Negara Perlu Uang, Dradjad: Kemenkeu Harusnya Kreatif

Sabtu 03 Jul 2021 09:42 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo mengingatkan efek ekonomi dari restriksi kesehatan publik. Untuk itu pemerintah disarankan untuk kreatif dalam menggali potensi penerimaan negara.

Dradjad mengatakan, PPKM Darurat akan mengganggu ekonomi. Namun, lanjut dia, belajar dari pengalaman pandemi flu Spanyol, maupun penanganan pandemi covid-19 di Australia, Selandia Baru, Taiwan, justru jika disiplin dalam restriksi kesehatan publik, maka ekonomi justru akan lebih cepat pulih. “Memang seperti itu konsekuensinya,” kata Dradjad, kepada Republika.co.id, Sabtu (3/7).

Hal yang bisa dilakukan negara, menurut Dradjad, adalah mengurangi beban pelaku ekonomi. Caranya dengan memberikan stimulus fiskal. Ini juga dilakukan AS, negara-negara eropa.

Mengenai dananya, menurut Dradjad, tidak ada pilihan lain kecuali kementerian keuangan lebih kreatif dalam menggali sumber-sumber penerimaan. Baik menggunakan tehnologi informasi, memperbaiki inteligen, maupun mengendus dimana ada dana yang bisa digali untuk penerimaan negara.

“Dalam hal penerimaan negara ini, kita tidak bisa bussines as usual. Kita harus melakukan terobosan-terobosan,” ungkapnya. Dradjad mengatakan sudah pernah bertugas di lembaga intelijen, dan tahu dimana masih ada sumber-sumber penerimaan yang masih bisa digali.

Terkait dengan pelaksanaan PPKM Darurat, Dradjad mempertanyakan langkah pemerintah, yang belum melakukan pengetatan terhadap jalur penerbangan dan laut dengan luar negeri.  Penerbangan dan laut masih terbuka bagi masuknya orang asing ke Indonesia.

Dradjad menyambut poistif langkah pemerintah melakukan PPKM Darurat.  Namun ia berharap PPKM Darurat bisa lebih ketat. Dipaparkannya, dengan masih dibukanya supermarket, toko kelontong dengan kapasitas buka 50 persen, serta masih buka hingga pukul 20.00 WIB,  ini masih mengandung  risiko.

“Tapi yang paling krusial adalah kenapa kita tidak menutup perbatasan kita untuk jalur penerbangan maupun laut. Dan harusnya membatasi yang boleh masuk hanya sedikit saja,” kata Dradjad.

Salah satu kunci dalam restriksi kesehatan publik adalah penutupan jalur penerbangan maupun laut. Hal ini, menurut Dradjad, perlu dipertimbangkan, karena varian delta masuknya dari luar.

https://www.republika.co.id/berita/qvmhtp318/negara-perlu-uang-dradjad-kemenkeu-harusnya-kreatif

  • Hits: 522

Soal Dinar, Polisi Disarankan Tunda Penahanan Zaim Saidi

 

Kamis 04 Feb 2021 18:22 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menyarankan Polri untuk menangguhkan penahanan terhadap Zaim Saidi. Hal ini karena pengunaan uang nonrupiah juga banyak dilakukan di daerah perbatasan.

“Mudah-mudahan, Kapolri Jenderal Sigit mau menerapkan falsafah pener dalam bahasa Jawa untuk kasus ini,” kata Dradjad kepada Republika, Rabu (4/2). Hal itu akan menjadi langkah yang bijak dan sangat bermanfaat bagi semua pihak.

Ada sejumlah alasan atas usulannya tersebut. Pertama, dari sisi UU Mata Uang (UU 7/2011), penggunaan dinar dan dirham untuk bertransaksi memang melanggar UU dan diancam pidana. Jadi, Polri benar dalam penegakan hukum kasus ini.

“Namun, dari sisi UU Mata Uang, pidananya adalah ringan. Karenanya, langkah persuasif akan sangat bagus jika diterapkan,” kata Dradjad.

