Dradjad Hari Wibowo

(Dikutip sepenuhnya dari Koran Jakarta edisi  Minggu, 17 Mei 2009)

Anggota DPR yang kritis ini bicara tentang rekam jejak ekonomi Boediono yang tidak memihak rakyat, artis di legislatif dan kenapa masih bertahan di partai yang suaranya kecil seperti PAN. Peta persaingan kandidat pemilihan presiden 8 Juli sudah permanen. Putusan Susilo Bambang Yudhoyono untuk memilih tokoh non partai sebagai pendampingnya dianggap mengabaikan makna koalisi yang dibangun bersama partai lain.
Di luar itu, kencang ditiupkan profil Boediono, cawapres SBY, yang aras politiknya dianggap tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan. Suara kritis itu termasuk dari Dradjad Wibowo, fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN), salah satu mitra koalisi Partai Demokrat.

 

Tak banyak anggota DPR seperti Dradjad yang lancar berbicara soal perekonomian. Pandangan wakil ketua Komisi XI selalu tegas, tidak ada ruang untuk memanjakan kekuatan bisnis asing yang mengeruk keuntungan tapi mengabaikan kedilan bagi rakyat. “Tapi bukan tidak mungkin nanti masyarakat memaksa pemerintah untuk berubah. Seperti yang sering kali terjadi di DPR, desakan publik membuat DPR harus berubah,” kata Dradjad kepada Adhiyanto, Alfred Ginting, Teguh Nugroho dan Kristian Ginting, Dradjad.

Berikut petikan wawancaranya:

Koalisi PAN dengan Demokrat agak goyah ketika SBY memilih Boediono, bukan Hatta Rajasa, sebagai wakil presiden?

Jadi bukan karena cawapres yang diusung PAN yaitu Hatta Rajasa tidak dipilih lalu arah PAN untuk koalisi dengan Demokrat goyah. Posisi PAN sebenarnya, kalau diminta kami tawarkan Hatta, kalau tidak diminta ya tidak apa-apa. Karena kami menyadari perolehan suara kami kecil. Tapi memang kami merasa kesulitan ketika nama yang diajukan itu Boediono. Karena banyak faktor. Pertama, track record-nya sebagai ekonom selama ini cenderung mengikuti konsensus Washington, yang dikenal dengan neoliberal. Penjualan bank besar-besaran kepada pihak asing itu terjadi zaman Boediono menteri keuangan, melalui BPPN. Boediono adalah kunci dalam KKSK saat itu. Orang mengatakan ini kesalahan Bu mega dan sebagainya. Tapi saya justru melihat tim ekonomi Bu Mega-lah yang harus bertanggung jawab. Karena Bu mega kan tidak punya latar belakang ekonomi.

Kedua, bagaimana negara harus menanggung utang konglomerat yang luar biasa besarnya. Dengan banyak kasus BLBI, negara memperoleh pengembalian yang sangat sedikit. Hanya kelompok yang pro konsensus Washington saja yang mau melakukan hal seperti itu. Kalau bukan bagian dari itu, maka mereka bisa saja setuju bank di-bailout oleh negara kalau memang harus, tapi prosesnya harus ketat dan uang negara harus kembali. BLBI dan seluruh rangkaiannya memakan uang negara hampir 700 triliun sementara uang tunai yang sudah keluar untuk membayar utang pokok dan bunga saya rasa sudah mencapai 300 triliun lebih. Dan akan terus bertambah sampai tahun 2023.

Di zaman Boediono juga dikeluarkan SKL (surat keterangan lunas), yang sangat tidak adil. Ekonom pro rakyat akan menagih sampai tuntas. Penjualan Indosat juga terjadi pada zaman Boediono sebagai menkeu. Lalu, utang melalui SUN semakin lama semakin besar terjadi pada zaman dia. Saya menawarkan alternatif untuk menyelesaikan obligasi rekap dengan berbagai skema, agar obligasi rekap tidak terus-menerus membebani negara. Saat itu saya dikoordinasikan oleh Pak Kwik. Pak Kwik telah membawa tawaran itu kepada Bu mega namun ditolak mentah-mentah tim ekonomi yang digawangi oleh Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjorojakti) dan Boediono.

