Nasib APBN Saat Kenaikan PPN ”Dibatalkan” dan Stimulus Tetap Digelontorkan

Kebijakan ekonomi di awal tahun membutuhkan ”biaya” triliunan rupiah. Meski langkah itu bisa memperkuat basis konsumsi, perlu strategi lain untuk menutup penerimaan.

Penulis: Agnes Theodora

Editor: Muhammad Fajar Marta

08 Jan 2025 07:00 WIB

Keputusan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai secara terbatas untuk barang mewah diperkirakan tidak membawa tambahan pemasukan yang signifikan bagi negara. Terlebih, selain ”membatalkan” kenaikan PPN secara umum, pemerintah juga masih mengeluarkan anggaran lebih untuk memberi bantalan insentif ekonomi bagi dunia usaha dan masyarakat.

Di satu sisi, kebijakan populis di awal masa pemerintahan Prabowo Subianto itu memberi kelegaan bagi masyarakat menengah-bawah yang sedang mengalami pelemahan daya beli. Namun, di saat penerimaan pajak seret dan kebutuhan belanja membesar, langkah populis itu bisa merugikan keuangan negara jika pemerintah tidak segera menyiapkan strategi lain untuk meningkatkan pemasukan.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memperkirakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara terbatas untuk barang mewah hanya akan menambah penerimaan pajak sebesar Rp 1,5 triliun-Rp 3,5 triliun. Potensi pemasukan itu jauh di bawah Rp 75 triliun yang bisa didapat jika pemerintah tetap menaikkan tarif PPN secara umum untuk seluruh barang dan jasa obyek PPN.

Tak hanya itu, meski telah ”membatalkan” kenaikan PPN secara umum, pemerintah tetap mengeluarkan paket stimulus ekonomi yang awalnya disiapkan sebagai bantalan ekonomi bagi masyarakat dan dunia usaha jika PPN tetap dinaikkan secara umum. Total ada 12 insentif yang disediakan, dari diskon tarif listrik, bantuan pangan, sampai perpanjangan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Estimasi anggaran yang mesti dikeluarkan pemerintah untuk stimulus ekonomi itu adalah Rp 30 triliun-Rp 40 triliun. Jumlahnya bahkan lebih besar dari potensi penerimaan yang didapat negara dengan menaikkan tarif PPN secara terbatas untuk barang mewah.

Artinya, dalam hitungan sederhana, ada potensi penerimaan yang ”direlakan” sebesar Rp 103,5 triliun-Rp 111,5 triliun sebagai konsekuensi kebijakan ekonomi populis yang diambil pemerintah pada awal tahun. Di luar itu, pemerintah juga tetap menanggung belanja perpajakan alias membiayai insentif pajak lainnya dengan estimasi nilai Rp 295 triliun-Rp 305,6 triliun pada tahun 2025.

Memperkokoh basis konsumsi

Ekonom Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal Hastiadi, menilai, kebijakan ekonomi populis yang diambil pemerintah saat ini dapat memulihkan daya beli kelas menengah-bawah yang sudah terpuruk selama beberapa tahun terakhir pascapandemi.

Dampaknya, basis konsumsi masyarakat akan jauh lebih kuat dalam 2-3 tahun mendatang, yang pada akhirnya bakal mengerek penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi.

”Memang, sekilas, kebijakan saat ini seperti menjadi beban tambahan buat APBN. Namun, untuk jangka panjang, ini sebenarnya bisa meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi kita. Saat daya beli menguat, konsumsi meningkat, potensi penerimaan pajak lewat PPN bisa lebih tinggi,” kata Fithra saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/1/2025).

Ia tak memungkiri penerimaan pajak pada tahun 2025 berpotensi tetap mengalami shortfall alias gagal memenuhi target. Defisit fiskal juga kemungkinan bisa melebar dari target 2,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dipasang pemerintah.

Namun, potensi shortfall itu justru bisa lebih tinggi jika pemerintah berkukuh menaikkan tarif pajak untuk semua barang dan jasa obyek PPN. Masyarakat bakal mengerem konsumsi sehingga peredaran transaksi barang/jasa yang bisa dipajaki semakin berkurang. Daya beli juga akan terus melemah dan semakin menggerus populasi kelas menengah yang semestinya menjadi motor ekonomi.

”Meski ada potensi pelebaran defisit, untuk jangka panjang potensi revenue bisa jadi meningkat karena basis konsumsi kita lebih kokoh dan pertumbuhan ekonomi juga akan naik,” ujar Fithra.

