Pemerintah Dilematis Menaikkan Tarif PPN Mulai Tahun Depan
Pemerintah sebenarnya punya ruang untuk menunda kenaikan tarif PPN. Ada cara lain untuk mengerek penerimaan negara.
Oleh: AGNES THEODORA
Editor: AUFRIDA WISMI WARASTRI
14 Mei 2024 06:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Nasib rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 masih menggantung. Pemerintah menghadapi dilema untuk menaikkan tarif sesuai amanat undang-undang atau mempertahankannya di 11 persen. Cara lain mesti ditempuh untuk mengerek penerimaan negara tanpa menekan daya beli masyarakat.
Di satu sisi, kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 itu bisa jadi ”jalan pintas” untuk meningkatkan penerimaan negara secara instan. Apalagi, kebutuhan belanja negara di bawah rezim Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diperkirakan bakal naik signifikan.
Dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 sudah menunjukkan tanda-tanda membengkaknya belanja, defisit fiskal, dan utang pemerintah. Belanja pemerintah ditargetkan bertambah dari 14,56 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 16,15-17,80 persen.
Defisit fiskal pun ditargetkan melebar dari 2,29 persen menjadi maksimal 2,80 persen terhadap PDB, semakin mepet dengan ”batas aman” 3 persen. Rasio utang juga membengkak dari level 38,26 persen terhadap PDB menjadi maksimal 40,14 persen terhadap PDB, mendekati kondisi puncak pandemi Covid-19.
Namun, di sisi lain, kenaikan tarif PPN bisa berimplikasi buruk bagi daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga yang saat ini sedang lemah. Hal itu ditunjukkan lewat laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebagai motor utama perekonomian yang sejak pandemi semakin sering tertahan di bawah pertumbuhan ekonomi atau ”batas normal” 5 persen.
Pada triwulan I-2024, misalnya, konsumsi rumah tangga hanya bisa tumbuh 4,91 persen secara tahunan, di bawah level pertumbuhan ekonomi 5,11 persen. Sejak pandemi, daya beli masyarakat bertubi-tubi mengalami tekanan akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengatakan, tidak ada bukti ilmiah bahwa kenaikan tarif PPN bisa memaksimalkan penerimaan negara. ”Bukan tidak mungkin justru tidak semaksimal jika tarif PPN tetap 11 persen. Ini yang perlu kita evaluasi dulu secara ilmiah,” katanya, Senin (13/5/2024).
Namun, membatalkan rencana kenaikan tarif PPN pun tidak mudah sebab itu sudah menjadi amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Apalagi, penyusunan Rancangan APBN 2025 akan dimulai dalam waktu dekat ini dan berbagai asumsi fiskal kemungkinan tetap mengacu pada dasar tarif PPN sebesar 12 persen.
”Postur APBN dan belanja negara bisa berubah besar jika (kenaikan PPN) dibatalkan. Dari sisi prosedur ketatanegaraan, ada revisi UU dan proses APBN-Perubahan yang perlu dilalui. Ini pastinya perlu waktu,” ujar Dradjad, yang juga Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN).
Bimbang
Sebelumnya, saat ditanya mengenai kepastian kebijakan kenaikan PPN pada tahun 2025, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tidak memberi jawaban tegas. Menurutnya, pemerintah pada dasarnya ingin mengerek penerimaan pajak dan itu bukan melalui meningkatkan PPN.
”Pertama, strategi ke depan itu bukan kerek PPN, tetapi kerek penerimaan pajak. Tentu untuk mengerek pajak itu bisa lewat implementasi sistem yang lebih baik, seperti sistem Core Tax Administration System. Kita harap itu bisa maksimal,” katanya kepada awak media, Sabtu (11/5/2024).
Saat ditanya lagi jika pemerintah akan menunda atau membatalkan kenaikan tarif PPN pada 2025, Airlangga hanya menjawab, ”Pokoknya kita targetnya menaikkan pendapatan dari perpajakan,” ujarnya singkat.