Kedua, pada 2017 Agus Martowardoyo, gubernur BI waktu itu, pernah mneyatakan berhasil menurunkan transaksi di dalam negeri yang menggunakan valas. Sebelumnya, jumlah transaksi tersebut adalah 6 miliar dolar AS-8 miliar dolar AS sebulan. Tahun 2017 turun menjadi 1,3 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 18 triliun sebulan atau lebih dari Rp 216 triliun setahun.

Artinya, kata Dradjad, pada saat itu masih banyak pihak yang bertransaksi memakai valas, padahal seharusnya memakai rupiah. “Pertanyaannya, apakah mereka ditahan?” tanya Dradjad.

Yang munvul di berita, kata Dradjad, BI di bawah Agus Marto dibantu instansi lain termasuk Polri melakukan sosialisasi ke perbatasan Kalimantan, Batam, dan daerah lain. Agus Marto bahkan menemui sebagian menteri untuk membantu penggunaan rupiah di dalam negeri.

Ketiga, dari yang saya baca, pasar muamalah itu sudah cukup lama, meski hanya berjalan beberapa jam sepekan sekali. Pertanyaannya, pernahkah BI melakukan sosialisasi agar pasar tersebut memakai rupiah?

Keempat, masih banyak rakyat Indonesia yang memakai mata uang asing, terutama di perbatasan. Bahkan, di salah satu daerah di Kalimantan, pedagang yang memakan valas juga menjadi nasabah bank BUMN. Itu dalam berita akhir Desember 2020, masih baru saja.

Mereka jelas melanggar UU Mata Uang. Tapi, apakah mereka akan ditangkapi semuanya?

Kelima, Zaim ini cukup banyak jasanya dalam penguatan masyarakat sipil (civil society) di Indonesia. Zaim pernah di YLKI, Walhi, dan juga LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). “Saya sendiri pernah menjadi Direktur Eksekutif LEI,” ungkap Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN itu.

Dradjad mengaku, tidak kenal dekat dengan Zaim secara pribadi. Zain satu tahun di atas Dradjad di kampus IPB. Zaim sempat setahun menjadi pengurus DPP PAN 1999-2000. Tapi, mengingat jasa-jasanya, rasanya cukup bijak jika penahanannya ditangguhkan.

Mengenai penggunaan Pasal 9 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Dradjad mengatakan, bukan ahli hukum untuk menafsirkannya. Dradjad hanya berpesan dengan langkah pener, langkah bijak, tali persaudaraan sesama anak bangsa akan lebih kuat. Ini diperlukan untuk menghadapi pandemi.

Link Berita : https://republika.co.id/berita/qo04x5318/soal-dinarpolisi-disarankan-tangguhkan-penahanan-zaim-saidi

 

  • Hits: 637

Selebritas Dunia Bedhol Desa ke Australia, Ini Analisanya

 

Sabtu 03 Apr 2021 06:48 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Indef, Dradjad Hari Wibowo menyoroti banyaknya selebritas dunia yang bekerja dan tinggal di Australia. Menurutnya, Australia menuai keuntungan dari kedisiplinan menjalankan tindakan kesehatan publik (TKP).

Dradjad mengatakan membaca media besar di dunia, The New York Time dan BBC, bahwa saat ini, sudah hampir setahun banyak selebitas dunia yang tinggal dan bekerja di Australia. Dimulai dari Zac Efron, Mark Wahlberg, Matt Damon, Idris Elba, dan lain-lain. Mereka berbulan-bulan tinggal dan bekerja di Australia.

“Bahkan disebutkan hampir separuh Hollywood bekerja dan tinggal di Australia,” kata Dradjad dalam perbincangan dengan Republika.co.id, Sabtu (3/4).

Hal ini, menurut Dradjad, karena Australia dianggap berhasil menangani pandemi Covid-19. “Kita tahu saat ini bahkan orang sudah bebas berolah raga, berbulan-buan aktivitas relatif normal di sana,” ungkapnya.

