Perlu Terobosan Khusus untuk Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa dicapai kendati peluangnya kecil, yakni hanya 8 persen.
Oleh: ADITYA PUTRA PERDANA
7 September 2024 21:36 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, seperti yang sempat dilontarkan presiden terpilih Prabowo Subianto, dinilai sebagai sesuatu yang dapat dicapai. Namun, ada syarat menantang yang harus dipenuhi, yakni bagaimana memadukan peningkatan produktivitas tenaga kerja, stimulus Keynesian, dan optimalisasi perubahan struktural melalui industrialisasi.
Demikian disampaikan Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo saat menjadi pembicara dalam acara studium generale bertajuk ”Strategi Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Indonesia ke Depan” di Sekolah Pascasarjana Universitas Pancasila, Jakarta, Sabtu (7/9/2024).
Menurut Dradjad, sebagai akademisi, ia memahami berbagai kritik yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi 8 persen sangat berat dicapai. Di antaranya karena indikator incremental capital to output ratio (ICOR) Indonesia yang tinggi dan banyaknya kelas menengah yang turun kelas. Juga adanya wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berisiko menurunkan daya beli masyarakat.
Selain itu, data historis pun menunjukkan, selama 63 tahun (1961-2023), hanya lima kali ekonomi Indonesia tumbuh 8 persen atau lebih. Jika merujuk pada data tersebut, probabilitas ekonomi Indonesia untuk bisa tumbuh 8 persen per tahun hanyalah sekitar 8 persen.
Namun, berdasarkan model perhitungan yang dibuatnya untuk bahan kampanye saat menjadi anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Gibran, Dradjad meyakini, meskipun berat, pertumbuhan ekonomi 8 persen tetap bisa dicapai.
Ia mengatakan ada tiga hal yang sejatinya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen. ”Yaitu peningkatan produktivitas tenaga kerja, adanya potensi pertumbuhan dari stimulus Keynesian (kebijakan stimulus dan belanja pemerintah untuk menjaga daya beli dan menggerakkan permintaan), serta potensi pertumbuhan dari industrialisasi,” katanya.
Berdasarkan simulasi yang dibuatnya, pertumbuhan ekonomi 8 persen bukanlah angka rata-rata dalam 5 tahun ke depan atau selama periode pemerintahan baru 2024-2029. ”Pertumbuhan ekonomi 8 persen akan tercapai pada 2028-2029 saat belanja negara termasuk untuk stimulus bersifat optimal. Kunci untuk mendorong belanjanya adalah dengan meningkatkan penerimaan negara secara signifikan,” kata Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional.
Karena itu, kata Dradjad, ”kutukan 10 persen” rasio pajak Indonesia harus didobrak. ”Penerimaan negara dari pajak menjadi pendorongnya. Artinya, untuk mendapatkan itu, tax ratio tidak bisa lagi stuck di angka 10 persen,” ujarnya.
Dradjad menambahkan, untuk mendorong penerimaan tersebut, rasio pajak pada tahun 2025 ditargetkan naik menjadi 12,23 persen. Hal itu hanya bisa dicapai dengan melakukan transformasi kelembagaan, sumber daya manusia, budaya dan teknologi lembaga terkait. Selain itu, mengejar sumber pendapatan negara ad hoc seperti kasus pajak yang inkracht dan kenaikan penerimaan dari digitalisasi sistem pendapatan negara.
”Untuk merealisasikan semua itu, berdasarkan pengalaman saya saat menjadi Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan Badan Intelijen Negara, pemerintah perlu melakukan terobosan khusus,” kata Dradjad yang karena terikat kode etik enggan menjelaskan seperti apa terobosan khusus tersebut.
Utang
Dradjad juga berharap utang tak selalu menjadi jalan keluar di era pemerintahan ke depan. Menurut dia, uang untuk membayar bunga utang sejatinya bisa untuk berbagai hal yang lebih berdampak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sampai akhir Juli 2024, total utang(outstanding) pemerintah mencapai Rp 8.502,69 triliun. Berdasarkan proyeksi APBN 2024, posisi utang pemerintah per akhir tahun ini diperkirakan Rp 8.700 triliun. (Kompas.id, 22/8/2024).
”Saya berharap pemerintahan Prabowo-Gibran atau Menteri Keuangan ke depan disiplin. Tidak lagi menjadikan utang sebagai andalan bagi sumber pertumbuhan. Jangan hanya melihat bahwa nanti bisa dibayarkan. Uang yang dipakai untuk bayar bunga utang tersebut efeknya akan lebih besar jika digunakan untuk hal lainnya bagi masyarakat,” kata Dradjad.
Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Pancasila Agustinus Miranda menuturkan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi hal penting dalam pembangunan Indonesia ke depan. Artinya, diperlukan investasi untuk peningkatan pendidikan dan kesehatan.
Di samping itu, hilirisasi dan industrialisasi pun perlu dilakukan dengan konsisten. ”Perlu ada berbagai regulasi atau kebijakan yang pro pada dunia usaha. Baik untuk pendirian pengembangan usaha, akses terhadap modal, dan insentif-insentif lainnya,” katanya.
Editor: MUHAMMAD FAJAR MARTA
- Hits: 58