Gibran Peduli Greenflation, Pakar TKN Jelaskan Dampak Negatif Jika Tidak Diurusi

Senin, 22 Januari 2024, 18:08 WIB

 

Warta Ekonomi, Jakarta - Dalam debat Cawapres yang baru saja diselenggarakan pada 21 Januari 2024 di JCC Senayan, Jakarta, topik greenflation mendapat sorotan khusus.

 

Calon Wakil Presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming, mempertanyakan cara mengatasi greenflation kepada Mahfud MD, namun merasa tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan. Tanggapan ini mengundang perhatian dari Dradjad Wibowo, anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran dan pakar ekonomi senior dari INDEF.

 

“Bagaimana cara mengatasi greenflation?” tanya Gibran Rakabuming kepada Mahfud MD.

 

Dradjad Wibowo menekankan bahwa greenflation bukanlah konsep yang sederhana. Istilah ini merujuk pada peningkatan harga yang terjadi akibat biaya mahal dalam transisi ke ekonomi hijau. Ini merupakan salah satu bentuk inflasi dorongan biaya atau cost-push inflation, yang sering menjadi pembahasan di kalangan ilmuwan, aktivis, pebisnis, dan politikus yang fokus pada keberlanjutan.

 

Indonesia, yang memiliki potensi panas bumi kedua terbesar di dunia, hanya memanfaatkan sekitar 9,8 persen dari potensinya. Menurut Dradjad, salah satu kendala utamanya adalah biaya produksi listrik tenaga panas bumi yang signifikan lebih mahal dibanding PLTU batu bara.

 

"Kendala utama adalah biaya produksi listrik tenaga panas bumi yang 50 persen lebih mahal dibanding PLTU batu bara, bahkan bisa dua kali lipat lebih mahal dalam beberapa estimasi," jelas Drajad dalam keterangannya, Senin (22/1/2024).

 

Peralihan sepenuhnya dari PLTU batu bara ke PLTP dengan biaya saat ini akan meningkatkan biaya listrik nasional minimal 50 persen. Ini akan berdampak luas pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan kenaikan harga yang drastis. Greenflation juga dapat menyebabkan dampak negatif serupa dengan inflasi biasa, termasuk potensi konflik sosial dan peningkatan ketimpangan.

 

Transisi energi di Indonesia yang dilakukan secara radikal berpotensi menyebabkan kenaikan tarif listrik, pajak kendaraan bermotor yang tinggi, atau kenaikan harga barang akibat pajak karbon.

 

Masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kelompok yang paling terdampak oleh greenflation. Upah mereka yang tidak sebanding dengan tingkat inflasi, serta kecenderungan menyimpan tabungan dalam bentuk tunai, berbeda dengan keluarga yang lebih kaya, membuat daya beli mereka menurun secara signifikan.

 

Debat ini menyoroti pentingnya pendekatan yang bijaksana dan bertahap dalam transisi energi, untuk menghindari dampak negatif yang luas dari greenflation. Kepemimpinan yang inovatif dan penuh pertimbangan dari tokoh seperti Gibran Rakabuming dalam tim Prabowo-Gibran menjadi kunci dalam navigasi kompleksitas ini.

 

Editor: Amry Nur Hidayat

https://wartaekonomi.co.id/read526513/gibran-peduli-greenflation-pakar-tkn-jelaskan-dampak-negatif-jika-tidak-diurusi

  • Hits: 154

Bela Gibran, TKN Debut Isu Greenflation Penting Dalam Transisi Ekonomi Hijau

Reporter & Editor : MARULA SARDI

Senin, 22 Januari 2024 15:43 WIB

 

RM.id  Rakyat Merdeka - Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran dan pakar ekonomi senior dari INDEF, Dradjad Wibowo baru-baru ini menanggapi konsep greenflation yang dibahas oleh Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming ketika debat Cawapres yang diselenggarakan pada 21 Januari 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024).

 

Sebelumnya Calon Wakil Presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming dalam sesi tanya jawab memberikan pertanyaan cara mengatasi greenflation kepada Mahfud MD.

 

“Bagaimana cara mengatasi greenflation?” tanya Gibran Rakabuming kepada Mahfud MD.

 

Setelah Mahfud memberikan jawaban, Gibran pun mengatakan bahwa ia tidak menemukan jawaban yang dicari dari sosok Mahfud MD.

