Pak Jokowi, RI Harap Jangan Condong ke AS atau China Ya!

 

Rabu 07 Apr 2021 22:20 WIB

Editor: Puri Mei Setyaningrum

WE Online, Jakarta -Ekonom senior Indef, Dradjad Hari Wibowo, menyarankan pemerintah untuk tidak miring ke China ataupun Barat. Kepentingan nasional Indonesia akan jauh lebih terjamin jika posisinya ada di tengah-tengah.

"Jangan miring ke Barat atau Amerika Serikat, jangan juga ke China," kata Dradjad, dalam perbincangannya dengan Republika.co.id, Rabu (7/4/2021).

Dradjad mengatakan, dalam politik global saat ini, banyak perkembangan yang membuat konstelasi antar negara blok makin rumit dan kompleks. Ujungnya, setiap negara atau blok menempatkan kepentingan sendiri makin jauh di atas kepentingan pihak lain.

Contohnya adalah nasionalisme vaksin yang menimbulkan benturan keras antara Uni Eropa dan Inggris. "Pemicunya adalah kegagalan AstraZeneca mencukupi pasokan vaksin Uni Eropa," kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Saking strategisnya masalah ini bagi poleksosbudhankam Uni Eropa,  kata Dradjad, Kanselir Merkel dan Presiden Macron sampai harus conference call dengan Presiden Putin untuk menjajaki vaksin Sputnik V. "Kasarnya, saking kerasnya ribut dengan teman (Inggris), dua negara terbesar di Uni Eropa (Jerman dan Perancis) harus menghubungi lawan (Rusia)," kata Dradjad.

China sebagai negara pertama yang terkena pandemi Covid-19, menurut Dradjad, justru menikmati keuntungan politik global melalui vaksin. Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia justru belum bisa berbuat banyak. Kata Dradjad, mereka masih sibuk dengan dirinya sendiri. Vaksin produksii AS masih belum banyak dibagikan ke dunia saking tingginya kasus Covid-19 di sana.

"Konstelasi politik global yang makin rumit dan kompleks juga muncul di bidang ekonomi, pertahanan, dan keamanan," ungkap mantan petinggi BIN ini.

Kondisi ini bisa menimbulkan keuntungan bagi Indonesia, tapi juga bisa menjadi masalah serius. Jika tidak pandai-pandai menavigasi kapal, kata Dradjad, Indonesia bisa dianggap sebagai satelit satu negara, entah AS, Barat, China, atau Rusia. Ini akan sangat merugikan kepentingan nasional.

"Jika miring ke China, Indonesia bisa dikerjai Barat. Rugi besar. Porsi dagang kita dengan Barat tinggi. Alutsista juga banyak dari Barat," kata Dradjad.

Namun, jika miring ke Barat, China juga bisa ngambek. Padahal, konflik Laut China Selatan itu dampaknya besar terhadap integritas wilayah NKRI. Termasuk, vaksinasi Indonesia juga salah satunya tergantung China.

Karena itu, lanjut Dradjad, Indonesia harus tetap berada di tengah. Jangan sampai ada satu negara yang dominan terhadap berbagai bidang kepentingan Indonesia.

Indonesia sudah bagus bisa menjamin pasokan vaksin dari Sinovac. Namun, agar Indonesia tidak miring ke China, pengembangan vaksin Merah Putih wajib dipercepat. Demikian juga dengan riset dan inovasi obat Covid-19. "Jangan undak-undik soal vaksin dan obat," ungkapnya.

Dalam hal perdagangan juga demikian. Menurut Dradjad, peranan China makin besar, sekitar dua kali lipat Amerika Serikat ataupun Jepang. Indonesia harus segera diversifikasi ekspor dan impor.

Link Berita : https://www.wartaekonomi.co.id/read335843/pak-jokowi-ri-harap-jangan-condong-ke-as-atau-china-ya

 

  • Hits: 639

New Story : Adakah Hal Politis di Balik Kasus Dinar-Dirham?

 

Senin 08 Feb 2021 18:02 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Isu penangkapan Zaim Saidi terkait dengan pasar Muamalah yang menggunakan dinar dirham, menjadi polemik di masyarakat. Langkah penangkapan Zaim Saidi dianggap sebagai tindakan berlebihan aparat kepolisian.

Dalam diskusi Newstory Republika, ekonom INDEF Dradjad Wibowo menyarankan agar polisi sebaiknya mengambil tindakan persuasif, dibanding menggunakan palu godam memenjarakan Zaim Saidi. Diingatkannya, penggunaan mata uang asing juga masih banyak dilakukan di wilayah-wilayah perbatasan, ataupun di daerah yang menjadi pusat wisata.

Jika kemudian hanya Zaim Saidi yang menggunakan Dinar-Dirham yang diproses hukum, bagaimana dengan pelaku yang lain. Diingatkannya, jangan sampai ada persepsi liar di masyarakat, bahwa ada hal politis di balik penangkapan Zaim Saidi ini.