Resep dari keberhasilan ini, menurut Dradjad, seperti juga New Zeland, Australia sangat disiplin dalam menjalankan tindakan kesehatan publik. Sehingga jumlah kasus di Australia sangat kecil. Bahkan jika ada satu kasus yang muncul maka langsung dilakukan lockdown lokal, selama satu-dua pekan. Jika sudah terkendali baru dibuka lagi.

Di awal pandemi, lanjut Ketua Dewan Pakar DPP PAN ini, Australia juga bergerak cepat melakukan penutupan perbatasan. Ini memungkinkan mereka lakukan karena wilayah mereka berbentuk kepulauan.

“Ini adalah bukti tambahan tentang apa yang sudah saya suarakan sejak Maret 2020, yaitu tangani pandemi dulu maka ekonomi akan ikut,” kata Dradjad. Pemulihan ekonomi sangat tergantung pada penanganan pandemi Covid 19.

Penanganan pandemi harus diutamakan. Ini berarti Tindakan Kesehatan Publik (TKP) perlu dijalankan dengan ketat dan disiplin. “Kalau di Indonesia Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karena kita tidak disiplin, maka dunia menanggap kita relatif jelek dalam masalah penangan pandemi. Akibatnya ekonomi kita menderita,” papar Dradjad.

Dradjad mengatakan sudah pernah memaparkan bukti tentang keberhasilan Vietnam dan Taiwan yang berhasil menangani pandemi. Hingga selama pandemi, ekonomi Vietnam malah tumbuh positif. Begitu Taiwan, yang ekonominya sempat turun tapi dengan cepat pulih kembali.

Australia, lanjut Dradjad, saat ini mendapat manfaat. Manfaat langsungnya berupa uang investasi dari Hollywood yang berputar di Australia. Kemudian juga konsumsi para selebritas global juga bermanfaat buat Australia.

Hal yang lebih penting, menurut Dradjad, manfaat jangka menengah dan jangka panjangnya sangat besar. “Ke depannya, orang akan selalu ingat bahwa Australia adalah tempat yang aman jika terjadi pandemi. Ini efeknya akan sangat besar,” papar Dradjad.

Secara teori, menurut Dradjad, Indonesia juga harusnya bisa melakukan hal ini. Dijelaskannya, Indonesia adalah negara kepulauan, yang mempunyai keuntungan bisa lebih ketat jika melakukan penutupan perbatasan.

“Tapi kuncinya, perlu kemauan politik yang kuat dari pemerintah pusat maupun daerah, termasuk masyarakat untuk berdisiplin menjalankan TKP. Sehingga aktivitas sehari-hari di masyarakat bisa dipulihkan lagi secara normal, seperti yang terjadi di Australia, New Zeland, maupun Taiwan.

Saat ini, kata Dradjad, ada hal positif di Indonesia yaitu terkait dengan vaksinasi. Indonesia bisa menjamin pengadaan vaksin di tengah adanya nasionalisme vaksin yang melanda dunia.

“Vaksinasi itu salah satu strategi, tetapi kita tetap perlu melakukan tindakan kesehatan publik,” kata Dradjad.

Dradjad berharap masyarakat dan pemerintah bisa berdisiplin melakukan tindakan kesehatan publik dan vaksinasi, yang didukung pengembangan vaksin nasional, serta riset-riset sehingga Indonesia bisa menemukan obat Covid-19.

Link Berita : https://republika.co.id/berita/qqyng7318/selebritas-dunia-bedhol-desa-ke-australia-ini-analisanya

 

  • Hits: 663

Perpres Batal, Tapi Miras tak Masuk Daftar Investasi Negatif

 

Senin 03 Mar 2021 05:25 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Indef Dradjad Wibowo mengingatkan jajaran menteri ekonomi dan keuangan, serta BKPM, agar tidak lagi memikirkan membuka modal baru untuk miras. Karena dari sisi ekonomi pun beban ekonomi konsumsi alkohol sangat besar sekali.

