Dradjad Wibowo : Indonesia Masih di Zona Kuning Pandemi

Selasa, 8 Juni 2021 | 17:03 WIB
Oleh : Markus Junianto Sihaloho /
RSAT

Jakarta, Beritasatu.com - Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, jika dilihat dari kondisi penularan Covid-19 (the state of Covid-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan Covid-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran tindakan kesehatan publik (TKP).

Dradjad menyampaikan hal itu merujuk pada artikel Wibowo, DH When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for Covid-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah satu di antara jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning, dan hijau. Di zona merah, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini. Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reproduksi atau disebut dengan R . Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar atau dikenal dengan istilah R0 pada awal pandemi.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Setelah itu trennya menurun. Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes.

Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan. Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien Covid-19.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan Covid-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian atau pun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17,48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi. Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif.

Menurut Dradjad Jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, pergerakan orang bisa dipulihkan, sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun. Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi, dan pertumbuhan bisa pulih.

Sebagai penutup, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari produk domestik bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%. Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang.

"Kombinasi TKP, vaksinasi, dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," pungkas Drajad.

Link Berita : https://www.beritasatu.com/kesehatan/784255/drajad-wibowo-indonesia-masih-di-zona-kuning-pandemi

  • Hits: 550

Dradjad Ingatkan Indonesia Masih Zona Kuning Pandemi, Risiko Zona Merah

JAKARTA, MEDIA JAKARTA.COM – Jika dilihat dari kondisi penularan COVID-19 (the state of COVID-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Dradjad merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, menurut Dradjad, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau.

Di zona merah, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reporoduksi (R). Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar (R0) pada awal pandemi. Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat.

Karena itu Dradjad menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia.

Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi.

“Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus,” ujar mantan anggota DPR RI Fraksi PAN tahun 2004-2009 ini.

Untuk Indonesia, kata Dradjad, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021.

“Setelah itu tren-nya menurun,” ujar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Sementara itu saat liburan Idul Fitri, kata Dradjad, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan. J

“Jadi, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19,” ujar ekonom senior INDEF ini.

Lebih lanjut Dradjad mengatakan, mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), analisis tentang kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan.

Apalagi, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47% adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian.

Dengan mengetahui kondisi penularan, kata Dradjad, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi.

“Tapi dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negative,” ujarnya.

Menurut Dradjad, jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, maka pergerakan orang bisa dipulihkan. Sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Sementara, jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, maka penyebaran virus, hospitalisasi atau kematian biasanya menurun.

“Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih,” ujarnya.

Sebagai penutup, tambah Dradjad, perekonomian itu tergantung pada pergerakan orang. Sehinga jika pergerakan orang terganggu, karena tingginya penularan, maka konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal keduanya menyumbang sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39%, dengan kontribusi konsumsi 57,66% dan investasi 31,73%.

Dengan demikian, Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29%.

“Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut,” ujarnya. (JAY)

Link Berita : https://www.mediajakarta.com/2021/06/08/dradjad-ingatkan-indonesia-masih-zona-kuning-pandemi-risiko-zona-merah/

  • Hits: 576

Awas Pembelian Panik Oksigen dan Obat Covid...!!!

Jumat 02 Jul 2021 15:41 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah diminta bertindak tegas mengamankan obat dan oksigen untuk kebutuhan rumah sakit (RS) serta penderita Covid-19. Masyarakat juga diimbau untuk tidak ikut-ikutan memborong oksigen dan obat-obatan.

Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo menyambut baik langkah penerapan PPKM darurat, 3-20 Juli 2021. Upaya itu merupakan langkah pencegahan dengan mengurangi interaksi antarmanusia. Langkah tersebut juga diharapkan membuat laju transmisi Covid-19 bisa ditekan.

Meski demikian, Dradjad mengingatkan, kasus Covid-19 sudah meledak. RS sudah kewalahan menangani pasien. Dengan demikian, pemerintah perlu bertindak tegas melakukan intervensi terhadap pasokan dari barang kebutuhan krusial untuk pengobatan dan perawatan pasien Covid-19, misalnya oksigen dan obat.

“Jangan sampai terjadi penimbunan oleh anggota masyarakat yang karena takut tertular Covid lalu membeli oksigen, jenis-jenis obat tertentu, yang mengakibatkan harganya melonjak dan suplainya berkurang,” kata Dradjad.

Jika dibiarkan, RS akankesulitan mendapatkan pasokan barang yang krusial tersebut. Kata Dradjad, sudah banyak kejadian penderita Covid-19 kesulitan mendapatkan oksigen.

“Saya imbau kepada masyarakat umum, lebih baik tetap di rumah. Tidak usah ikut memborong atau membeli oksigen, obat cacing, dan sebagainya. Istilahnya panic buying. Karena ini akan mengganggu tugas RS untuk merawat para pasien dan mengurangi angka kematian,” papar ekonom senior Indef tersebut. Masyarakat bisa berpartisipasi dalam mencegah penyebaran covid dengan tidak bepergian, disiplin menjalankan prokes.

Dradjad meminta pemerintah harus betul-betul berfokus menggenjot riset bagi penemuan vaksin dan obat untuk Indonesia sendiri. Dikatakan Dradjad, kemungkinan pandemi Covid-19 masih akan lama. Bahkan kalaupun sudah banyak yang sudah divaksin, mungkin akan perlu disuntik ulang karena kekebalan dari vaksin tidak bertahan tahunan.

“Ini sudah menjadi bagian pertahanan keamanan nasional, untuk bisa mempunyai vaksin dan obat sendiri,” ungkapnya.

