”Putar Otak” Dongkrak Pajak, Prabowo Sasar Ekonomi Bawah Tanah
Jika menjabat, Prabowo ingin memajaki aktivitas ekonomi ilegal atau bawah tanah untuk menambah penerimaan negara.
Oleh AGNES THEODORA
19 Februari 2024 17:56 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang sejauh ini unggul di berbagai hasil hitung cepat, sedang ”putar otak” mencari sumber penerimaan negara baru demi membiayai berbagai janji kampanye mereka. Salah satunya, Prabowo ingin memajaki aktivitas ekonomi ilegal atau ekonomi bawah tanah untuk menambah penerimaan.
Dalam visi-misi pasangan nomor urut 02 itu, rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) ditargetkan sampai 23 persen yang terdiri dari penerimaan pajak dan nonpajak. Angka tersebut jauh di atas tingkat rasio perpajakan (tax ratio) RI saat ini yang di kisaran 10 persen dan jauh di atas negara tetangga lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, Senin (19/2/2024), mengatakan, untuk mencapai target tersebut, pihaknya akan menempuh sejumlah terobosan. Salah satunya menyasar penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi ilegal atau ekonomi bayangan (shadow economy).
Ekonomi bayangan adalah ekonomi bawah tanah yang tidak terdeteksi oleh pemerintah sehingga mendistorsi kinerja pertumbuhan ekonomi atau PDB. Aktivitas ekonomi bayangan di Indonesia bernilai tinggi. Salah satunya, berasal dari aktivitas ekonomi ilegal yang berdampak buruk bagi masyarakat seperti judi dan prostitusi, serta produksi ilegal lain seperti rokok ilegal dan hasil tambang ilegal.
Tingkat informalitas ekonomi yang tinggi di Indonesia selama ini juga ikut berkontribusi pada pergerakan ekonomi bayangan yang tidak bisa dipajaki itu. Meski demikian, Drajad mengatakan, pekerja informal dan pekerja yang selama ini gajinya di bawah batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp 4,5 juta per bulan tidak akan ikut dipajaki.
Menurut dia, masih banyak kegiatan ekonomi ilegal yang selama ini merugikan masyarakat yang semestinya bisa direalisasikan sebagai penerimaan negara. Oleh karena itu, jika menjabat nanti, Prabowo-Gibran tidak akan menurunkan batas PTKP demi bisa memperluas basis pajak.
”Kami tidak akan pakai sistem yang eksesif, apalagi ekstortif. Jadi, pekerja di bawah PTKP dan sektor informal itu tidak akan diotak-atik. Yang akan dikejar adalah sektor-sektor ilegalnya,” ujar Drajad saat dihubungi.
Ia mengklaim timnya sudah menyusun strategi untuk memajaki lapisan ekonomi bawah tanah yang selama ini sulit dideteksi dan dipajaki itu. Namun, ia masih enggan mengungkap jenis aktivitas ekonomi apa saja yang akan duluan dipajaki dan bagaimana mekanismenya. ”Cara-cara untuk menembus sektor ilegal itu saya temukan berdasarkan pengalaman selama di Badan Intelijen Negara (BIN),” kata Drajad.
Wakil Ketua TKN Eddy Soeparno mengatakan, kenaikan rasio perpajakan diharapkan bisa menopang kebutuhan pembiayaan untuk sejumlah janji kampanye Prabowo-Gibran. Misalnya, program andalan berupa pemberian makan siang gratis untuk sejumlah kelompok, seperti anak sekolah, ibu hamil, dan anak balita, yang akan memakan anggaran hingga Rp 400 triliun.
Namun, Eddy mengatakan, upaya menaikkan rasio perpajakan itu tidak akan berdampak pada naiknya tarif pajak yang harus dibayar masyarakat. Sebaliknya, Prabowo-Gibran ingin menurunkan beberapa tarif pajak.
”Kita coba naikkan rasio perpajakan lewat ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Nanti setelah rasio pajak berhasil naik, otomatis bisa menurunkan tax rate, seperti Pajak Penghasilan (PPh) badan, PPh perorangan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga bisa kita turunkan lagi jadi 10 persen (saat ini 11 persen),” katanya.
Potensi besar
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, aktivitas shadow economy di Indonesia diperkirakan bisa mencapai 8,3-10 persen dari PDB nasional. Perkiraan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lebih tinggi lagi, yakni 30-40 persen dari total PDB nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, aktivitas shadow economy di Indonesia diperkirakan bisa mencapai 8,3-10 persen dari PDB nasional.
Artinya, dengan berpatok pada besaran PDB atas dasar harga berlaku terakhir pada tahun 2023 sebesar Rp 20.892,4 triliun, potensi aktivitas ekonomi bayangan di Indonesia bisa mencapai Rp 1.671,3 triliun sampai Rp 6.267,72 triliun.
Sebagai gambaran, saat ini, rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia memang terhitung masih rendah dibandingkan negara tetangga lainnya di kawasan Asia Tenggara. Pada 2023, rasio perpajakan RI adalah 10,21 persen, turun dari 2022 yang sebesar 10,39 persen.
Pada prinsipnya, semakin tinggi nilai rasio pajak, semakin mampu suatu negara membangun dengan sumber daya sendiri tanpa perlu bergantung pada utang. Bagi negara berkembang, rasio perpajakan yang ideal adalah 15 persen.
Sementara, selama sembilan tahun pemerintahan Joko Widodo, rasio perpajakan tidak pernah menyentuh level 11 persen meski ekonomi tumbuh stabil di kisaran 5 persen. Selama 2019-2021, rasio perpajakan bahkan sempat merosot ke satu digit atau terendah sepanjang sejarah.
Sulit dipajaki
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, ada banyak kajian yang berusaha memperkirakan besaran shadow economy, dari 8 persen sampai 20 persen terhadap PDB. Mayoritas studi memperkirakan besaran ekonomi bayangan bisa mencapai 8 persen dari total nilai perekonomian Indonesia.
”Kalau melihat besaran shadow economy di Indonesia, memang potensinya besar sekali untuk kita bisa meningkatkan penerimaan pajak. Tetapi, kalau melihat definisinya, apakah bisa sektor-sektor itu dipajaki? Bagaimana caranya?” kata Fajry.
Menurut dia, barang atau jasa ilegal seperti judi daring, misalnya, tidak mungkin dijadikan sumber penerimaan pajak baru. Sebab, sebelum dilegalkan, aktivitas-aktivitas tersebut tidak bisa dijadikan sumber penerimaan baru. Memajaki sektor informal berskala rumah tangga juga bukan pilihan populer secara politik karena tidak populis dan berpotensi memberatkan masyarakat menengah-bawah.
”Kemungkinan tinggal aktivitas produksi bawah tanah (underground) seperti hasil tambang ilegal, rokok ilegal, dan hasil hutan ilegal. Tetapi, potensi dua aktivitas tidak mudah didapat datanya. Lagi pula, ada masalah hukum juga, sulit sekali memajaki sektor underground ini karena biasanya punya backing aparat atau politisi,” ujarnya.
Editor: ARIS PRASETYO
- Hits: 694