Link Berita : https://republika.co.id/berita/qo7inn318/newstory-adakah-hal-politis-di-balik-kasus-dinar-dirham

 

  • Hits: 631

Investasi Miras Justru Bebani Ekonomi Rp 256 Triliun

 

Senin 01 Mar 2021 09:02 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo membantah pembukaan investasi minuman keras akan memberi dampak ekonomi yang besar. Malah, pembukaan investasi miras akan membuat beban ekonomi yang ditanggung negara akibar minuman keras lebih besar.

“Saya kira tidak benar kalau manfaatnya lebih besar dari mudharatnya. Biaya yang dikeluarkan negara akan lebih besar dibanding manfaat ekonominya. Ini berdasar riset ya, bukan perkiraan asal-asalan,” kata Dradjad kepada Republika.co.id, Senin (1/3).

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 10 Tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal, yang di dalamnya mengatur tentang pembukaan investasi minuman keras (miras).

Dengan adanya investasi, kata Dradjad, perusahaan tentu ingin mendapatkan keuntungan yang bagus sehingga mereka akan megupayakan agar banyak orang yang mengonsumsi minuman beralkohol. “Suplai akan menciptakan permintaan,” kata dia menjelaskan.

Kondisi ini akan membuat konsumsi munuman beralkohol meningkat. Dengan begitu, akan ada sekelompok masyarakat yang konsumsi alkoholnya berlebihan. “Ini berdasar pengalaman dari berbagai negara di dunia,” kata Dradjad, yang juga ketua Dewan Pakar PAN.

Berdasar studi tahun 2010 di Amerika Serikat, disebutkan, pertama, satu dari enam orang di AS yang minum, masuk dalam kategori minum minuman beralkohol dalam kategori berlebihan.

Kedua, dengan kondisi tersebut biaya dari minuman keras ini, pada 2010, di AS mencapai 249 miliar dolar AS atau sekira 2 dolar 5 sen per minuman. “Ini biaya yang ditanggung dari efek buruk minuman keras ke perekonomian. Kalau dipresentasikan ke PDB AS, jatuhnya 1,66 persen dari PDB,” papar Dradjad.

Pemborosan terbesar itu, kata Dradjad, disebabkan hilangnya produktivitas sevesar 72 persen, 11 persen karena biaya kesehatan, 10 persen untuk penegakan hukum kejahatan yang disebabkan alkohol, serta 5 persen terkait kecelakaan kendaraan bermotor akibat alkohol.

“Angka-angka ini masih perkiraan rendah. Padahal, para peneliti memperkirakan angkanya bisa lebih mahal lagi. Ini penelitian resmi yang dimuat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dari Pemerintah AS (CDC),” kata ekonom senior INDEF tersebut.

Selain studi itu, Dradjad juga menyebut adanya studi lain yang menunjukkan hal yang sama. Studi yang ditulis Montarat Thavorncharoensap dalam 20 riset di 12 negara menyebutkan, beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45 persen hingga 5,44 persen dari PDB.

Jika angka ini disimulasikan di Indonesia dengan hanya menerapkan angka yang dipakai di AS yaitu 1,66 persen maka hasilnya sudah tinggi. Dijelaskannya, PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434,2 triliun jika dikalikan 1,66 persen maka hasilnya adalah Rp 256 triliun.

“Jadi kalau kita asumsikan tidak setinggi 5,44 persen, tapi hanya 1,66 persen saja, sama seperti AS, hasilnya biaya ekonomi yang harus ditanggung Indonesia karena minuman keras mencapai Rp 256 triliun. Pertanyaan saya, apakah investasi miras akan menghasilkan Rp 256 triliun? Saya tidak yakin itu,” ungkapnya.

Dari angka-angka tersebut, papar Dradjad, biaya ekonomi yang diakibatkan Miras akan jauh lebih besar dari manfaatnya. Jadi karena mudharatnya lebih besar dari manfaatnya, kata Dradjad, pembukaan investasi miras lebih baik dibatalkan.

Link Berita : https://www.republika.co.id/berita/qp9po8318/investasi-miras-justru-bebani-ekonomi-rp-256-triliun-part1

 

  • Hits: 591

Indef: Dominasi China Terhadap Ekonomi Indonesia Cukup Tinggi, Harus Diversifikasi

 

Selasa 06 Apr 2021 16:20 WIB

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan, dominasi China terhadap ekonomi Indonesia cukup tinggi, sehingga harus ada diversifikasi negara tujuan ekspor.

Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo mengatakan porsi ekspor Indonesia paling besar ke China yakni 19,31 persen dengan nilai 29 miliar dolar Amerika Serikat (AS) di 2020.

Kendati demikian, Indonesia mengalami defisit perdagangan cukup besar dengan China sekira 10 miliar dolar AS karena impor dari Negeri Tirai Bambu menembus angka 39 miliar dolar AS atau porsinya hampir 31 persen.