Pernyataan Luhut

Dradjad juga menyinggung tentang pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri Luhut mengatakan, pemerintah tidak memprediksi kasus Covid-19 bakal meledak pada Juni.

“Saya prihatin dengan pernyataan Bang Luhut tersebut karena agak aneh kalau pemerintah tidak bisa memprediksi. Para epidemiolog sudah memperingatkan mengenai kemungkinan lonjakan ini,” kata Dradjad.

Selain itu, ada juga ledakan kasus di India, jalur penerbangan kita masih terbuka, awak kapal yang juga bebas masuk ke Indonesia. Di Jakarta dan beberapa daerah lain juga ada warga negara asing yang positif dengan Covid-19 varian delta.

“Dari artikel yang saya publikasikan pada awal Juni, saya juga sudah mengingatkan, bahwa Indonesia di zona kuning dengan risiko masuk ke zona merah. Jadi agak aneh saja kalau pemerintah tidak bisa memprediksi,” kata Dradjad yang saat ini tengah berfokus melakukan kajian Covid-19 dari aspek sosial ekonomi.

https://republika.co.id/berita/qvm056318/awas-pembelian-panik-oksigen-dan-obat-covid

  • Hits: 520

Indonesia Masih di Zona Kuning Pandemi, Risiko Zona Merah : Indonesia sebaiknya memperketat tindakan kesehatan publik

 

Selasa , 08 Jun 2021, 09:05 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika dilihat dari kondisi penularan Covid-19 (the state of Covid-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan Covid-19 serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran tindakan kesehatan publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Associate Professor Perbanas Institute, Dradjad Hari Wibowo, merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, menurut Dradjad, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning, dan hijau. Di zona merah, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown, atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan. Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan pada zona ini. Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, tetapi perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reproduksi R. Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi. Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Karena itu, ia menguji coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikelnya, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, kata Dradjad, per 5 Juni 2021 elastisitas di atas masih sebesar 1,45. Sejak 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas ini mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Setelah itu, tren-nya menurun. Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun, angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning. Karena tren elastisitasnya naik, risiko masuk ke zona merah tidak bisa diabaikan. Jadi, pada Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien Covid-19.

Mengingat tingginya tingkat penularan varian Delta (yang sebelumnya disebut varian India), papar Ketua Dewan Pakar PAN ini, analisis tentang kondisi penularan Covid-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial. Tujuannya agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, tetapi kerusakan ekonomi dan psikologinya dapat ditekan.

Apalagi, ia menambahkan, pada tahun kedua pandemi biasanya masyarakat mengalami kelelahan psikologis sehingga TKP semakin sulit diterapkan. Adanya jutaan pekerja yang tergantung pada penghasilan harian menambah kesulitan penerapan TKP. "Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60,47 persen adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun nonpertanian. Selain itu, sebagian besar dari 17,48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian," papar Dradjad.

Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didesain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi. Diakui Drajad, vaksinasi memang bukan solusi paripurna terhadap pandemi. Tapi, dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis. Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif.

Jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, pergerakan orang bisa dipulihkan, sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. Jika herd immunity belum tercapai, tapi porsi penduduk yang divaksin cukup tinggi, penyebaran virus, hospitalisasi, atau kematian biasanya menurun. Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih percaya diri beraktivitas ekonomi sehingga konsumsi, investasi, dan pertumbuhan bisa pulih.

Diungkapkannya, perekonomian itu bergantung pada pergerakan orang. Jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. Padahal, keduanya menyumbang sekitar 90 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39 persen, dengan kontribusi konsumsi 57,66 persen, dan investasi 31,73 persen. Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29 persen. Jadi, kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi, dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut.

https://republika.co.id/amp/qud1ty318

 

  • Hits: 623

Ekonom Ingatkan Pemerintah Ada Potensi RI Masuk Zona Merah Covid-19

 

Selasa, 8 Juni 2021 11:34 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta menjalankan strategi yang tepat antara pergerakan orang, vaksinasi, dan pengobatan agar Indonesia terbebas dari pandemi Covid-19.

"Jika dilihat dari kondisi penularan Covid-19 pada awal Juni 2021, Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi dengan risiko memburuk ke zona merah," kata Ekonom Dradjad H. Wibowo dalam keterangannya, Selasa (8/6/2021).

Menurutnya, pemerintah pada saat ini sebaiknya melakukan pengetatan tindakan kesehatan publik (TKP), seiring di beberapa kota sudah terdapat kasus rumah sakit kewalahan menampung pasien Covid-19.

"Tingginya tingkat penularan varian Delta, analisis tentang kondisi penularan Covid-19 secara ilmiah dan akurat sangatlah krusial, agar pemerintah pusat dan daerah mampu mendisain skema TKP yang paling tepat. Sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologi nya dapat ditekan," paparnya.

Menurutnya, TKP yang dijalankan secara tepat, yang diiringi dengan vaksinasi secara masif maka penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi dapat berjalan sinergis.

"Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif," ujarnya.

Lebih lanjut Ia mengatakan, persoalan perekonomian tergantung pada pergerakan orang, sehingga jika pergerakan orang terganggu karena tingginya penularan maka konsumsi rumah tangga hingga investasi akan terganggu juga.

"Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut," papar Drajad.

https://www.tribunnews.com/nasional/2021/06/08/ekonom-ingatkan-pemerintah-ada-potensi-ri-masuk-zona-merah-covid-19

 

  • Hits: 504

Page 6 of 8

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id