 

Menurut Dradjad, greenflation bukanlah istilah sederhana atau konsep yang bisa diranggap receh. Dradjad menekankan bahwa greenflation merupakan isu kompleks dalam transisi ke ekonomi hijau, yang mencakup energi bersih dan praktik keberlanjutan.

 

Greenflation, menurut Dradjad, merupakan istilah kontemporer yang sering digunakan oleh para ilmuwan, aktivis, pebisnis, dan politikus yang berkecimpung dalam isu keberlanjutan.

 

Istilah ini merujuk pada peningkatan harga yang disebabkan oleh biaya mahal transisi ke ekonomi hijau, menjadi salah satu bentuk dari inflasi dorongan biaya atau cost-push inflation.

 

Dradjad memberikan contoh konkret dari Indonesia, yang memiliki potensi panas bumi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, namun hanya memanfaatkan sekitar 9,8 persen dari potensinya.

 

"Kendala utama adalah biaya produksi listrik tenaga panas bumi yang 50 persen lebih mahal dibanding PLTU batu bara, bahkan bisa dua kali lipat lebih mahal dalam beberapa estimasi," jelas Drajad dalam keterangannya, Senin (22/1/2024).

 

Dradjad mengingatkan bahwa jika Indonesia beralih sepenuhnya dari PLTU batu bara ke PLTP dengan biaya saat ini, biaya listrik nasional bisa meningkat minimal 50 persen. Hal ini akan berdampak luas terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan harga-harga yang melonjak drastis.

 

Greenflation, lanjut Dradjad, akan menghasilkan dampak negatif yang serupa dengan inflasi biasa, termasuk potensi konflik sosial dan peningkatan ketimpangan.

 

Di Indonesia, transisi energi yang dilakukan secara radikal dapat menyebabkan kenaikan tarif listrik, pajak kendaraan bermotor yang tinggi, atau kenaikan harga barang karena pajak karbon.

 

Masyarakat berpenghasilan rendah akan paling terdampak oleh greenflation ini, tidak hanya karena upah mereka yang tidak sebanding dengan tingkat inflasi, tetapi juga karena mereka cenderung menyimpan tabungan dalam bentuk tunai, berbeda dengan keluarga yang lebih kaya dengan aset riil mereka.

 

Akibatnya, daya beli masyarakat berpenghasilan rendah akan menurun secara signifikan.

 

https://rm.id/baca-berita/pemilu/207174/bela-gibran-tkn-debut-isu-greenflation-penting-dalam-transisi-ekonomi-hijau

  • Hits: 133

Gibran Angkat Isu Greenflation, Pakar TKN Jelaskan Dampak Negatif Jika Tidak Diurusi

Oleh: Yudho Winarto

Senin, 22 Januari 2024 19:01 WIB

 

 

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam debat Cawapres yang baru saja diselenggarakan pada 21 Januari 2024 di JCC Senayan, Jakarta, topik greenflation mendapat sorotan khusus.

 

Calon Wakil Presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming, mempertanyakan cara mengatasi greenflation kepada Mahfud MD, namun merasa tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan.

 

Tanggapan ini mengundang perhatian dari Dradjad Wibowo, anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran dan pakar ekonomi senior dari INDEF.

 

“Bagaimana cara mengatasi greenflation?” tanya Gibran Rakabuming kepada Mahfud MD.

 

Dradjad Wibowo menekankan bahwa greenflation bukanlah konsep yang sederhana. Istilah ini merujuk pada peningkatan harga yang terjadi akibat biaya mahal dalam transisi ke ekonomi hijau.

 

Ini merupakan salah satu bentuk inflasi dorongan biaya atau cost-push inflation, yang sering menjadi pembahasan di kalangan ilmuwan, aktivis, pebisnis, dan politikus yang fokus pada keberlanjutan.

 

Indonesia, yang memiliki potensi panas bumi kedua terbesar di dunia, hanya memanfaatkan sekitar 9,8% dari potensinya.

 

Menurut Dradjad, salah satu kendala utamanya adalah biaya produksi listrik tenaga panas bumi yang signifikan lebih mahal dibanding PLTU batubara.

 

"Kendala utama adalah biaya produksi listrik tenaga panas bumi yang 50% lebih mahal dibanding PLTU batu bara, bahkan bisa dua kali lipat lebih mahal dalam beberapa estimasi," jelas Drajad dalam keterangannya, Senin (22/1).

