Ekonomi Triwulan III Lebih Menantang, Antisipasi Pertumbuhan di Bawah 5 Persen

Kinerja dua kontributor utama pertumbuhan ekonomi, yakni industri manufaktur dan konsumsi masyarakat, sedang melambat.

Oleh: AGNES THEODORA

11 Agustus 2024 20:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III tahun 2024 diperkirakan sulit mencapai level 5 persen. Berbagai indikator telah menunjukkan pelemahan, dari kinerja industri manufaktur yang tak lagi ekspansif sampai berlanjutnya tren pelemahan konsumsi masyarakat. Kebijakan yang tepat diperlukan untuk mengantisipasi perlambatan.

Indikasi lesunya perekonomian pada triwulan III tahun 2024 bisa dilihat dari kinerja dua kontributor utama pembentuk pertumbuhan ekonomi nasional. Pertama, dari sisi lapangan usaha, industri manufaktur yang merupakan motor utama perekonomian mulai mengalami perlambatan pada triwulan III.

Pada Juli 2024, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur yang dirilis oleh lembaga S&P Global menunjukkan, performa industri manufaktur Indonesia telah masuk ke zona kontraksi di level 49,3. Ini performa terendah dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya, selama 34 bulan berturut-turut, PMI Manufaktur RI ada di zona ekspansif.

Kondisi ini tidak bisa diremehkan. Sebab, dilihat dari kontribusinya, industri pengolahan memiliki peran terbesar di antara lapangan usaha lainnya. Distribusi industri manufaktur terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 18,52 persen, di atas sektor andalan lain seperti pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan.

Kedua, dari sisi pengeluaran, ada tren perlambatan konsumsi rumah tangga. Selama tiga triwulan terakhir, konsumsi masyarakat hanya bisa tumbuh di bawah level 5 persen. Kontribusi konsumsi terhadap pembentukan PDB sangat dominan, yakni 54,53 persen, di atas motor pertumbuhan lain seperti investasi, ekspor, dan konsumsi pemerintah.

Berdasarkan data historis, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III biasanya lebih rendah dari triwulan II. Itu karena pada triwulan III tidak ada faktor musiman yang bisa mendongkrak belanja masyarakat, seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan musim libur sekolah.

Ini bukan indikasi yang menjanjikan. Sebab, pada triwulan II, konsumsi rumah tangga pun sudah melambat dan hanya mampu tumbuh 4,93 persen. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya (kecuali saat pandemi), sejumlah faktor temporer di atas tidak signifikan mengungkit pertumbuhan.

Terdampak China

Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, indikator-indikator tersebut membuat prospek pertumbuhan ekonomi di triwulan III akan jauh lebih menantang dari sebelumnya. ”Ada potensi, terlebih kalau melihat kondisi PMI Manufaktur yang sudah mulai terkontraksi per Juli, pertumbuhan (triwulan III) bisa di bawah 5 persen,” kata Josua, Minggu (11/8/2024).

 

Kinerja industri manufaktur pada triwulan III kemungkinan akan sedikit terbantu oleh sinyal positif dari Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve. The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) pada September 2024, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Awalnya, penurunan suku bunga diproyeksikan terjadi akhir tahun.

Pemangkasan suku bunga acuan The Fed yang lebih cepat itu akan menjadi stimulus positif bagi perusahaan manufaktur. Sebab, ada indikasi rupiah menguat dan suku bunga kredit menurun menyusul kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar. Itu bisa membantu meringankan beban biaya produksi industri manufaktur.

Meski demikian, Josua mengatakan, ancaman pelemahan tetap ada, khususnya akibat pertumbuhan ekonomi China yang pada triwulan II-2024 sudah di bawah 5 persen. Sebagai mitra dagang utama Indonesia, pelemahan ekonomi China akan berdampak pada permintaan ekspor Indonesia sehingga menurunkan kinerja industri pengolahan.

”Ini perlu antisipasi karena aktivitas manufaktur kita yang berorientasi ekspor akan terdampak negatif. Meski The Fed mulai ada ancang-ancang menurunkan suku bunga, tetap ada faktor pelemahan ekonomi China,” ujarnya.

 

”Efek domino” daya beli

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, indikasi perlambatan ekonomi yang sudah mulai terlihat di triwulan II diperkirakan akan berlanjut pada triwulan III.

Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III hanya akan mencapai 4,8 persen secara tahunan, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi triwulan III tahun 2023 yang sebesar 4,94 persen.