Jadi track record-nya sudah sangat panjang. Stabilisasi makro berapapun biayanya, liberalisasi perdagangan dan investasi, lalu privatisasi. Itu pilar-pilar neolib yang sangat berjaya pada saat Boediono menteri keuangan. Tapi, saat ini berkembang isu yang mengatakan Pak Boediono bukan neolib dengan bukti BLT. Jangan lupa ide itu datang dari Jusuf Kalla.

Tapi PAN tetap berkoalisi dengan Demokrat?

Secara resmi kami masih berkoalisi dengan Demokrat. Tetapi suara arus bawah di PAN yang sangat keberatan kalau PAN mendukung Pak Boediono kan tidak bisa diabaikan begitu saja. Koalisi dengan Demokrat oleh Pak Amien diletakkan melalui tiga perjuangan PAN. Pertama, ekonomi kerakyatan dengan kembali ke UUD 45 pasal 33 dan meninggalkan konsensus Washington. Kedua, penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Ketiga, pembangunan infrastruktur dengan tetap menjaga ekologi. Nah, kami mengkaji ulang apakah butir pertama itu masih bisa dijalankan apabila Boediono wapres.

Selama ini SBY juga menjalankan ekonomi neoliberal? Jadi tidak ada salahnya dia memilih Boediono. Tidak rancu bila PAN hanya keberatan pada nama cawapres?

Koalisi dengan Demokrat berasal dari pembicaraan yang sangat panjang antara Pak Amien dan Pak SBY. Dari situ Pak Amin menangkap sinyal SBY mau mengubah haluan kebijakan ekonominya lebih pro rakyat. Dan akhir-akhir ini kami melihat kebijakan itu sudah mengarah ke pro rakyat. Misalnya kebijakan Natuna, meski dikejar-kejar oleh Exxon Mobil, tapi tidak menyerah. Termasuk juga kebijakan BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Kemudian penurunan harga BBM meski harus berteriak dulu di DPR. Jadi peluang untuk koalisi dengan Demokrat masih sangat besar. Karena toh presidennya nanti SBY, bukan Boediono. Cuma kami ingin mendapat keyakinan dari SBY apakah agenda ekonomi kerakyatan akan tetap diusung. Dari segi pengelolaan sumber daya alam, sebenarnya tidak harus mengusir perusahaan asing. Nasionalisasi juga tidak, tapi untuk membuat pembagian yang lebih adil. Hingga Indonesia memperoleh manfaat hasil yang lebih besar untuk mensejahterakan rakyat. Itu saja. Saat ini tak ada satupun dari capres yang punya komitmen kuat untuk mengambil kembali dana-dana yang telanjur dikucurkan melalui BLBI. Tapi partai saya suaranya cuma segini. Ya sadar diri.

Kenapa Anda masih bertahan di PAN?

Siapa tahu nanti suara PAN membesar. Dulu ketika dideklarasikan siapa yang menyangka PAN bisa sebesar ini. Siapa tahu nanti PAN bisa dapat 20 persen. Di Amerika, Partai Republik yang begitu kuat bisa tersapu Demokrat. Dulu Golkar begitu kuat tersapu, UMNO di Malaysia tersapu oleh Pikat Kerakyatan. Dunia ini berputar. Saya percaya itu dan itu yang membuat saya selalu mempunyai harapan.

Apa opsi dari PAN dalam soal koalisi?

Banyak sekali. Karena sekarang ini stempel PAN kan tidak terlalu penting. Karena SBY sudah cukup memenuhi syarat menjadi capres. JK dan Mega juga begitu. Jadi, yang dibutuhkan dari PAN saat ini kemana suara PAN akan dialirkan.

Apakah PAN mungkin pindah haluan, karena pilpres masih 8 Juli?

Dalam politik semua bisa terjadi. Bisa saja ke JK atau Mega kalau bisa mengusung agenda-agenda kami. Jadi PAN akan datang dengan tawaran tiga butir perjuangan tadi. Tapi sampai sekarang keputusan resmi partai masih berkoalisi dengan Demokrat.

Sebagai pihak koalisi kenapa Amien Rais tidak ikut deklarasi SBY-Boediono di Bandung?

Pak Amin tidak datang, saya juga tidak ikut. Tapi salah satu tokoh PAN ada di sana, Hatta Rajasa.

Hatta pejabat negara dan dia bukan orang Demokrat tapi dia mewakili SBY dalam upaya koalisi dengan Megawati?

Kami malah bangga, itu membuktikan orang PAN diakui dimana-mana. Dia seorang teknokrat dan politisi ulung. Dengan kemampuan lobi tingkat tinggi yang luar biasa. Salah satu kader andalan.

