Dradjad Wibowo: Pak Prabowo Tak Pernah Katakan Akan Menaikkan Utang Luar Negeri
Kompas.com - 18/09/2024, 11:14 WIB
Novianti Setuningsih
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo mengatakan, Presiden RI terpilih Prabowo Subianto tidak pernah mengatakan bakal menaikkan utang luar negeri mencapai 50 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
"Pak Prabowo tidak pernah mengatakan kita akan menaikkan itu (utang luar negeri). Jadi, bukan mengatakan bahwa di bawah kepemimpinan beliau, beliau akan menaikkan 50 persen, enggak, enggak pernah,” kata Drajad dalam program Gaspol Kompas.com yang tayang di YouTube Kompas.com pada 16 September 2024.
Bahkan, Dradjad menegaskan bahwa Prabowo tidak pernah mengatakan bakal meningkatkan utang luar negeri dalam debat calon presiden (capres)
Diketahui, dalam debat capres pada 7 Januari 2024, Prabowo sempat mengatakan bahwa Indonesia tidak akan default jika memiliki utang luar negeri mencapai 50 persen.
"Yang penting utang itu produktif, itu saya setuju. Tapi kita bisa (utang luar negeri) sampai 50 persen, enggak ada masalah. Kita tidak pernah default. Kita dihormati di dunia," kata Prabowo saat itu.
Lebih lanjut, Dradjad menjelaskan perihal anggapan yang mengatakan rasio utang luar negeri mencapai 60 persen dari PDB masih tergolong aman.
Menurut dia, anggapan itu berasal dari dunia internasional yang semustinya tidak bisa disamaratakan pada semua negara.
“Pandangan bahwa utang itu masih aman sampai 60 persen dari PDB itu secara internasional memang begitu. Amerika lebih besar malah utangnya. Jepang malah 100 persen lebih, saya lupa 120 persen kalau enggak salah ya,” ujarnya.
Namun, dia mengungkapkan, Amerika memiliki tax ratio atau rasio penerimaan pajak dari PDB yang tinggi. Oleh karena itu, anggapan 60 persen itu tidak bisa berlaku di Indonesia yang penerimaan pajaknya masih belum maksimal dan setengah hasilnya untuk membayar utang.
Kemudian, Dradjad menyebut, nilai mata uang dollar hingga surat utang Amerika tidak bisa disamakan dengan produk yang dikeluarkan Indonesia.
“Amerika kalau nyetak uang, surat utang itu relatif gampang lakunya, semua orang beli. Jadi, ketika dia butuh duit untuk ngutang lagi gampang. Kita enggak seperti mereka karena rating kita jauh lebih rendah, sehingga kita harus lakukan macam-macam untuk supaya surat utang kita laku,” katanya.
Menurut Dradjad, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperbesar bunga dari penjualan surat utang.
Dengan pertimbangan tersebut, ekonom senior Indef ini mengaku, menjadi bagian dari yang tidak sepakat dengan kebijakan berbasis utang.
"Makanya saya bukan orang yang sepakat dengan (rasio utang) 60 persen (dari PDB) aman buat Indonesia karena situasinya berbeda. Yang kedua juga, saya melihat banyak sumber penerimaan yang harusnya bisa digali,” ujarnya.
Untuk bayar utang
Sebelumnya, Dradjad membahas soal penerimaan pajak yang dianggapnya belum maksimal selama ini. Sebab, yang benar-benar berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya sekitar 7-9 persen dari yang seharusnya 10 persen.
Padahal. dia menyebut, satu persen dari penerimaan pajak itu jumlahnya sangat tinggi karena Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini sekitar Rp 21.000 triliun. “Jadi, kalau satu persen itu artinya Rp 210 triliun.
Jadi, kalau selisih satu persen itu kita kehilangan Rp 210 triliun. Itukan besar banget. Sudah (buat) makan siang (makan bergizi gratis), sudah berapa itu kan,” ujarnya.
Kemudian, Dradjad berbicara mengenai penerimaan pajak yang dipakai untuk membayar utang negara. Dari penelusuran dan perhitungannya, negara membayar pokok dan bunga utang sekitar 50 persen dari pajak yang dikumpulkan DJP.
“Itu separuh lebih (penerimaan pajak) habis buat bayar utang pokok dan bunganya. Kalau kita pakai rasio ke penerimaan negara, itu sekitar sepertiga. Jadi, (misalnya) Anda punya penghasilan katakanlah Rp 100 juta, terus Rp 33 juta habis untuk bayar utang. Itukan besar sekali, porsi yang besar dari penghasilan negara ya,” katanya.
Dia pun mengatakan bahwa utang tersebut merupakan utang lama yang masih harus dicicil atau dibayar hingga saat ini.
“Nah, ketika harus bayar lalu negara uangnya kurang, apa? Ya narikin dari rakyat. Negara ujungnya apa? Ngatong ke rakyatnya. Makanya, kemudian ada PPN dinaikan, ada ini dinaikkan, harus ngumpulin uang untuk tambahan untuk BPJS, dana pensiun, tambahan untuk ini, untuk itu,” ujarnya.
Padahal, menurut Dradjad, jika sepertiga hasil penerimaan pajak tidak dipakai untuk membayar utang maka bisa dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program. Termasuk, makan bergizi gratis. Tanpa harus menaikkan pajak rakyat.
“Kalau uang itu enggak kita pakai yang sepertiga tadi, enggak kita pakai untuk bayar utang atau yang kita pakai untuk bayar utang cuma 10 persen, itu kan banyak yang bisa dipakai untuk makan siang bergizi,” katanya.
- Hits: 32