Mengamankan Harga Pangan? BISA! Asal Tidak Disetir oleh Raja Impor dan Mafia Pangan.
Dradjad H. Wibowo (23/2/2019)
Pada tanggal 22/2/2019 di CSIS Menko Kemaritiman Luhut B. Panjaitan menyindir tekad Prabowo menurunkan harga pangan bagi emak-emak. Setelah itu di media online, anggota TKN silih berganti “menghantam” tekad Prabowo tersebut.
Saya maklum saja. Karena selama 4 tahun, pemerintahan Presiden Joko Widodo gagal mengamankan harga pangan dengan benar. Harga sering melonjak-lonjak. Sementara senjata andalan pemerintah untuk menurunkannya adalah impor, impor dan impor.
Untuk beras, Presiden Jokowi bahkan jauh lebih banyak mengimpor dibanding Presiden SBY. Rata-rata impor beras beliau adalah 1,174 juta ton/tahun, sementara Presiden SBY hanya 0,902 juta ton/tahun. Angka ini saya hitung mulai pada hari ketika masing-masing beliau memerintah.
Apakah kita bisa memutus lingkaran setan dari gejolak harga pangan dan impor? Baik pada tingkat konsumen maupun produsen? Jawabnya, sangat bisa. Salah satu syaratnya, kita perlu sebuah kebijakan harga pangan di mana negara hadir di pasar. Perlu ada keberpihakan dari negara.
Keberpihakan dan kehadiran negara itulah salah satu perbedaan visi yang mendasar antara mas Prabowo dengan pak Jokowi. Prabowo mempunyai keberpihakan yang sangat kuat kepada petani, peternak, petambak, nelayan, maupun kepada konsumen termasuk emak-emak. Prabowo tulus dan serius dalam menurunkan harga pangan bagi rakyat, sekaligus menjamin harga jual yang layak bagi produsen.
Apakah mas Bowo bisa mewujudkannya? Sangat bisa. Dalam pidato tanggal 8 Februari 2019, Prabowo menyebut salah satu langkahnya adalah dengan memangkas keuntungan.
Keuntungan dan marjin tata niaga pangan itu sering terlalu tinggi. Apalagi untuk pangan eks impor. Kita lihat beras ex-Vietnam sebagai contoh. Saya ambil beras dengan tingkat pecah 5-25%, kadar air 14% dan spesifikasi lain yang masuk kualitas beras medium.
Setelah ditambah biaya pengapalan, asuransi, gudang di Jakarta, dan biaya lainnya, jatuhnya sekitar Rp 6000/kg. Di pasar harganya bisa mendekati Rp 10000/kg, bahkan pernah Rp 11000/kg. Edan kan marjinnya.
Gula juga demikian. Ekonom senior Rizal Ramli dan Faisal Basri sering mengungkapkannya. Hitungan saya, bagi importir dengan kuota 100 ribu ton saja, keuntungan sebesar Rp 400 milyar itu sangat mudah. Edan tidak?
Telur dan ayam? Sama edannya. Ada mafia yang memainkan harga DOC (day-old chicken), pakan, telur dan daging ayam. Menurut Bloomberg 12 Februari 2019, antara Januari 2018-Januari 2019 saja harga DOC melonjak 40% lebih. Harga saham raksasa peternakan di Indonesia meroket 65-140% pada 2018. Raksasa peternakan pesta keuntungan, peternak dan emak-emak kelabakan.
Marjin yang edan-edanan itulah yang akan dipangkas oleh Prabowo. Kenapa Presiden Jokowi tidak bisa? Ya silakan tanya Menteri Perdagangan dan Menteri terkait. Silakan tanya pemerintah berpihak kepada siapa. Silakan cek siapa saja raja-raja impor dan mafia pangannya.
Dalam debat kedua, Prabowo mengatakan, benar bahwa efek industri 4.0 bagi petani itu penting. Tapi bagi saya (Prabowo), lebih penting lagi memastikan harga yang layak bagi petani / produsen, serta harga yang murah bagi konsumen. Itulah esensi kebijakan harga pangan Prabowo-Sandi.
Tentu harus ada dukungan kebijakan yang lain. Misalnya, perlu penguatan pengelolaan stok pangan nasional. Bulog harus dibersihkan dari koruptor, ditambah bujetnya, ditambah gudangnya dan sebagainya. Demikian juga dengan PTPN komoditas gula.
Di sisi lain, peningkatan produksi pangan nasional harus menjadi prioritas dan dilakukan secara masif. Kebijakan harga pangan di atas adalah insentif yang sangat penting bagi produsen. Selain itu, investasi untuk sarana dan prasarana produksi pertanian harus digenjot. Inovasi pertanian juga perlu diberi imbalan oleh negara. Intinya, keberpihakan negara kepada sektor pertanian harus kuat.
Kenapa Prabowo dan Sandi bisa bebas mengambil kebijakan harga di atas? Ya karena mereka tidak berhutang budi kepada raja-raja impor dan mafia pangan yang menghancurkan harga di produsen dan meroketkan harga di konsumen. Itu kuncinya!
Versi yang lebih ringkas dari tulisan ini dimuat dalam:
- Hits: 2109