Selama Ini Kurang Ampuh, untuk Apa Ada Tax Amnesty Lagi?
Idealnya, jika program pengampunan pajak yang sudah-sudah berjalan efektif, rasio pajak RI bisa mencapai 16 persen.
Oleh: AGNES THEODORA
21 November 2024 07:01 WIB
Efektivitas rencana program pengampunan pajak (tax amnesty) di era pemerintahan Prabowo Subianto diragukan. Selama diterapkan di era Jokowi, program itu terbukti kurang efektif mengerek rasio pajak yang masih saja stagnan di kisaran 10 persen. Tax amnesty yang terlalu sering juga bakal menggerus kredibilitas otoritas pajak dan semakin mengancam rasio pajak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, saat pemerintahan Joko Widodo menggulirkan program pengampunan pajak jilid I pada tahun 2016-2017, rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap produk domestik bruto (PDB) justru turun dari 10,76 persen pada tahun 2015 menjadi 10,37 persen pada 2016, dan semakin merosot ke 9,89 persen pada 2017.
Pada tahun-tahun setelah tax amnesty jilid I, rasio pajak juga relatif stagnan. Pada 2018, rasio pajak sedikit meningkat menjadi 10,24 persen, lalu anjlok kembali ke 9,76 persen pada 2019. Pada 2020 dan 2021, karena dampak pandemi Covid-19, rasio pajak RI merosot lagi menjadi 8,33 persen dan 9,21 persen.
Setelah program tax amnesty jilid II alias Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada paruh pertama tahun 2022, rasio pajak naik menjadi 10,39 persen (dengan PPS) atau 10,08 persen (tanpa PPS). Saat itu, rasio pajak cukup tertolong oleh lonjakan harga komoditas (commodity boom) yang mampu mengerek penerimaan pajak secara signifikan.
Pada 2023, rasio pajak kembali turun lagi menjadi 10,2 persen. Artinya, sejak digulirkan di era Jokowi, program pengampunan pajak dan sejenisnya tidak efektif mengerek rasio pajak Indonesia. Rasio pajak masih saja bertengger di kisaran 10 persen.
Semestinya, jika program pengampunan pajak efektif, rasio pajak bisa dinaikkan lebih signifikan. Sebab, melalui program tersebut, pemerintah sebenarnya bisa melakukan profiling terhadap wajib pajak besar dengan mengantongi data mengenai aset dan harta mereka yang selama ini tidak tercatat dan tidak disetorkan ke negara dalam bentuk pajak.
”Jadi, idealnya rasio pajak kita setelah program pengampunan pajak itu seharusnya bisa naik ke 16 persen. Sekurang-kurangnya bisa tumbuh perlahan dan menyentuh 14 persen dalam tiga tahun sejak tax amnesty pertama di tahun 2016,” kata ekonom Bright Institute Awalil Rizky saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Ia mengatakan, saat program pengampunan pajak jilid I, tujuan utama pemerintah adalah membangun kapasitas penerimaan pajak jangka menengah dan panjang. Padatax amnesty pertama di era Jokowi itu, momentumnya masih tepat.
”Waktu itu pemerintahan baru dan sudah lama juga tax amnesty tidak dilakukan (sebelumnya di tahun 2008). Program tax amnesty jilid I ini cukup banyak hasilnya dari banyaknya peserta dan denda yang diterima meskipun dari sisi penggalian potensi jelas tidak berhasil, yang terlihat dari tax ratio yang masih kecil,” katanya.
Sementara itu, pada program jilid II alias PPS, menurut Awalil, pemerintah hanya sekadar mengejar perolehan pembayaran denda untuk ”jalan pintas” mengerek penerimaan negara tanpa melakukan perbaikan kapasitas penerimaan pajak dari hasil profiling wajib pajak. Hasilnya pun tidak terlampau besar.
Berkaca pada pengalaman program tax amnesty yang sudah-sudah, ia menilai, pengampunan pajak yang akan mulai disiapkan pada tahun 2025 tidak akan efektif mengerek penerimaan negara. Sebab, lagi-lagi, pemerintah terkesan hanya akan memburu dana instan bagi APBN lewat mengumpulkan dana denda.