Selain itu dia dipercaya karena calon besan SBY?

Kita tidak tahu benar tidaknya. Kan pacaran masih bisa putus juga kan? (tertawa).

Benarkah koalisi ini keputusan bulat partai, karena PAN sedang dilanda konflik internal?

Pada Rakernas lalu ada 33 DPW, 1 DPW tidak hadir. 28 DPW secara bulat mendukung koalisi dengan Demokrat. Sedangkan 4 DPW lagi tidak menyebut apa-apa hanya menyerahkan ke ketua umum atau ketua MPP. Jadi, sekitar 90 persen dari wilayah PAN mengatakan berkoalisi dengan Demokrat. Kalau logika perpecahan itu dipakai berarti tahun 2004 Indonesia pecah karena yang mendukung SBY hanya 60 persen. Kan tidak begitu. PAN malah lebih solid karena 90 persen mendukung koalisi dengan Demokrat. Dan itu sebuah keputusan yang sangat telak.

Tapi Amien Rais mengatakan dukungan kepada SBY bisa menurun karena Boediono?

Pada pasangan SBY dan Boediono kemajemukan Indonesia tidak terwakili. Bukan sekadar Jawa-Jawa, tapi juga Jawa Timur-Jawa Timur. Boediono lahir di Blitar dan SBY di Magetan. Luar jawa tidak terwakili, kelompok politik Islam tidak terwakili. Kedua, walaupun politik aliran saat ini sudah berkurang, tapi faktanya kekuatan politik Islam tidak bisa diabaikan. Kalau partai Islam digabung suaranya masih besar. Dalam Pilpres, kehilangan satu juta suara saja sudah sangat berat. Dengan memilih Boediono ada kemungkinan suara ke SBY akan berkurang.

Pertanyaannya seberapa besar suara itu bisa berkurang? Apakah suara ini akan ditangkap oleh JK. Karena selain simbol majemuk dia juga mulai dengan ke pesantren-pesantren. Politik kan soal persepsi, itu yang kami pertimbangkan. Terlihat sepele. Tapi akan memengaruhi pemilih di arus bawah. Saya belum lama ini mendapat pesan pendek bertanya, “benarkah Ibu JK dan Ibu Wiranto memakai jilbab? Kalau iya, mereka bisa mewakili suara orang Islam.” Ada yang memperhatikan sampai ke hal seperti itu.

Politik simbol seperti itu bukankah membodohi masyarakat?

Itu betul. Dulu sangat kencang dikotomi seperti itu. Misalnya sipil-militer, Islam-nasionalis, Jawa-non Jawa, politisi-profesional. Akhir-akhir ini dikotomi seperti itu sudah jarang kita dengar. Tapi dengan SBY memilih Boediono muncul lagi. Memang orang bisa mengatakan yang memunculkan itu lawan politik SBY. Ya, itulah politik. Sah-sah saja ketika bersaing, berusaha membawa pemilih teridentifikasi dengan dirinya. Di kampanye pileg kemarin banyak yang menulis “pilihlah saya putra daerah.” Itu wajar, karena dalam politik setiap kontestan akan selalu berusaha menunjukkan dirinya identik dengan pemilih.

Pada saat deklarasi JK, Wiranto menyebut, “Saya Jawa dan saya sudah terbiasa dengan orang Sulawesi (istri Wiranto berasal dari Sulawesi).” Memang itu bukan dikotomi yang selalu ada, pada saat tertentu akan kempes. Namun bila tidak bijak mengolahnya pada saat tertentu akan meruncing. Penunjukan Boediono adalah pemicu munculnya dikotomi tadi.

Sampai kapan politik simbol ini berlangsung?

Di negara berkembang kecenderungannya akan agak lama. Politik novel atau atau politik wayang yang selalu menampilkan tokoh baik itu selalu cantik tampan dan tokoh jahatnya selalu jelek. Padahal di dunia nyata banyak orang jelek yang sebenarnya baik dan pintar. Ini akan berkurang bila pendidikan makin baik. Itu yang terpenting, kalau perlu free education for all, kalau bisa sampai universitas. Di situlah, kesempatan anak konglomerat atau anak guru dan petani bisa sama. Walau utopis kita harus tetap yakin.

Kenapa Anda tidak ikut pemilihan legislatif untuk 2009?

