Kelestarian Air Harus Dijaga di Bali, Ini Paparan Ekonom Senior Drajad Wibowo
Tayang: Kamis, 5 September 2024 10:12 WITA | Diperbarui: Kamis, 5 September 2024 11:17 WITA
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hiliriasi menjadi hal penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.
Jika hilirisasi tidak dilakukan, potensi kehilangan pendapat negara termasuk dari masyarakat akan sangat besar.
Hal ini diungkapkan oleh ekonom senior Insttitute for Development of Economic and Finance (INDEF) Dradjad Wibowo, saat kuliah umum di Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali, pada Rabu 9 September 2024.
“Saya sudah tunjukkan hilirisasi kayu lapis itu hasilnya sangat besar sekali tapi karena kita tidak menjaga kelestarian akhirnya ambles industrinya. Saya juga sudah tunjukkan migas kita tidak melakukan hilirisasi, kita kehilangan potensi ekonomi besar sekali. Bukan hanya dulu tapi sekarang. Efeknya kan industri tekstil kita ikut jadi korban karena kita tidak punya industri PET (Polyethylene Terephthalate),” ujar Drajad.
Indonesia, lanjutnya lagi harus impor dari Singapura karena tidak ada pengilangan minyak yang bagus.
Hal ini menyebabkan kerugian negara yang cukup panjang.
Pada sektor pertanian, Dradjad menambahkan tentu saja menjadi hal penting untuk dilakukannya hilirisasi atau proses pengolahan bahan baku mentah menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
“Pertanian itu berasal dari sumber daya yang terbarukan, kita tidak bisa mengulangi kesalahan yang terjadi pada industri kayu lapis. Kita harus belajar dari industri bubur kertas, memenuhi syarat kelestarian tapi bukan syarat kelestarian Indonesia saja, termasuk syarat kelestarian yang ada di dunia,” lanjut Ketua sekaligus Pendiri Indonesia Forestry Certification Cooperatiaon (IFCC) ini.
Hilirisasi pada sektor pertanian harus memenuhi tiga syarat kelestarian.
Antara lain lestari produksi, lestari sosial serta lestari ekologi lingkungan.
Lestari produksi kata Dradjad dilihat dari sisi ekonominya sementara lestari sosial harus melibatkan masyarakat adat dan tak ada diskriminasi gender.
Kemudian lestari ekologi, jangan sampai terjadi dampak kerusakan lingkungan, tidak merusak hutan serta alam termasuk di Bali yang tidak harus bergantung pada turis saja.
“Bali itu sumbernya ikan, jeruk, kopi, kayu juga ukir-ukiran. Intinya, jangan melihat kelestarian sebagai biaya karena sudah terbukti kelestarian itu adalah sumber pertumbuhan. Bali sangat krusial karena Bali tergantung dengan turis. Turis perlu air, kalau Bali tidak menjaga kelestarian air lama-lama orang jadi tidak mau ke Bali karena kurang air,” ujarnya.
“Belum lagi air untuk kebutuhan penduduk. Kelestarian air harus dijaga di Bali. Turis sebagian datang ke Bali karena alam, karena mereka suka sawah yang cantik, lihat pantainya yang bagus dan lain sebagainya. Kalau itu tidak dijaga turis akan kabur. Kelestarian menjadi sumber bagi pertumbuhan,” sambung Dradjad.
Ia menambahkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Bali perlu bekerja sama dengan Pemerintah Pusat untuk memastikan daya dukung, air di Bali itu seberapa besar dibanding dengan populasinya.
Setelah ketahuan ketika daya dukung tidak cukup, sekarang bagaimana langkah selanjutnya, dan mau tidak mau harus mencari sumber air baru.
“Negara yang tidak punya sumber air itu Singapura, dia impor air, tapi masa Bali harus impor air kan tidak lucu kalau Bali impor air. Jadi Bali harus cari sumber-sumber air baru yang ada,” ucapnya.
Drajad menyampaikan langkah yang dapat diambil Pemda Bali adalah segera perbanyak waduk dan embung yang ada untuk menyimpan air.
Jadi saya rasa pembangunan waduk ataupun embung itu sudah sangat mutlak untuk Bali.
“Jadi Pemerintah Bali saya sarankan jangan semua tanah di jual untuk properti kalau semua tanah dijual untuk properti makin ngabisin air kan. Sebagian tanah itu tolong diatur supaya tidak boleh dijual untuk properti, lalu dibuat lebih banyak embung-embung ataupun waduk supaya Bali punya reservoar air. Itu fenomena (kian banyaknya pembangunan properti di Bali) yang tidak bisa diteruskan, dan berbahaya bagi kelanjutan Bali ke depan,” paparnya.
Solusi lain yang disaran Drajad yakni desalinasi air laut, namun untuk langkah tersebut biayanya lebih besar jika dibandingkan membangun waduk dan embung.
“Karena desalinasi kan agak mahal jadi yang bisa pertama dilakukan investasi di embung dan waduk,” ucapnya.
Selain itu menurut Drajad, Pemerintah Bali perlu membuat semacam pilot projects untuk reserkulasi air modelnya seperti membuat sumur resapan atau bisa juga membuat penampungan air di bagian paling bawah supaya air tidak terbuang langsung ke laut.
Lalu di sana dilakukan pengolahan dengan berbagai macam teknologi hingga akhirnya air tersebut dapat digunakan kembali oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-harinya (tidak untuk air minum) seperti mandi dan lain sebagainya.(*)
- Hits: 80