Disinsentif ekonomi
Analis Kebijakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengingatkan, secara ekonomi, kenaikan tarif PPN bisa membawa implikasi besar pada roda ekonomi sektor riil dan daya beli masyarakat. Apalagi, belakangan ini, sektor riil dan masyarakat sama-sama menghadapi tekanan dalam bentuk kenaikan ongkos produksi dan kenaikan harga barang-jasa.
Menurut dia, pelaku usaha hanya punya dua opsi. Satu, ”melempar” sepenuhnya dampak kenaikan tarif PPN itu ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang dan jasa. Dampaknya, daya beli masyarakat semakin tertekan, demikian pula laju konsumsi rumah tangga.
Dua, ”menyerap” kenaikan tarif PPN itu dengan cara tidak menaikkan harga barang dan jasa, meski terpaksa harus menekan margin keuntungan dan menanggung ongkos produksi yang besar. Kedua opsi itu bagaikan buah simalakama. Keduanya bisa sama-sama menekan pertumbuhan ekonomi.
”Karena itu jelas kalau kenaikan tarif PPN ini hanya akan menjadi disinsentif bagi dunia usaha. Ini harus benar-benar dicermati pemerintah karena dampaknya bisa kontradiktif terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Ajib.
Menurut Ajib, dari sudut pandang regulasi, pemerintah sebenarnya punya ruang untuk menunda kenaikan tarif PPN. Selama ini pun sudah banyak kebijakan pajak yang meleset dari target waktu yang ditetapkan dalam undang-undang. ”Di UU HPP juga ada mandat penerapan pajak karbon, tetapi sampai sekarang belum diterapkan. Jadi, sebenarnya ada ruang,” ujarnya.
Ada opsi lain
Menurut dia, masih ada opsi lain untuk mengerek penerimaan negara tanpa menaikkan tarif PPN. Contohnya, memaksimalkan pemasukan deviden dari badan usaha milik negara (BUMN) yang saat ini masih jauh dari ideal.
”Total aset BUMN itu tidak kurang dari Rp 10.000 triliun, tetapi mengapa return-nya hanya bisa menghasilkan deviden Rp 200 triliun-Rp 300 triliun? Idealnya deviden bisa dinaikkan jadi 5 persen dari aset sehingga menambah sekitar Rp 300 triliun untuk penerimaan negara,” katanya.
Opsi lainnya, seperti disampaikan Dradjad, adalah memaksimalkan pungutan PPN tanpa perlu menaikkan tarif pajak. Saat ini, rasio PPN terhadap PDB masih terlalu rendah akibat banyak pungutan PPN yang tidak terkoleksi.
”Salah satu caranya, digitalisasi seluruh proses PPN, baik PPN masukan, keluaran, maupun restitusi PPN, perlu dituntaskan. Ini bisa menekan praktik manipulasi data faktur yang selama ini muncul,” ujar Dradjad.
Sementara itu, Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fairy Akbar mengatakan, menaikkan tarif PPN adalah cara paling mudah untuk menaikkan penerimaan negara. Kenaikan PPN sebesar 1 persen berpotensi menaikkan penerimaan negara hingga lebih dari Rp 100 triliun.
Ada beberapa opsi lain yang bisa ditempuh, seperti mengurangi fasilitas atau pengecualian pengenaan PPN. Namun, menurut dia, risiko politik yang mesti ditanggung tetap sama-sama besar. Sebab, pengurangan fasilitas PPN juga bisa mengganggu daya beli masyarakat.
Apalagi, jika fasilitas yang dihapuskan itu untuk jenis barang-jasa yang digunakan masyarakat sehari-sehari, seperti kebutuhan pokok (sembako) dan biaya transportasi.
”Sebenarnya ada opsi mengenakan pajak atas harta (wealth tax) bagi wajib pajak superkaya, tetapi saya yakin tidak akan dijalankan. Berdasarkan pengalaman, pajak yang terlalu progresif terhadap orang kaya akan terpental dalam legislasi,” kata Fajry.
- Hits: 166