"Dominasi peranan China terhadap Indonesia cukup tinggi, sehingga kita harus melakukan diversifikasi," ujarnya secara virtual dalam acara "Dialog Gerakan Ekspor Nasional: Target Ekspor Negara Sahabat" yang digelar Tribun Network, Selasa (6/4/2021).

Di sisi lain, dia mengapresiasi langkah tiga pejabat negara yakni Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang sudah berkunjung ke China terkait komitmen perdagangan.

"Saya baru cek bahwa Lutfi, Retno, dan Erick Thohir pulang dari China membawa komitmen perdagangan bersama mereka. Kita menyambut baik apa yang Mas Lutfi dan kawan-kawan lakukan, saya tahu mereka mewujudkan apa yang menjadi tugasnya," katanya.

Kendati demikian, Dradjad menambahkan, ada tantangan dalam melakukan diversifikasi ekspor selain ke China yakni isu-isu non ekonomi.

"Tapi, ada 1 hal yang tampaknya lemah kita tangani di dalam diplomasi atau strategi perdagangan kita ke pasar global yakni isu terkait keberlanjutan dan hak asasi manusia," katanya.

Link Berita : https://m.tribunnews.com/bisnis/2021/04/06/indef-dominasi-china-terhadap-ekonomi-indonesia-cukup-tinggi-harus-diversifikasi

 

  • Hits: 568

Dradjad: Indonesia Jangan Condong ke China atau AS

 

Rabu 07 Apr 2021 11:07 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Ekonom senior Indef, Dradjad Hari Wibowo menyarankan pemerintah untuk tidak miring ke China ataupun Barat. Kepentingan nasional Indonesia akan jauh lebih terjamin jika posisinya ada di tengah-tengah.

"Jangan miring ke Barat atau Amerika Serikat, jangan juga ke China,” kata Dradjad, dalam perbincangannya dengan Republika.co.id, Rabu (7/4).

Dradjad mengatakan, dalam politik global saat ini banyak perkembangan yang membuat konstelasi antar negara blok semakin rumit dan kompleks. Ujungnya, setiap negara atau blok menempatkan kepentingan sendiri semakin jauh di atas kepentingan pihak lain.

Contohnya adalah nasionalisme vaksin yang menimbulkan benturan keras antar Uni Eropa dan Inggris. "Pemicunya adalah kegagalan AstraZeneca mencukupi pasokan vaksin Uni Eropa,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Saking strategisnya masalah ini bagi poleksosbudhankam Uni Eropa,  kata Dradjad, Kanselir Merkel dan Presiden Macron sampai harus conference call dengan Presiden Putin untuk menjajaki vaksin Sputnik V.  "Kasarnya, saking kerasnya ribut dengan teman (Inggris), dua negara terbesar di Uni Eropa (Jerman dan Perancis) harus menghubungi lawan (Rusia),” kata Dradjad.

China sebagai negara pertama yang terkena pandemi COVID-19, menurut Dradjad, justru menikmati keuntungan politik global melalui vaksin.

Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia justru belum bisa berbuat banyak. Kata Dradjad, mereka masih sibuk dengan dirinya sendiri. Vaksin produksii AS masih belum banyak dibagikan ke dunia saking tingginya kasus COVID-19 di sana.

"Konstelasi politik global yang makin rumit dan kompleks juga muncul di bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan,” ungkan mantan petinggi BIN ini.

Kondisi ini bisa menimbulkan keuntungan bagi Indonesia, tapi juga bisa menjadi masalah serius. Jika tidak pandai-pandai menavigasi kapal,  kata Dradjad, Indonesia bisa dianggap sebagai satelit satu negara, entah AS, Barat, China atau Rusia. Ini akan sangat merugikan kepentingan nasional.

"Jika miring ke China, Indonesia bisa dikerjai Barat. Rugi besar. Porsi dagang kita dengan Barat tinggi. Alutsista dan juga banyak dari Barat,” kata Dradjad.

Tapi jika miring ke Barat, China juga bisa ngambek. Padahal konflik Laut China Selatan itu dampaknya besar terhadap integritas wilayah NKRI.  Termasuk vaksinasi Indonesia juga salah satunya tergantung China.

Karena itu, lanjut Dradjad, Indonesia harus tetap berada di tengah. Jangan sampai ada satu negara yang dominan terhadap ebrbagai bidang kepentingan Indonesia.

Indonesia sudah bagus bisa menjamin pasokan vaksin dari Sinovac. Tapi agar Indonesia tidak miring ke China, pengembangan vaksin Merah Putih  wajib dipercepat. Demikian juga dengan riset dan inovasi obat COVID-19. "Jangan undak-undik soal vaksin dan obat,” ungkapnya.

Dalam hal perdagangan juga demikian. Menurut Dradjad, peranan China semakin besar, sekitar dua kali lipat Amerika Serikat ataupun Jepang. Indonesia harus segera diversifikasi ekspor dan impor.

Link Berita : https://republika.co.id/berita/qr6e47318/dradjad-indonesia-jangan-condong-ke-china-atau-as

 

  • Hits: 615

Page 23 of 24

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id