Sri Mulyani: APBN Jangan Jadi Sumber Masalah
APBN punya batasan maksimum. Jika dipaksa melebihi kemampuannya untuk menjawab berbagai masalah, APBN bisa "jebol".
Oleh: AGNES THEDOORA
11 Juni 2024 13:59 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kekhawatiran yang muncul tentang keberlanjutan fiskal Indonesia di masa transisi pemerintahan, disiplin fiskal tetap menjadi fokus perhatian pemerintah dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, APBN harus menjadi solusi atas berbagai persoalan negara, alih-alih menjadi sumber masalah baru.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa (11/6/2024), untuk membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, Sri Mulyani menegaskan bahwa APBN bersifat counter-cyclical. Artinya, ketika terjadi gejolak ekonomi, APBN mengambil peran sebagai peredam guncangan.
”Itu tidak terhindarkan. Arah kebijakan fiskal memang akan berubah ketika shock terjadi. Namun, saat ada kesempatan untuk memperbaiki, kita langsung jaga agar APBN kita kembali siap untuk menjadi shock absorber,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Ia menegaskan, ke depan, APBN akan tetap digunakan sebagai alat untuk menghadapi dinamika global dan meredam berbagai gejolak di masa mendatang. Namun, stabilitas APBN tetap mesti dijaga. "APBN ini alat yang penting. Harus dijaga agar alat ini jangan jadi sumber masalah, tetapi harus jadi sumber solusi,” ujarnya.
Dalam proses pembahasan RAPBN 2025 sebagai APBN transisi dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo, kesehatan APBN tetap diperhatikan. Sri Mulyani pun mengatakan, dalam proses penyusunannya, RAPBN 2025 sudah melalui koordinasi dan komunikasi erat dengan tim Prabowo.
"Kami mencoba memahami dan mendesain (RAPBN) sesuai dengan janji-janji maupun program (Prabowo)," ujarnya.
Jangan sampai untuk mengakomodasi begitu banyak persoalan, APBN dipaksa beyond kemampuannya, lalu malah jadi jebol sendiri.
Namun, di tengah banyaknya kebutuhan belanja pemerintahan baru, pembahasan RAPBN transisi diupayakan tetap sesuai dengan rambu-rambu disiplin fiskal. Pemerintahan kali ini tidak bisa spontan dan berpikir jangka pendek, tetapi harus memperhatikan keberlanjutan fiskal untuk jangka menengah-panjang.
"APBN ini ibarat alat yang punya kapasitas maksimum. Jangan sampai untuk mengakomodasi begitu banyak persoalan dan tantangan pembangunan, APBN dipaksa melakukan beyond kemampuannya, lalu malah jadi jebol sendiri. Ini yang terus kita komunikasikan dalam proses politik yang berlangsung," kata Sri Mulyani.
Untuk menjaga APBN tetap sehat, ada tiga hal yang disoroti. Pertama, pendapatan disepakati ditingkatkan dengan target 12,3-12,36 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kedua, belanja dibuat lebih berkualitas di rentang 14,59-15,18 persen dari PDB. Ketiga, pembiayaan yang diarahkan inovatif dan akuntabel dengan defisit 2,45-2,82 persen dari PDB.
Dalam pembahasan asumsi makro RAPBN 2025 dengan Komisi XI dan Badan Anggaran DPR sepekan terakhir ini, isu mengenai disiplin fiskal berkali-kali mengemuka. Sejumlah anggota DPR mengingatkan pemerintah untuk menjaga defisit fiskal dan utang di tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tetap rendah.
Dalam rapat dengan Komisi XI DPR, pekan lalu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa pun tiba-tiba mengusulkan agar pemerintah bisa menurunkan target defisit 2,45-2,82 persen dari PDB, alias mepet dengan batas aman 3 persen, menjadi 1,5-1,8 persen dari PDB. Usulan Suharso itu berbeda dengan yang sudah ditetapkan oleh Sri Mulyani.
Alasannya, defisit yang rendah itu bisa memberikan keleluasaan yang lebih luas bagi rezim baru. Jika Prabowo-Gibran kelak ingin memasukkan program dan kebijakan mereka, ada mekanisme APBN Perubahan (APBNP) yang bisa ditempuh ketika sudah menjabat. Defisit fiskal yang rendah memungkinkan pemerintahan baru untuk mengutak-atik APBN nantinya karena ruang fiskal yang tersedia masih tersisa banyak.
Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo menyarankan Banggar DPR, terutama dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), lebih teliti dan hati-hati membahas defisit.
"Volatilitas global masih agak tinggi. Jadi sebaiknya defisit jangan dipepetkan ke 3 persen pada saat ini. Karena, jika nanti ekonomi global mengalami gejolak pada tahun 2025, dengan defisit yang mepet ke 3 persen, Indonesia tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup untuk memberikan stimulus fiskal seandainya diperlukan. Ini bisa menimbulkan dampak berantai yg cukup serius," kata Dradjad yang juga ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI).
Mengubah APBN
Dalam rapat dengan Komite IV DPD, sejumlah anggota pun ikut menyoroti perlunya menetapkan postur fiskal yang mendasar (baseline) dalam RAPBN 2025 kali ini dan baru menyesuaikan perencanaan keuangan untuk tahun pertama Prabowo itu kelak melalui APBNP. Dengan demikian, diharapkan Prabowo memiliki ruang lebih leluasa untuk memasukkan program dan kebijakannya.
”Apakah nanti kita akan lakukan perubahan lagi terhadap APBN? Ada janji-janji politik presiden yang saya pikir tidak bisa kita abaikan. Ada makan siang gratis. Presiden baru juga sudah beri sinyal bahwa untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) hanya bisa dialokasikan 1 miliar dollar per tahun. Ini apakah berarti nanti mangkrak atau bagaimana,” kata anggota DPD dari Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung.
Memang yang kami pertanyakan, defisit 2,45-2,82 persen dan belanja Rp 3.500 triliun itu programnya siapa?
Secara terpisah, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-P, Dolfie Othniel Frederic Palit, mengatakan, keputusan mengenai besaran rentang defisit fiskal di RAPBN 2025 baru akan disepakati dalam rapat bersama antara Badan Anggaran DPR dan pemerintah bulan depan.
”Memang yang kami pertanyakan, defisit 2,45-2,82 persen dan belanja Rp 3.500 triliun itu programnya siapa? Program Jokowi yang mau dilanjutkan, bagi dua Jokowi dan Prabowo, atau sebagian besarnya Prabowo? Itu kita juga belum dapat penjelasan,” ujarnya.
Editor: MUHAMMAD FAJAR MARTA
- Hits: 121