Menurunnya daya beli dan permintaan domestik akan menekan pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi konsumsi rumah tangga. Indikasi turunnya daya beli masyarakat itu sudah terlihat dari deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut dari Mei sampai Juli 2024.

Ditambah, triwulan III adalah ”musim kemarau” karena tidak ada dorongan belanja dari hari raya dan musim libur serta tidak ada tambahan tunjangan pendapatan bagi masyarakat untuk berbelanja.

”Konsumsi rumah tangga belum pulih ke tingkat sebelum pandemi atau rata-rata 5 persen. Konsumsi rumah tangga menyumbang 54 persen terhadap PDB. Dengan kondisi sektor ini yang belum pulih, mencapai pertumbuhan ekonomi 5 persen akan sangat menantang,” kata Esther.

Daya beli masyarakat yang menurun itu tidak hanya berdampak pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Permintaan masyarakat yang lesu akan memunculkan efek domino juga terhadap kinerja sisi suplai atau industri secara umum.

Stimulus Keynesian

Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional yang juga ekonom Sustainable Development Indonesia Dradjad Wibowo mengatakan, perlambatan ekonomi Indonesia dan dunia sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Para ekonom dunia cenderung sepakat soal ini. ”Ketika visi misi Prabowo-Gibran disusun, kami juga sudah mengantisipasi perlambatan ini,” katanya.

Menurut Dradjad, ada tiga strategi utama yang perlu disiapkan menghadapinya. Pertama, stimulus Keynesian dari APBN. Itu diwujudkan antara lain melalui program-program yang langsung dirasakan masyarakat dan sekaligus menjaga konsumsi rumah tangga. Selain itu, stimulus itu juga dipakai untuk membiayai program-program pro-bisnis, antara lain melalui kebijakan pengadaan pemerintah, program-program insentif ekspor, dan seterusnya.

Kedua, menciptakan ekosistem sedemikian rupa agar konsumsi rumah tangga, terutama belanja kelas menengah, bisa stabil dan bahkan bertumbuh. Tapi, perlu bauran yang tepat di semua unsur kebijakan fiskal dan moneter. Ini sangat krusial karena pertumbuhan ekonomi Indonesia memiliki ketergantungan super tinggi terhadap konsumsi.

Ketiga, deregulasi memangkas berbagai peraturan kementerian/lembaga yang kontraproduktif terhadap iklim berusaha dan investasi. Jika dilakukan dengan tepat sasaran dan tepat waktu, deregulasi ini bisa menambah pertumbuhan minimal 0,5 persen jika dibandingkan dengan tanpa deregulasi.

Josua mengatakan, pelemahan industri akhir-akhir ini lebih banyak ditekan oleh sisi permintaan yang lesu. ”Ujung-ujungnya money comes from buyer. Kalau permintaan tidak pulih, meski pemerintah memberikan kelonggaran dan insentif dari sisi suplai untuk produsen, tetap tidak akan berpengaruh. Sebab, siapa yang membeli?” kata Josua.

Pemerintah, di sisi lain, masih menjaga optimisme selagi mendorong sumber pertumbuhan lain di sisa tahun 2024. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan mendorong motor pertumbuhan ekonomi lain pada triwulan III dan IV, antara lain belanja pemerintah.

Menurut dia, belanja pemerintah masih bisa didorong lebih tinggi lagi. Pada triwulan II-2024, pertumbuhannya hanya 1,42 persen dengan kontribusi terhadap PDB sebsar 7,31 persen. ”Kami akan melihat faktor apa lagi yang bisa didorong, tetapi salah satunya adalah belanja pemerintah. Itu harus bisa digenjot di triwulan III ini,” katanya.

Terkait dengan kinerja industri, Airlangga menilai, kondisi Indonesia masih dalam posisi moderat dibandingkan dengan negara lain yang juga mengalami pelemahan PMI Manufaktur akhir-akhir ini. Namun, tren pelemahan itu tetap diantisipasi.

”Kami melihat, optimisme (industri) ini memang harus terus didorong. Pelemahan demandjuga akan kita lihat karena beberapa industri kita dalam kondisi over supply (akibat melemahnya permintaan). Kita berharap ini bisa dikejar di semester II,” ujar Airlangga.

Editor:

MUHAMMAD FAJAR MARTA

https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/08/11/ekonomi-triwulan-iii-lebih-menantang-antisipasi-pertumbuhan-di-bawah-5-persen?open_from=Ekonomi_Page

  • Hits: 7

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id