”Dilihat jaraknya yang baru tiga tahun dari tax amnesty terakhir di 2022, nuansa ketidakadilan itu semakin kuat. Selain terkesan hanya untuk mencari dana instan bagi APBN, bisa saja diduga untuk memberi jalan kepada pihak tertentu agar bisa menyiasati jumlah pajak yang seharusnya mereka bayar,” kata Awalil.
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo mengatakan, agar lebih efektif, tax amnesty ke depan perlu pembenahan pada tiga hal, yakni pendekatan yang lebih persuasif, desain kebijakan yang lebih tepat, dan tarif yang wajar dan adil.
”Pendekatan yang lebih persuasif diperlukan karena masih banyak wajib pajak yang tidak ikut serta pada tax amnesty-tax amnesty sebelumnya. Desain kebijakan juga perlu diperbaiki mengingat aset yang dimiliki wajib pajak berbeda-beda. Selain itu tarif atau rate juga harus wajar dan adil. Jika tarif dianggap terlalu tinggi atau tidak menguntungkan, wajib pajak cenderung enggan berpartisipasi,” kata Dradjad yang juga ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI)
Dradjad juga menyoroti pentingnya menciptakan sistem perpajakan yang membuat masyarakat merasa nyaman untuk terbuka. Kebijakan yang memberatkan atau terlalu rumit hanya akan mendorong wajib pajak untuk ”bersembunyi”. Dengan sistem yang lebih sederhana dan memberikan rasa aman, basis pajak bisa ditingkatkan secara signifikan sehingga tax ratio, yang selama ini menjadi tantangan, dapat diperbaiki.
Pemerintah hilang wibawa
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf mengatakan, program pengampunan pajak yang terlalu sering pada akhirnya akan membawa risiko moral (moral hazard). Wibawa dan kredibilitas pemerintah sebagai otoritas pajak pun akan tergerus.
”Ini berbahaya. Pemerintah jadi tidak kredibel kalautax amnesty keseringan. Malah hilang wibawa. Orang akan berpikir, ya, sudah, nanti akan ada tax amnesty lagi, saya ngemplang pajak lagi tidak apa-apa,” kata Arief.
Menurut dia, kalaupun pemerintah terpaksa tetap menggulirkan program pengampunan pajak, perlu ada jaminan bahwa ini akan menjadi tax amnesty terakhir. Selain itu, perlu ada jaminan bahwa kali ini penegakan kepatuhan pajak dan perbaikan kapasitas basis pajak benar-benar dilakukan.
”Jangan sampai malah program ini memukul efisiensi dan efektivitas dari pengampunan pajak. Kredibilitas otoritas pajak harus benar-benar dijaga, harus dipastikan bahwa pengampunan yang diberikan ini untuk jangka panjang bisa membuat sistem pajak kita lebih baik,” kata Arief.
Saat ini RUU Pengampunan Pajak sudah resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. RUU tersebut diajukan oleh Komisi XI DPR dan turut disepakati oleh pemerintah dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR. Menurut rencana, RUU Pengampunan Pajak akan mulai dibahas tahun depan.
Wakil Ketua Komisi XI M Haekal mengatakan, usulan itu diajukan Komisi XI untuk membantu pemerintah mencari sumber dana baru untuk menjalankan berbagai program dan agenda politik di Astacita Presiden Prabowo. ”Ini cuma menyediakan salah satu opsi yang bisa dipilih untuk mencari pembiayaan bagi program-program Pak Prabowo,” katanya.
Ia juga mengatakan, meski sudah masuk dalam daftar Prolegnas 2025, RUU tersebut belum tentu akan digulirkan. ”Ini salah satu opsi. Belum tentu dilaksanakan, belum ada kesepakatan (jadi dibahas atau tidak). Pasti akan ada kajian dulu apakah ini bisa dijadikan salah satu tools untuk mencari dana itu,” ujar Haekal.
- Hits: 80