Saya memutuskan untuk satu periode saja di DPR. Alasan pertama keluarga, kedua karena sebenarnya DPR bukan habitat saya.

Lalu habitat yang paling cocok dimana?

Di lingkungan profesional. Tapi ada concern public yang harus saya perjuangkan, dan itu hanya bisa diperjuangkan melalui partai. Bisa melalui think tank, saya sudah melakukan itu di INDEF. Melalui LSM bisa dan saya masih melakukan itu. Akan tetapi yang bisa mempengaruhi kebijakan, melalui partai. Kalau saya lebih berpikir untuk diri saya sendiri, lebih baik saya menjadi komisaris atau konsultan, tawaran banyak. Bisa tinggal di Singapura, tinggal di Australia, enjoy live tiap weekend, ke pantai bersama keluarga. Enak sekali.
Sekitar tahun 2002 sedikit lagi saya akan menjadi dosen senior di Australia. Tapi waktu itu ada teman aktivis yang mengingatkan, “Mas Drajad tidak banyak orang yang mempunyai kesempatan seperti Anda, oleh Allah diberi kemampuan. Jadi kalau Anda hanya mencari duit untuk diri sendiri, kami sangat menyayangkan.” Dan saya terpukul mendengar itu. Pak Amien juga menyarankan saya untuk mencoba di Senayan. Padahal tadinya saya kampanye untuk Amien Rais saja.

Anda dekat sekali dengan Amien Rais?

Saya memang pengagum dia, bukan saat masa reformasi, tapi sejak dia masih di Muhamadiyah.

Keluarga Anda Muhamadiyah?

Keluarga saya abangan, saya yang Muhamadiyah. Tapi bapak saya sekarang Muhamadiyah, ikut anaknya. Saya belajar agama otodidak. Tokoh yang saya kagumi Buya Hamka dan AR Fachrudin. Kemudian saya melihat cerminan Buya Hamka dan AR pada Amien Rais. Nasib yang membuat saya bersahabat dengan orang yang saya kagumi.

Jadi masih ada tawaran menjadi komisaris?

Ada tiga atau empat.

BUMN?

Bukan, dari swasta. Gajinya lebih besar.

Teori ekonomi apa yang pertama kali mencerahkan Anda?

Penjelasan Pak Syarifudin Baharsyah (ketika kuliah di IPB) tentang pengamanan harga bagi petani. Dia menjelaskan dengan kurva supply-demand, bagaimana stok. Bagaimana saat panen harga anjlok dan perlu harga dasar dan saat paceklik harga naik hingga perlu harga tertinggi. Teori sederhana ini yang mempengaruhi saya. Saya tahu betul kondisi ini karena saat bergaul dengan petani itu lah yang terjadi. Ternyata ilmu ekonomi bisa menjawab. Social sense saya langsung tersentuh. Ini yang membuat saya merubah pilihan waktu kuliah, dari tadinya dari ingin jurusan teknologi industri atau statistik ke sosial ekonomi pertanian. Saya pikir teknologi industri hanya bicara mesin, statistik hanya bicara tentang rumus. Akhirnya saya switch ke ekonomi pertanian. Perubahan itu mirip politikus di detik-detik terakhir.

Di Senayan akan banyak sekali selebritas, masihkah kita bisa percaya masa depan legislatif?

Politik kita ada di masa transisi. Masyarakat lebih terpesona oleh pamor dibanding intelektualitas. Dugaan saya, di Senayan nanti akan ada beberapa handicap. Para selebritas ini perlu penyesuaian yang lebih lama agar bisa menangkap isu-isu yang berkembang. Nggak lucu bila semua selebritas ini kumpul di komisi seni budaya. Maka penting bagi legislator, termasuk dari PAN seperti teman saya Eko Patrio, membekali diri. Atau, mereka harus didampingi oleh staf ahli yang menguasai bidangnya. Bisa saja mereka akan menjadi poltisi yang lebih bagus karena kemampuan komunikasi yang lebih baik, substansinya diisi oleh para ahli. Para selebritas jangan sekali-kali berpretensi menjadi sok menguasai masalah, seakan-akan tahu segalanya.
Selain itu yang juga mengkhawatirkan saya, teman-selebritas kan terbiasa pegang proyek. Nanti kalau di DPR lihat-lihat proyek. Karena sekali terpeleset bukan hanya diri sendiri yang hancur tapi juga keluarga.

  • Hits: 2240

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id