Dradjad Wibowo: Kebijakan Pembangunan Berbasis Utang Tidak Bisa Diteruskan

Kompas.com - 18/09/2024, 07:30 WIB

Novianti Setuningsih

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo mengatakan, kebijakan pembangunan berbasis yang tidak bisa diteruskan oleh pemerintahan ke depan.

Pasalnya, dia mengatakan, negara sudah pernah mengalami bagaimana harus mengambil alih utang perusahaan-perusahaan yang tidak mampu membayar utangnya. Tetapi, akhirnya negara yang dirugikan.

Dia menyebut, nilai aset perusahaan-perusahaan yang diambil alih negara tersebut nilainya sangat kecil. Sedangkan negara harus membayar utangnya.

Dradjad lantas menyinggung mengenai kebijakan obligasi rekap yang pernah ditempuh sebagai solusi atas permasalah ekonomi awal tahun 2000-an.

“Kita lakukan itu karena kalau itu tidak dilakukan sampai 33 tahun ke depan Indonesia akan terus membayar dan sekarang terbukti, bagian dari apa yang kita bayar tadi (utang) itu adalah untuk bayar obligasi rekap,” kata Drajad dalam program Gaspol Kompas.com yang tayang di YouTube Kompas.com pada 16 September 2024.

"Yang menikmati obligasi rekap siapa? Ya sudah pestapora, sudah jadi kaya lagi, negara yang nanggung,” ujarnya melanjutkan.

Oleh karena itu, Dradjad tidak ingin pemerintah kembali mengambil kebijakan yang salah, yakni berhutang meskipun kasusnya berbeda dari yang dahulu.

“Sekarang, kalau kita mengulangi kesalahan yang sama, ya walaupun kasusnya bukan lagi negara ambil alih utang, negara bikin utang bangun infrastruktur segala macam, nanti 30 tahun lagi anak kita. Cucu saya waktunya bangun rumah tangga kebebani lagi, enggak tahu mungkin jangan-jangan PPN sudah naik 13, 14, 15 persen,” katanya.

Namun, Dradjad mengaku, tidak ingin mengatakan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah saat ini salah. Sebab, Partai Amanat Nasional (PAN) adalah bagian dari pemerintahan. Dia hanya ingin mengingatkan bahwa kebijakan berbasis utang sebaiknya tidak dilakukan.

“Kita harus merefleksikan dirilah, melihat gitu loh kebijakan pembangunan yang berbasis utang enggak bisa diterusin,” ujar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Menurut dia, negara atau pemerintah sebaiknya mencari sumber-sumber penerimaan baru di luar pajak sehingga tidak membebani rakyat.

“Makanya, saya selalu menyuarakan negara harus cari penerimaan lebih banyak. Ada sumber-sumber penerimaan yang sekarang enggak bisa diambil oleh negara, itu yang diambil,” katanya.

Untuk bayar utang

Sebelumnya, Dradjad membahas soal penerimaan pajak yang dianggapnya belum maksimal selama ini. Sebab, yang benar-benar berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya sekitar 7-9 persen dari yang seharusnya 10 persen.

Padahal. dia menyebut, satu persen dari penerimaan pajak itu jumlahnya sangat tinggi karena Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini sekitar Rp 21.000 triliun.

“Jadi, kalau satu persen itu artinya Rp 210 triliun. Jadi, kalau selisih satu persen itu kita kehilangan Rp 210 triliun. Itukan besar banget. Sudah (buat) makan siang (makan bergizi gratis), sudah berapa itu kan,” ujarnya.

Kemudian, Dradjad berbicara mengenai penerimaan pajak yang dipakai untuk membayar utang negara. Dari penelusuran dan perhitungannya, negara membayar pokok dan bunga utang sekitar 50 persen dari pajak yang dikumpulkan DJP.

“Itu separuh lebih (penerimaan pajak) habis buat bayar utang pokok dan bunganya. Kalau kita pakai rasio ke penerimaan negara, itu sekitar sepertiga. Jadi, (misalnya) Anda punya penghasilan katakanlah Rp 100 juta, terus Rp 33 juta habis untuk bayar utang. Itukan besar sekali, porsi yang besar dari penghasilan negara ya,” katanya.

Dia pun mengatakan bahwa utang tersebut merupakan utang lama yang masih harus dicicil atau dibayar hingga saat ini.

“Nah, ketika harus bayar lalu negara uangnya kurang, apa? Ya narikin dari rakyat. Negara ujungnya apa? Ngatong ke rakyatnya. Makanya, kemudian ada PPN dinaikan, ada ini dinaikkan, harus ngumpulin uang untuk tambahan untuk BPJS, dana pensiun, tambahan untuk ini, untuk itu,” ujarnya.

Padahal, menurut Dradjad, jika sepertiga hasil penerimaan pajak tidak dipakai untuk membayar utang maka bisa dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program. Termasuk, makan bergizi gratis. Tanpa harus menaikkan pajak rakyat.

“Kalau uang itu enggak kita pakai yang sepertiga tadi, enggak kita pakai untuk bayar utang atau yang kita pakai untuk bayar utang cuma 10 persen, itu kan banyak yang bisa dipakai untuk makan siang bergizi,” katanya.

https://nasional.kompas.com/read/2024/09/18/07303161/dradjad-wibowo-kebijakan-pembangunan-berbasis-utang-tidak-bisa-diteruskan

  • Hits: 22

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id