 

Peralihan sepenuhnya dari PLTU batu bara ke PLTP dengan biaya saat ini akan meningkatkan biaya listrik nasional minimal 50%.

 

Ini akan berdampak luas pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan kenaikan harga yang drastis.

 

Greenflation juga dapat menyebabkan dampak negatif serupa dengan inflasi biasa, termasuk potensi konflik sosial dan peningkatan ketimpangan.

 

Transisi energi di Indonesia yang dilakukan secara radikal berpotensi menyebabkan kenaikan tarif listrik, pajak kendaraan bermotor yang tinggi, atau kenaikan harga barang akibat pajak karbon.

 

Masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kelompok yang paling terdampak oleh greenflation. Upah mereka yang tidak sebanding dengan tingkat inflasi, serta kecenderungan menyimpan tabungan dalam bentuk tunai, berbeda dengan keluarga yang lebih kaya, membuat daya beli mereka menurun secara signifikan.

 

Debat ini menyoroti pentingnya pendekatan yang bijaksana dan bertahap dalam transisi energi, untuk menghindari dampak negatif yang luas dari greenflation.

 

Kepemimpinan yang inovatif dan penuh pertimbangan dari tokoh seperti Gibran Rakabuming dalam tim

Prabowo-Gibran menjadi kunci dalam navigasi kompleksitas ini.

 

Editor: Yudho Winarto

 

https://amp.kontan.co.id/news/gibran-angkat-isu-greenflation-pakar-tkn-jelaskan-dampak-negatif-jika-tidak-diurusi

  • Hits: 176

Debat Cawapres, Pakar Ekonomi: Kok, Menganggap Greenflation Hal Receh?

Dianggap receh karena tidak paham soal transisi ke ekonomi hijau.

 

Red: Gita Amanda

Senin 22 Jan 2024 10:21 WIB

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengatakan, greenflation bukanlah sebuah istilah jebakan dalam debat, apalagi sebuah konsep receh-receh.

 

Menurut Dradjad, orang yang menganggap greenflation sebagai hal receh, menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap transisi ke ekonomi hijau, termasuk ke energi bersih dan penerapan praktik kelestarian.

 

“Tidak paham tantangan dan hambatan apa saja yang membuat transisi tersebut sangat lambat di dunia. Tidak paham risiko politik, bahkan gejolak sosial yang bisa muncul akibat transisi tersebut,” kata Dradjad, Senin (22/1/2024).

 

Dijelaskannya, greenflation adalah istilah zaman now yang makin sering dipakai ilmuwan, pegiat, pebisnis, bahkan politikus yang terlibat dalam urusan kelestarian atau keberlanjutan (sustainability). “Dipakai mereka yang terlibat dalam urusan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata ekonom senior INDEF ini.

 

Secara sederhana, lanjut Dradjad, greenflation atau inflasi hijau merujuk pada kenaikan harga sebagai akibat dari mahalnya biaya transisi di atas. Dengan kata lain, inflasi hijau merupakan salah satu bentuk cost-push inflation.

 

Sebagai contoh, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. “Potensi panas bumi kita setara 23.966 megawatt (MW). Saat ini kita baru memanfaatkan 2.343 MW, atau hanya sekitar 9,8 persen dari potensi tersebut,” papar Dradjad yang juga Ketua Umum IFCC (Indonesian Forestry Certification Cooperation) ini.

 

Menurut Dradjad, hambatan terbesarnya adalah biaya. Beban biaya PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) per kilowatt hour (kwh) itu sekitar 50 persen lebih mahal dari PLTU batu bara. Bahkan dalam berbagai estimasi lainnya, biayanya bisa dua kali lipat lebih.

 

Jika Indonesia melakukan pensiun dini terhadap penggunaan semua PLTU batu bara, dan menggantinya ke PLTP. Dalam kondisi biaya saat ini, biaya listrik nasional akan naik minimal 50 persen. Karena hampir semua aktivitas memerlukan listrik, bisa dibayangkan seberapa besar dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Harga-harga melonjak drastis.

 

“Hampir semua pelaku bisnis dipastikan menjerit. Bukan hanya itu, rakyat bisa marah. Itu semua akibat greenflation,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

 

 

Contoh lain, banyak negara sekarang menerapkan standar kelestarian yang ketat bagi dunia usaha. Biaya pemenuhan standar ini juga cukup mahal dan menimbulkan inflasi hijau. Demikian juga, dengan pajak karbon dan berbagai inisiatif lainnya.