“Dari aspek apa pun, baik agama, sosial, kesehatan, bahkan ekonomi, tidak ada untungnya. Bahkan, dari sisi ekonomi pun beban ekonomi akibat miras sangat besar,” kata Dradjad, Rabu (3/3)

Dradjad menyambut baik langkah Presiden Jokowi yang mencabut sejumlah butir di Lampiran Perpres 10 Tahun 2021 terkait dengan investasi minuman keras (miras). “Terima kasih juga kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang telah berkoordinasi dengan umat Islam dan pihak-pihak lainnya, untuk meminta Presiden untuk mencabutnya,” kata Dradjad.

Demi tertib administrasi dan tata kelola yang baik, Dradjad berharap akan segera keluar perpres baru yang merevisi Perpres 10 Tahun 2021. Diharapkan sekretarian negara bisa segera menyiapkan perpres baru. “Selama belum ada perpres baru, maka sejumlah butir 31, 32, 33, 44, 45 dari Lampiran III Perpres 10 tahun 2021 yang dicabut, akan tetap berlaku. Masih sah sebagai dasar hukum,” papar Dradjad.

Pertimbangan lain, Dradjad menambahkan, berdasarkan UU Cipta Kerja, miras tidak masuk dalam daftar negatif investasi (DNI). “Jangana da kekosongan hukum karena UU di atasnya tidak memasukkan miras sebagai DNI,” kata Dradjad.

Dradjad menyarankan kepada pemerintah, khususnya para menteri dalam bidang ekonomi dan keuangan, termasuk BKPM untuk tidak lagi memikirkan membuka modal baru untuk miras. Karena dari sisi ekonomi, pun biaya ekonomi knosumsi alkohol besar sekali.

Kalau yang dijadikan alasan adalah substitusi impor miras, menurut Dradjad, impor miras juga kecil. Besarannya hanya sekira 40,44 juta dolar AS atau Rp 600 miliar pada 2018.

Di sisi lain, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia masih rendah. Per 2016 hanya sekitar 0,8 liter per kapita per tahun. “Jika investasi baru miras dibuka, tentu mereka akan berupaya meningkatkan konsumsi miras di Indonesia,” kata Dradjad.

Jika dibanding di Timor Leste, konsumsi miras sudah 2,1 liter per kapita per tahun. Dengan konsumsi sebesar itu, kata Dradjad, Timor Leste sudag mulai berusaha untuk menguranginya. Ini karena mereka melihat dampak sosial, kesehatan, dan sebagainya.

“Jangan konsumsi miras di Indonesia malah didorong meningkat. Seperti di Thailand sebesar 8,3 liter per kapita per tahun, atau AS sebesar 9,8 liter per kapita per tahun,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Jika konsumsi miras sudah setinggi itu, akan sangat banyak persoalan sosial, kesehatan, yang akan membuat beban ekonominya sangat besar bagi Indonesia.

Link Berita : https://republika.co.id/berita/qpd4z3318/perpres-batal-tapi-miras-tak-masuk-daftar-investasi-negatif

 

  • Hits: 642

PAN Sampaikan Catatan Kritis Sudah Pandemi, Kena Resesi

 

Jumat 18 Jan 2021 07:30 WIB

Red: Joko Sadewo

RM.id Rakyat Merdeka - Partai Amanat Nasional (PAN) membeberkan catatan kritisnya terhadap ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Pemerintah dan rakyat dianggap tidak disiplin dengan tindakan kesehatan publik. Alhasil, pandemi melambung dan utang luar negeri pemerintah semakin menggunung.

“Bahasa gampangnya, sudah pandemi, kena resesi, utang nambah pula. Itu semua karena kita tidak disiplin,” ujar Ketua Dewan Pakar PAN, Dradjad Wibowo kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini menyoroti statistik Utang Luar Negeri (ULN) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI). Khususnya, efektivitas utang luar negeri dalam mengendalikan pandemi dan memulihkan ekonomi.