Untuk menjaga stabilitas APBN tahun ini, ia menilai pemerintah bisa memanfaatkan sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) dari tahun 2024 sebesar Rp 45,4 triliun. Jika ditotal dengan silpa tahun-tahun sebelumnya, Fithra memperkirakan akan ada saldo anggaran lebih (SAL) sekitar Rp 350 triliun.

Kas cadangan (cash buffer) itu bisa digunakan untuk menambal penerimaan pajak yang turun tanpa perlu menambah penerbitan surat utang. ”Memang, SAL itu kurang baik karena menunjukkan perencanaan fiskal yang tidak tercapai. Namun, di sisi lain, itu tandanya APBN kita masih punya tabungan, masih ada buffer untuk menutup kekurangan penerimaan,” katanya.

Perlu strategi lain

Meski demikian, secara jangka pendek, pemerintah tetap perlu mencari strategi lain untuk menambal penerimaan. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai, kenaikan PPN yang hanya berlaku untuk barang mewah tidak akan membawa dampak berarti bagi penerimaan negara.

Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih kreatif dan inovatif dalam menyusun strategi penerimaan pada tahun 2025 dan 2026 mengingat situasi fiskal saat ini sangat berat. ”Penerimaan stagnan, sementara ada banyak program baru yang akan dilaksanakan. Di sisi lain, mengandalkan utang juga bukan langkah tepat karena tingkat utang kita sudah tinggi,” katanya.

Kondisi terakhir kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang kurang prima. Data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak sepanjang tahun 2024 hanya terkumpul Rp 1.932,4 triliun atau 97,2 persen dari target APBN 2024 yang sebesar Rp 1.988,9 triliun. Penerimaan pajak kembali mengalami shortfall alias tidak mencapai target setelah empat tahun terakhir berhasil mencapai target.

Defisit anggaran sepanjang tahun lalu memang berhasil ditekan dari perkiraan 2,7 persen terhadap PDB menjadi 2,29 persen terhadap PDB, alias sesuai target awal yang dipasang dalam APBN 2024. Namun, defisit yang rendah itu lebih banyak ditopang oleh kondisi ekonomi global yang membaik pada triwulan IV serta efisiensi belanja pemerintah yang diperintahkan Prabowo pada akhir tahun.

Menurut Wijayanto, langkah yang bisa ditempuh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan adalah mengoptimalkan sistem coretax untuk memperluas basis pajak, meningkatkan governance perpajakan, dan mempermudah pembayaran pajak yang saat ini masih relatif rumit.

Pemerintah juga perlu memberantas kebocoran pajak dan menghilangkan praktik ekonomi bawah tanah (underground economy) yang ilegal. ”Perlu kolaborasi dari berbagai pihak, bukan saja Kemenkeu, tetapi dukungan penuh dari kementerian teknis yang relevan dan aparat penegak hukum,” ujarnya.

Akan tetapi, Wijayanto mengingatkan pemerintah agar tidak ”berburu di kebun binatang” demi mengejar setoran pajak. ”Jika itu dilaksanakan, dunia usaha akan semakin kesulitan dan fenomena gulung tikar serta pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terus terjadi, bahkan membesar,” kata Wijayanto.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mengatakan mutlak harus ada terobosan sumber pendapatan negara dan pembiayaan. Menurutnya, terobosan jangan hanya berkutat di tarif pajak. Tapi, harus lintas-sektoral, minimal melibatkan moneter termasuk perbankan dan jasa keuangan, PNBP, teknologi, dan intelijen.

”Contohnya, kasus-kasus pajak yang sudah inkracht dan kebocoran cukai berdasarkan pengalaman saya di BIN. Selain itu, terobosan pembiayaan infrastruktur dan pangan melalui perubahan peraturan tertentu. Selain itu, ada beberapa jenis usaha teknologi informasi yang belum difasilitasi di Indonesia, padahal pemerintah bisa menarik PNBP yang cukup besar,” kata Dradjad.

Tanpa terobosan lintas-sektoral, kata Dradjad, kapasitas fiskal Indonesia akan stagnan, bahkan berisiko menurun.

https://www.kompas.id/artikel/nasib-apbn-saat-kenaikan-ppn-dibatalkan-dan-stimulus-tetap-digelontorkan?open_from=Ekonomi_Page

  • Hits: 27

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id