 

Jadi, inflasi hijau itu tempatnya di jantung dari topik kelestarian, transisi ke ekonomi hijau, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebuah tantangan yang harus dicarikan solusinya segera karena transisi di atas adalah keniscayaan. Bukan sebuah istilah receh-receh.

 

https://ekonomi.republika.co.id/berita/s7n804423/debat-cawapres-pakar-ekonomi-kok-menganggap-greenflation-hal-receh-part1

  • Hits: 149

Begini Strategi Hilirisasi Industri dari Prabowo-Gibran

By  Ryan Puspa Bangsa

21 Januari 2024

 

Jakarta, Gatra.com - Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad H Wibowo mengatakan bahwa industrialisasi, hilirisasi, dan mitigasi perubahan iklim merupakan bagian integral dari strategi Prabowo-Gibran.

 

Menurutnya, hilirisasi industri harus dikaitkan dengan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Lantaran, hilirisasi bisa dipastikan akan meningkatkan kebutuhan energi dalam negeri.

 

"Ini bagian dari integrasi strategi. Jika sumber energi nanti dari EBT mencukupi, sumber daya fosil bisa dialihkan menjadi bahan baku industri lanjutkan seperti Petrokimia," jelasnya dalam acara Talkshow "Masa Depan Hilirisasi Minerba" yang digelar Gatra Media Group di Jakarta, Sabtu (20/1).

 

Ia menyebut, hilirisasi sumber daya alam yang dapat diperbaharui akan dilakukan dengan syarat memenuhi tiga pilar keberlanjutan, lestari sosial, ekonomi, dan lingkungan.

 

Sedangkan untuk sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, hilirisasi dijalankan dengan target peningkatan nilai tambah maksimal. Surplus dari hilirisasi ini, akan diinvestasikan kepada sektor peningkatan SDM (pendidikan dan kesehatan). Selain itu juga, investasi dilakukan pada penelitian dan pengembangan (R&D) untuk penemuan dan penguasaan inovasi dan teknologi baru.

 

"Karena yang non renewable mau tidak mau akan habis. Supaya kita tidak kehilangan sumber, maka harus diinvestasikan," jelasnya.

 

Dalam visi-misinya, Prabowo-Gibran menyebutkan bahwa akan melanjutkan hilirisasi dan mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Program pertama dalam visi-misi ini ialah mengembangkan hilirisasi untuk pusat pertumbuhan ekonomi baru.

 

Pasangan Capres-Cawapres Nomor Urut 2 ini akan melakukan pendalaman hilirisasi dan industrialisasi dalam pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kemudian, membangun infrastruktur secara berkeadilan, dengan mengutamakan akses terhadap kawasan industri, lahan produksi pertanian, perikanan, dan perkebunan, dengan mengutamakan penyerapan tenaga kerja lokal.

 

Selanjutnya, pembangunan kembali industri rakyat, dasar, dan strategis nasional yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri. Meningkatkan nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk industri-industri komoditas yang mendorong hilirisasi.

 

Kemudian, melanjutkan program industrialisasi dan hilirisasi di berbagai sektor melalui pembangunan pabrik, smelter, dan lainnya. Mengembangkan program-program pembiayaan inovatif (innovative financing) untuk menarik investasi ke dalam negeri sebagai bagian dari program industrialisasi dan hilirisasi.

 

Program kedua yakni melanjutkan infrastruktur penunjang hilirisasi dan industrialisasi. Dalam program ini disebutkan bahwa Prabowo-Gibran akan mengembangkan infrastruktur dan jaringan jalan pada koridor utama dan koridor penghubung serta mendukung akses ke kawasan ekonomi dan simpul transportasi. Kemudian, mengembangkan konektivitas kereta api pada koridor logistik untuk angkutan barang.

 

Selanjutnya, mendorong standarisasi infrastruktur dan fasilitas di seluruh pelabuhan dan bandara yang menjadi simpul utama. Membangun pelabuhan gerbang ekspor-impor serta pusat alih muatan (transhipment hub) internasional, terutama pada pelabuhan-pelabuhan dengan pangsa angkutan ekspor-impor yang signifikan.

 

Editor:  Ryan Puspa Bangsa

 

https://www.gatra.com/news-590751-ekonomi-begini-strategi-hilirisasi-industri-dari-prabowo-gibran.html

  • Hits: 139

Page 39 of 77

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id