TOKOH MUDA INSPIRATIF: Demi Pembangunan yang Berkeadilan

Oleh: Sutta Dharmasaputra

Jauh sebelum tokoh di negeri ini banyak bicara tentang strategi pembangunan yang berkeadilan sosial, Dradjad Wibowo telah menulis pemikirannya itu. Tak heran, ia diberi kepercayaan untuk menulis pengantar dalam buku karya peraih Nobel, Joseph E Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil.

Ideologi dan Cetak Biru Ekonomi Indonesia: Pemulihan Ekonomi dan Pembangunan yang Berkeadilan Sosial”. Demikian judul dalam Jurnal Reformasi Ekonomi Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Vol 3 Januari 2002.

Sebagai ekonom, Dradjad memang banyak mewarnai pemikiran ekonomi kerakyatan di negeri ini. Dia memandang pembangunan yang berkeadilan memiliki dua dimensi.

Pertama, dimensi intragenerasional, di mana program pemulihan ekonomi menghasilkan distribusi manfaat dan biaya ekonomi yang dipandang adil oleh komponen masyarakat dalam generasi sama.

Kedua, dimensi intergenerasional, di mana harus dijamin distribusi manfaat dan biaya ekonomi dipandang adil dari satu generasi ke generasi selanjutnya, yaitu tercapainya kelestarian economic flow antargenerasi, kelestarian penggunaan sumber daya alam dan lingkungan.

Sampai kini cita-cita itu pun masih terus diperjuangkannya dengan gigih dan konsisten. Dia banyak mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang sangat propasar atau proasing yang mengusik rasa keadilan masyarakat atau memperlebar kesenjangan sosial.

Pemikirannya tersebar luas di banyak media massa, berbagai jurnal, atau seminar nasional maupun internasional.

Lima tahun belakangan ini Dradjad terjun ke dunia politik praktis, yaitu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional.

Meski demikian, dunia politik praktis tidak juga mengubahnya menjadi kompromis atau pragmatis. Dia masih konsisten memperjuangkan ide besarnya, yaitu mendorong strategi pembangunan yang berkeadilan sosial di negeri ini.

Hal itu terlihat dari kiprahnya selama lima tahun di DPR. Dia termasuk anggota DPR yang selalu berada di depan untuk membela hak-hak rakyat akibat ketidakadilan.

Dia pernah mengusulkan hak interpelasi penyelesaian kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (KLBI/BLBI), hak interpelasi kenaikan harga bahan bakar minyak, hak angket impor beras, atau hak menyampaikan pendapat terhadap jawaban interpelasi presiden terkait kenaikan harga bahan pokok.

Kini Dradjad tengah berkonsentrasi untuk lebih mengembangkan partainya untuk menjadi Ketua Umum PAN. Sebagai bukti kesungguhannya dan berpolitik itu bukan sekadar cari jabatan, jauh hari sebelum pemilu sudah memutuskan untuk tidak ikut dalam pencalonan anggota DPR meskipun peluang itu sangat besar.

Dradjad bakal menjadi rival terkuat dari calon lain, yaitu Hatta Rajasa yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu II. Informasi yang berkembang di internal PAN, konon, dua Ketua Umum PAN terdahulu, yaitu Amien Rais dan Soetrisno Bachir, pun sudah memberikan dukungan kepadanya untuk menjadi orang nomor satu di partai berlambang matahari itu.

Seperti apa pemikiran Dradjad tentang Indonesia dan langkah apa yang akan diperjuangkan oleh politisi ekonom ini, berikut petikan wawancara Kompas dengan Dradjad Wibowo, beberapa waktu lalu.

Apa yang mendorong Anda terus berjuang?

Yang saya perjuangkan saat ini sesungguhnya bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Ini buah dari pencarian sejak saya menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Disebabkan banyak menggeluti persoalan pertanian, saya melihat ketimpangan yang besar sekali.

Ada pihak konglomerasi yang mendapat fasilitas banyak sekali, mulai dari izin sampai tanah. Kalau perlu dengan menggusur tanah. Izin pun seperti jalur tol, cepat sekali. Kalau tidak punya uang pun tinggal mengambil di bank. Kalau jualan tidak laku, pemerintah pun membuatkan regulasi.

Sementara itu, pada pihak lain, ada petani yang untuk mendapatkan margin sedikit saja harus bersusah payah.

Muncul pertanyaan di benak saya, mengapa dunia ini tidak adil? Padahal, Allah itu Maha Adil. Berarti, ketidakadilan itu terletak pada manusia. Ini akibat dari kue ekonomi yang dikuasai hanya oleh kelompok tertentu. Dari sanalah saya berpikir perlunya pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial.

Saya berpandangan, negara harus mempunyai peran mengatur semua sumber daya yang dimilikinya, sumber daya alam, sumber dana, maupun sumber daya manusia. Memang banyak juga negara yang mengatur segalanya itu gagal. Demikian juga dengan negara yang menyerahkan sepenuhnya pada ekonomi pasar. Karena itu, kita tidak bisa ekstrem.

Bagaimana pembangunan di Indonesia saat ini?

Pembangunan di Indonesia sudah mengarah pada bias ekonomi pasar. Kesenjangan semakin lebar dan bahkan menimbulkan korban-korban yang dramatis. Indonesia juga banyak kehilangan potensi sumber daya alam yang dimilikinya karena telah diambil pihak asing.

