema TKP yang tepat.

"Sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologinya dapat ditekan," lanjutnya.

Harus diakui, penerapan TKP (seperti PSBB atau pengetatan lainnya) di tahun kedua andemi ini, sedikit menyulitkan. Selain karena masyarakat juga lelah secara psikologis.

Selain itu, lanjutnya, ada jutaan pekerja yang memiliki ketergantungan dari penghasilan harian. Dengan situasi seperti itu, menerapkan TKP menurutnya memang mengalami tantangan tersendiri.

Dia menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020 sekitar 77,67 juta orang atau 60.47 persen adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian.

Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

"Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi," katanya.

Diakuinya, memang vaksinasi bukan jalan terakhir menghadapi pandemi COVID-19. Tetapi dalam rangka mensinergikan antara penanganan pandemi dengan pemulihan ekonomi.

"Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif,".

Lebih lanjut dijelaskannya, apabila herd immunity tercapai melalui vaksinasi, maka pergerakan orang bisa dipulihkan. Sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali.

"Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih," katanya.

Dia menegaskan, bahwa perekonomian sangat bergantung dari pergerakan orang. Maka jika pergerakan dibatasi lantaran penularan tinggi, maka bisa dipastikan konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula.

Padahal, lanjut Dradjad, keduanya menyumbang sekitar 90 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39 persen, dengan kontribusi konsumsi 57,66 persen dan investasi 31,73 persen.

"Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29 persen. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut,".

https://www.viva.co.id/berita/nasional/1378418-dradjad-wibowo-harus-antisipasi-masuk-zona-merah-covid-19?page=all&utm_medium=all-page


  • Hits: 633

Masih di Zona Kuning Covid-19, Dradjad Sarankan Pemerintah Perketat Tindakan Kesehatan Publik

JAKARTA, KABAR PARLEMEN.COM – Jika dilihat dari kondisi penularan COVID-19 (the state of COVID-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, menurut Dradjad, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau.

Di zona merah, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reporoduksi (R). Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar (R0) pada awal pandemi. Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

“Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus,” ujar mantan anggota DPR RI Fraksi PAN tahun 2004-2009 ini.

Untuk Indonesia, kata Dradjad, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

“Setelah itu tren-nya menurun,” ujar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Sementara itu saat liburan Idul Fitri, kata Dradjad, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan.

“Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19,” ujar ekonom senior INDEF ini.

Lebih lanjut Dradjad mengatakan, mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

Dengan mengetahui kondisi penularan, kata Dradjad, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi.

“Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negative,” ujarnya.

Menurut Dradjad, jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, maka pergerakan orang bisa dipulihkan. Sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Sementara, jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, maka penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun.

“Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih,” ujarnya.

Sebagai penutup, tambah Dradjad, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Sehinga jika pergerakan orang terganggu, karena tingginya penularan, maka konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%.

Dengan demikian, Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%.

“Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut,” ujarnya. (JAY)

Link Berita : https://www.kabarparlemen.com/2021/06/08/masih-di-zona-kuning-covid-19-dradjad-sarankan-pemerintah-perketat-tindakan-kesehatan-publik/

  • Hits: 606

Indonesia Masih di Zona Kuning, Dradjad H Wibowo Minta Pemerintah Pemperketat Pergerakan Orang

Selasa, 08 Juni 2021, 09:05 WIB

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Jika dilihat dari kondisi penularan COVID-19 (the state of COVID-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah.

Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Ekonom sekaligus Associate Professor Perbanas Institute, Dradjad H Wibowo merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI pada pada 2 Juni 2021.

BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1.

Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau.

Di zona merah, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1.

Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1.

"Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun  perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian," paparnya dalam siaran tertulis pada Selasa (8/6/2021).

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reporoduksi R.

Masalahnya, lanjut Dradjat, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat.

Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia.

Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan 'jembatan sederhana' antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia.

Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan 'jembatan sederhana' antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

Setelah itu tren-nya menurun.

Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1.

Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes.

Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning.

Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan.

"Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," jelas Dradjad.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial.

Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan.

Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian.

Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

"Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi," ungkap Dradjad.

"Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif," tambahnya.

Jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, pergerakan orang bisa dipulihkan, sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali.

Jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun.

Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih.

Terakhir, perekonomian itu menurutnya tergantung pada pergerakan orang.

Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula.

Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%.

Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%.

"Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," tutupnya.

Link Berita : https://wartakota.tribunnews.com/2021/06/08/indonesia-masih-di-zona-kuning-dradjad-h-wibowo-minta-pemerintah-pemperketat-pergerakan-orang

  • Hits: 604

Indonesia Masih di Zona Kuning Pandemi, Risiko Zona Merah

 

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin

Selasa, 08 Juni 2021, 13:27 WIB

Jika dilihat dari kondisi penularan Covid-19 (the state of Covid-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan Covid-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad Hari Wibowo Ekonom merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for Covid-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah satu diantara jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior INDEF ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau. Di zona merah, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini. Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reproduksi atau disebut dengan R . Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar atau dikenal dengan istilah R0 pada awal pandemi.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Setelah itu tren-nya menurun. Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan. Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi. Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif.

Jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, pergerakan orang bisa dipulihkan, sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun. Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih.

Sebagai penutup, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%. Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut. (faz/iss/ipg)

Link Berita : https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2021/indonesia-masih-di-zona-kuning-pandemi-risiko-zona-merah/

 

  • Hits: 550

Page 5 of 8

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id