Diwacanakan Tahun Ini, Apa Kabar ”Tax Amnesty” Jilid III?
Amnesti pajak bisa saja mendatangkan dana instan bagi negara. Namun, program itu juga dapat merusak wibawa pemerintah dan menyuburkan praktik pengemplangan pajak.
Oleh Agnes Theodora
13 Jan 2025 08:00 WIB
Sebelum tahun 2024 berakhir, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sempat berwacana menghidupkan kembali program Pengampunan Pajak atau tax amnesty. Kini, tahun sudah berganti. Pemerintah sedang ”pusing-pusingnya” mencari sumber penerimaan baru di kala kinerja pajak masih seret. Apakah amnesti pajak akan dijadikan solusi?
Gagasan soal program Pengampunan Pajak yang diusulkan oleh Komisi XI DPR sempat tenggelam di tengah ingar-bingar polemik kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sepanjang akhir tahun lalu.
Awal tahun ini, wacana itu kembali muncul ke permukaan lewat pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan. Menurut Budi, pemerintah sedang menyiapkan program Pengampunan Pajak jilid III. Program itu disebut-sebut akan menjadi solusi untuk mengembalikan aset dan devisa negara, khususnya dari kasus korupsi besar.
Budi melempar pernyataan itu dalam konferensi pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi dan Tata Kelola di Kejaksaan Agung pada 2 Januari 2025. Ia menyebut, wacana program Pengampunan Pajak kini sedang dirumuskan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan.
”Ini salah satu mekanisme yang sedang disiapkan untuk memberi ruang, sebagaimana disampaikan Bapak Presiden kepada mereka-mereka yang ingin mengembalikan hasil-hasil kekayaan mereka, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, melalui tax amnesty,” tutur Budi saat itu.
Wacana untuk menghidupkan kembali program Pengampunan Pajak itu mendapat respons beragam dari berbagai pemangku kepentingan. Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas sebagai penasihat ekonomi Presiden Prabowo Subianto, misalnya, menilai wacana program pengampunan pajak itu terlalu terburu-buru untuk dibahas.
Terlalu dini dan tidak kredibel
Mengutip anggota DEN, Chatib Basri, saat ini masih terlalu dini untuk membahas opsi menghidupkan kembali program Pengampunan Pajak. Ia pun enggan berkomentar terlalu jauh.
”Saya kira terlalu cepat untuk membicarakan mengenai tax amnesty saat ini. It’s too early. Itu, kan, sebenarnya pembahasannya (masih) masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Kalau informasinya sudah lebih jauh, baru kita bicara,” kata Chatib dalam konferensi pers perdana DEN di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Sementara itu, anggota DEN lainnya, Arief Anshory Yusuf, dengan tegas menyatakan tidak sepakat jika program Pengampunan Pajak diadakan sampai berjilid-jilid. Sebelumnya, pada 2016 dan 2022, program serupa juga sudah pernah digulirkan dua kali di bawah pemerintahan Joko Widodo. Pemerintah bahkan telah berkomitmen tidak akan menggelar lagi tax amnesty.
Arief menilai program Pengampunan Pajak yang dilakukan berkali-kali justru akan menyuburkan praktik pengemplangan pajak. ”Tax amnesty itu tidak kredibel kalau dilakukan lebih dari sekali. Jika seperti itu, it will defy the purpose. Orang bisa-bisa bakal ngemplang pajak karena tahu suatu saat bakal ada tax amnesty lagi,” katanya saat dihubungi, Minggu (12/1/2025).
DEN belum secara resmi memberi rekomendasi kepada Presiden Prabowo untuk tidak menerapkan Pengampunan Pajak jilid III. Akan tetapi, Arief meyakini, pemerintah tidak akan menempuh cara tersebut mengingat konsekuensinya akan mencederai wibawa pemerintah sebagai otoritas pajak. ”Jadi, saya tidak yakin (tax amnesty) akan dilakukan,” ucap Arief.
Dilematis
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono beranggapan, urgensi program Pengampunan Pajak jilid III bisa saja muncul ketika negara membutuhkan dana secara ”instan” dari wajib pajaknya. Apalagi, saat ini kinerja penerimaan pajak memang masih seret dibayangi ketidakpastian ekonomi global dan landainya perekonomian dalam negeri.
Penerimaan pajak pada 2024 kembali mencatatkan shortfall atau gagal mencapai target setelah empat tahun terakhir selalu berhasil mencapai target. Data Kementerian Keuangan, realisasi setoran pajak sepanjang tahun lalu adalah Rp 1.932,4 triliun atau hanya 97,2 persen dari target APBN 2024 yang sebesar Rp 1.988,9 triliun.
”Kebutuhan dana yang besar untuk pembangunan memang biasanya menjadi alasan klasik mengapa ada tax amnesty. Pemerintah membutuhkan dana yang lebih banyak untuk mengerek rasio pajak yang sudah bertahun-tahun tak kunjung meningkat,” papar Prianto.
Ia menilai, melalui program Pengampunan Pajak, pemerintah memang dapat meminta para pengemplang pajak untuk mengaku dan mengungkap kekurangan pembayaran pajaknya selama ini dengan mengacu pada tarif khusus yang diberlakukan lewat tax amnesty.
Cara ini lebih mudah ditempuh untuk menyasar pemasukan dari aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) serta memajaki para pengemplang pajak di sektor perkebunan, sebagaimana rencana pemerintah.
”Ini lebih cepat dibandingkan jika pemerintah memilih menegakkan hukum pajak. Sebab, terduga pelaku pengemplang pajak dan penghindar pajak dapat melakukan perlawanan balik melalui sengketa pajak di peradilan. Tidak efisien jika pemerintah ingin mendapat dana cepat dari wajib pajak,” tuturnya.
Namun, kerugian dari program Pengampunan Pajak jilid III juga tidak sembarangan. Prianto mengatakan, pengampunan pajak yang terus berulang akan memunculkan rasa ketidakadilan pajak di kalangan wajib pajak yang patuh serta mencederai kredibilitas pemerintah selaku otoritas pajak.
Memberi ”karpet merah” kepada para pengemplang pajak untuk menebus dosa-dosa pajak mereka dengan tarif khusus yang lebih rendah dari semestinya akan memunculkan antipati dan mendorong ketidakpatuhan pajak lebih lanjut di kalangan wajib pajak.
”Wajib pajak patuh bisa saja memilih untuk tidak perlu patuh lagi karena nantinya, toh, akan ada tax amnesty jilid berikutnya lagi. Sentimen seperti ini sangat beralasan karena ada perlakuan tidak adil dari pemerintah ketika kebijakan tax amnesty diberlakukan,” katanya.
“Pengampunan pajak yang terus berulang akan memunculkan rasa ketidakadilan pajak di kalangan wajib pajak yang patuh serta mencederai kredibilitas pemerintah selaku otoritas pajak.------
Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo mengatakan, penerapan program Pengampunan Pajak jilid III bisa saja dilakukan, dengan syarat desain dan eksekusinya harus menghindari kelemahan-kelemahan yang terjadi pada amnesti pajak jilid I dan II. Kelemahan dalam pelaksanaan sebelumnya membuat tujuan utama program ini, yaitu memperluas basis pajak dan meningkatkan rasio pajak, tidak tercapai.
”Buktinya, rasio pajak stagnan, bahkan mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan sekitar dua dekade lalu,” kata Dradjad yang juga sebagai ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI).
Karena itu, kata dia, program Pengampunan Pajak jilid III harus diupayakan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. ”Jangan sampai kelemahan-kelemahan dari jilid I dan II terulang kembali,” ucapnya.
- Hits: 39