Saya bukan antiasing, xenofobia. Saya lama sekolah di negeri asing. Yang saya persoalkan adalah persoalan ketidakadilan. Indonesia dikaruniai alam yang seharusnya dapat membuat kita terbang tinggi seperti rajawali. Tapi, elite kita yang membuat bangsa kita seperti bangsa bebek.

Kebijakan pemerintah soal pengelolaan Blok Cepu adalah contohnya. Saat itu ada kesempatan pemerintah untuk mengembalikan pengelolaan Blok Cepu kepada PT Pertamina. Tapi, rupanya politik yang diambil pemerintah, memberikannya kepada ExxonMobil.

Padahal, kalau diasumsikan harga minyak adalah 60 dollar AS per barrel, dengan total cadangan minyak dan gas yang terkandung di dalamnya, potensi Blok Cepu bernilai Rp 40 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 400 triliun.

Pertamina pun dapat dengan mudah melakukan inovasi keuangan untuk mendapatkan dana segar, misalnya berupa penerbitan obligasi dan lainnya.

Apabila potensi ini dikelola dengan pandai, bahkan bisa mendapat keuntungan satu sampai tiga kali lipat. Seperti halnya PT Freeport dengan modal awal mendapat izin, ia bisa mendapat 26 miliar dollar AS dan bisa mengakuisisi tambang nikel terbesar di dunia. Paling apes pun mendapat keuntungan 30 persen saja, maka bisa mendapat dana segar Rp 120 triliun.

Dengan aset Blok Cepu, Pertamina sebetulnya sudah mampu melebihi apa yang dimiliki Petronas. Oleh karena itu, kita harus terus mengkritisi kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak berkeadilan sosial.

Mengapa belakangan Anda masuk ke politik praktis?

Saat ini belum banyak masyarakat yang menyadari perlunya pembangunan berkeadilan sosial. Padahal, sila kelima Pancasila menegaskan itu dan menjadi tolok ukur keberhasilan suatu bangsa. Terjun ke politik merupakan bagian dari perjuangan untuk mewujudkan idealisme itu.

Sekarang ini banyak kebijakan dibuat hanya didasarkan pada pragmatisme atau politic idol, di mana faktor personalitas menjadi sangat dominan dan sama sekali tidak memedulikan seperti apa pandangan dari pemimpin itu.

Untuk masuk menjadi anggota DPR atau menteri pun bisa saling sikut atau saling makan satu sama lain. Politik menjadi rendah, yaitu politik animal. Politik seperti belantara, sedangkan politikus menjadi binatang-binatangnya.

Tugas semua aktivis politiklah untuk secara konsisten mengubah kondisi itu. Politik harus dijadikan sebagai sarana memperjuangkan idealisme, bukan untuk cari makan, cari harta, atau cari kekuasaan.

Di banyak partai, sesungguhnya banyak juga yang berjuang. Sayangnya, staminanya tidak sama. Ikut hak angket, tidak lama kempes. Apabila kondisi partai terus seperti ini, partai bisa kehilangan relevansinya. Ketika kalah, seharusnya terus berjuang dan terus mencoba lagi. Dalam Islam diajarkan, kalau besok kiamat dan kita mempunyai satu biji, tanam biji itu sekarang.

Berapa besar peran parpol untuk mewujudkan pembangunan berkeadilan sosial?

Peran partai politik tidak hanya sangat besar, tetapi juga dominan. Semua rekrutmen pejabat formal harus melalui proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Calon presiden dan wakil presiden juga diusullkan oleh parpol. Demikian pula pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk di lembaga yudikatif, seperti seleksi anggota Komisi Yudisial, hakim agung, atau hakim di Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin memperbaiki negara melalui kekuasaan formal, jalurnya melalui partai. Tapi, bagi yang ingin memperbaiki negara melalui jalur tidak formal, dapat menggunakan jalur akademis, lembaga swadaya masyarakat, atau pers. Tantangannya sama berat. Parpol ke depan harus mempunyai ruh.

Bagaimana dengan persoalan hukum yang terjadi belakangan ini?

Pembangunan berkeadilan sosial tidak terlepas dari persoalan hukum. Tidak boleh ada kelompok tertentu di negeri ini yang kebal hukum, above the law. Kasus kriminalisasi pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya tidak boleh terjadi.

Hal ini juga semestinya ditangani dengan cepat oleh pemerintah. Setelah mendengar rekaman di Mahkamah Konstitusi, semestinya sudah bisa diambil tindakan. Bukan hanya membebaskan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, tetapi juga mengembalikan keduanya ke posisi semula. Presiden pun segera mencabut kembali peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang telah ditandatanganinya.

Demikian juga kasus Bank Century. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2008 yang memberikan kekebalan kepada Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan menurut saya berlebihan dan tidak sesuai dengan konteks negara hukum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hambatan terbesar yang membuat bangsa ini sulit mewujudkan pembangunan berkeadilan sosial adalah tidak adanya persamaan hukum terhadap sesama warga negara. Kondisi ini dirasakan semua pihak.

 

Senin, 23 November 2009 | 03:24 WIB

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/23/03242897/demi.pembangunan.yang.berkeadilan

 

  • Hits: 3110

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id