Dijelaskan, hanya dalam medio April-Juli 2020, Kementerian Keuangan menerbitkan 11 Surat Berharga Negara (SBN) Internasional. Nominalnya 7.002 juta dolar AS, setara Rp 98 triliun untuk membiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Sejurus kemudian, ULN pemerintah per November 2020, naik sebesar 22.74 miliar dolar AS, setara Rp 318 triliun. Menariknya, ULN dari kreditor pemerintah dan lembaga internasional naik sekitar 3 miliar dolar AS, atau setara Rp 41 triliun.

Lalu, efektifkah penambahan ULN untuk mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi? Dradjad membandingkan langkah yang ditempuh Indonesia, Vietnam, dan Taiwan.

Indonesia, dianggapnya masuk kategori tidak disiplin menjalankan tindakan kesehatan publik karena takut ekonomi terpuruk. Sementara Vietnam dan Taiwan, adalah negara su per ketat dalam urusan protokol kesehatan, hingga menutup perbatasan.

Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia -5,32 persen di kuartal II-2020, dan -3,49 persen di kuartal III/2020. Indonesia pun mengalami resesi. Sementara Vietnam, tumbuh positif selama tiga kuartal 2020. Yaitu 3,82 persen, 0,39 persen dan 2,62 persen.

Kemudian Taiwan, di kuartal II tumbuh negatif -0,58 persen. Tapi di kuartal III, Taiwan sudah pulih, tumbuh 1,59 persen. Kemudian soal pandemi, hingga 6 Desember 2020, jumlah kasus di Vietnam hanya 1365, Taiwan 693.

“Jika dihitung per 100 ribu penduduk, jumlah kasus di Indonesia itu 72-149 kali lipat Vietnam dan Taiwan. Jumlah yang meninggal per 100 ribu penduduk di Indonesia 161-214 kali lipat di dua negara tersebut,” katanya.

Menurutnya, fakta ini membuktikan, pemerintah dan rakyat disiplin menjalankan tindakan kesehatan publik, seperti Vietnam dan Taiwan, berimbas kepada terkendalinya pandemi sekaligus memulihkan ekonomi.

Nah, atas menggunungnya utang luar negeri saat ini, politisi senior PAN ini mengingatkan pemerintah tentang bagaimana cara membayarnya. “Kondisi di atas membuat Indonesia makin susah lepas dari gali lubang tutup lubang. Apa ini yang hendak diwariskan ke anak cucu?” pungkasnya.

Seperti diketahui, posisi utang pemerintah per akhir Desember 2020 berada di angka Rp 6.074,56 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,68 persen. Komposisi utang pemerintah ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Tercatat sampai akhir Desember 2020, utang dalam bentuk SBN mencapai Rp 5.221,65 triliun atau 85,96 persen dari posisi utang. Rinciannya, dari pasar domestik terkumpul Rp 4.025,62 triliun. Sedangkan dari Surat Utang Negara sebanyak Rp 3.303,78 triliun, dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 721,84 triliun.

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengamini, saat ini banyak kritik tentang utang pemerintah, meski begitu optimis masih bisa dibayar. “Kita yakin mampu membayar itu terutama dengan yield yang semakin kompetitif,” ujar Yustinus dalam sebuah diskusi daring, di Jakarta, Jumat (15/1).

Meskipun terjadi penarikan utang di 2020 yang cukup besar, rasio utang terhadap PDB masih cukup terjaga, dibandingkan beberapa negara tetangga termasuk negara maju.

“Selama pandemi, tak bisa dibandingkan peningkatan utang 2020. Sebab, penerimaan pajak menurun, kebutuhannya meningkat otomatis mengandalkan utang,” jelasnya.  [BSH]

Link Berita : https://rm.id/baca-berita/parpol/61055/pan-sampaikan-catatan-kritis-sudah-pandemi-kena-resesi

 

  • Hits: 662

Page 22 of 24

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id