Indonesia Gabung BRICS, demi Apa?
Kompas.com - 17/01/2025, 08:00 WIB
Palupi Annisa Auliani, Sakina Rakhma Diah Setiawan
KOMPAS.com - Indonesia baru saja bergabung ke kelompok negara-negara BRICS, Senin (6/1/2025). Secara ekonomi, adakah manfaatnya? Apakah wacana mata uang acuan baru juga realistis?
"Kalau untuk harapkan investasi (dari BRICS), rasanya tidak banyak. Mungkin (ada keuntungan) dari perdagangan," ujar ekonom senior Dradjad Hari Wibowo, dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (16/1/2025).
Menurut Dradjad, Indonesia bergabung ke BRICS ada imbas positif dan negatif.
"Tapi (karena) sudah diputuskan oleh Presiden (untuk bergabung ke BRICS), tentu harus kita jalankan," kata dia.
Investasi vs perdagangan
Berdasarkan data, papar Dradjad, investasi terbesar ke Indonesia masih berasal dari negara-negara barat atau yang cenderung ke barat. Sebut saja Amerika Serikat, Uni Eropa, atau negara seperti Singapura dan Jepang.
Adapun dari negara-negara BRICS, posisi saat ini dan potensi investasi ke depan kemungkinan hanya berasal dari China. Meskipun peluang dari India tetap dimungkinkan, Dradjad menyebut selama ini ada persoalan terkait investasi yang tak pernah selesai antara Indonesia dan India.
Data berbeda muncul untuk perdagangan.
"Kalau lihat data (2024), ekspor kita ke BRICS itu sekitar 33-34 persen dari total ekspor Indonesia. Sepertiga dari total," sebut Dradjad.
Tapi, lanjut dia, dari proporsi total ekspor itu, 32 persen adalah ekspor ke China dan India, dengan porsi China sekitar 24 persen dan India di kisaran 8 persen.
Ekspor Indonesia dengan porsi besar berikutnya adalah negara-negara ASEAN, dengan proporsi sekitar 17 persen. Baru setelah itu ada Amerika Serikat di kisaran 10 persen, Uni Eropa 7 persen.
"Itu yang besar. Selebihnya nyebar, (seperti ke) Timur Tengah, dan sebagainya," imbuh dia.
Adapun Rusia dan Brasil, Dradjad menyebut ada pertimbangan yang lebih kompleks. Dari Brasil, kata dia, kemungkinan Indonesia akan mendatangkan sapi. Sementara dengan Rusia, pertimbangan geopolitik lebih mengemuka.
"Mungkin kita bisa dapat energi murah dari Rusia, juga pupuk atau gas. Tapi geopolitik harus dihitung," papar dia.
Lalu demi apa?
Dengan paparan data di atas, Dradjad menyarankan Indonesia menjadikan momentum bergabung ke BRICS ini untuk menyeimbangkan posisi geopolitik dan posisi ekonomi di tataran global.
"Bagaimana pun (negara-negara) barat enggak happy Indonesia masuk BRICS," ujar dia. Kala
Selain itu, lanjut Dradjad, momentum ini bisa dipakai untuk memperkuat posisi tawar Indonesia, baik ke negara-negara barat maupun anggota BRICS.
"Salah satunya lewat standardisasi dan peraturan perdagangan," sebut dia.
Selama ini, produk Indonesia untuk bisa masuk ke Amerika Serikat harus memenuhi standardisasi terkait biologi. Lalu, masuk ke pasar Uni Eropa juga ada banyak standardisasi seperti soal deforestasi dan lingkungan.
"Banyak mereka (negara barat) menerapkan standar. Mengapa kita tak terapkan standar untuk barang-barang mereka yang masuk ke kita?" tanya Dradjad.
Penerapan standardisasi bagi komoditas yang masuk ke Indonesia, menurut Dradjad sudah seharusnya dilakukan.
"Saya sedang mendorong untuk mengerjakan ini, (penerapan) standar. Supaya cengli, supaya fair. Mereka menerapkan standar, kita terapkan standar juga. Saya rasa fair ini," kata dia.
India, sebut Dradjad, bisa menjadi contoh soal membangun posisi tawar terhadap negara-negara barat. Seperti diketahui, India banyak membeli minyak dari Rusia. Tentu, kata Dradjad, Amerika Serikat tidak senang dengan langkah India tersebut.
"Tapi karena dia (India) kuat, Amerika tidak bisa terlalu banyak menekan dia," sebut Dradjad.
Nah, kata kuncinya menurut Dradjad ada pada kata "kuat". "Indonesia harus kuat secara politik dan ekonomi," tegas dia.
Isu mata uang baru dan dedollarisasi
Kehadiran BRICS juga memunculkan wacana mata uang acuan baru dari kelompok negara-negara ini.
"Masih jauh," tepis Dradjad.
Dradjad menerangkan, saat ini lebih dari 60 persen transaksi global masih memakai dollar AS. Menurut dia, angka penggunaan ini memang sudah turun dibanding masa jaya sebelumnya yang mencapai lebih dari 70 persen.
"Namun, penurunan itu juga butuh beberapa dekade," sebut dia.
Sementara itu, dari kelompok negara-negara BRICS, mata uang yang paling kuat adalah yuan. Namun, penggunaannya dalam transaksi perdagangan dan keuangan global baru di kisaran 2-5 persen.
"Untuk jadi mata uang acuan, perlu kekuatan sendiri. China yang paling kuat di antara negara-negara BRICS, tapi itu juga masih jauh untuk bisa jadi mata uang acuan," tegas Dradjad.
Terlebih lagi, Dradjad mengingatkan bahwa China sekalipun masih memegang banyak sekali dollar AS. Artinya, ungkap dia, kalau penggunaan dan nilai tukar dollar AS amblas, China pun rugi.
"(Jadi), saya rasa masih jauh untuk mata uang baru. Kalau dedolarisasi ditafsirkan sebagai peningkatan porsi settlement perdagangan internasional di luar dollar, memang sudah terjadi. Kita harus realistis," papar Dradjad.
Menurut Dradjad, bakal butuh beberapa dekade lagi dan bahkan mungkin tak akan terjadi penggunaan dollar AS dalam transaksi keuangan global turun sampai di bawah 50 persen.
"Bahwa settlement di luar dollar AS akan lebih banyak, iya. Tapi porsinya tak akan terlalu signifikan," pungkas dia.
https://money.kompas.com/read/2025/01/17/080000526/indonesia-gabung-brics-demi-apa
- Hits: 12