Lembaga Keuangan Global Singgung Makan Siang Gratis, Bentuk Intervensi Asing?
Ekonom senior Dradjad Wibowo menilai, bank dunia tidak perlu mengajari Indonesia.
Jumat 01 Mar 2024 07:49 WIB
Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ahmad Fikri Noor
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa lembaga keuangan global menyoroti program Makan Siang Gratis yang diusung oleh pasangan Prabowo-Gibran. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen menilai, program Makan Siang Gratis perlu direncanakan dengan matang, khususnya pada aspek anggaran. Menurut dia, pemerintah perlu terlebih dahulu menetapkan dengan pasti bentuk dan sasaran program tersebut, kemudian membandingkannya dengan sumber daya yang dimiliki saat ini.
"Tergantung program seperti apa yang akan dilaksanakan dan bentuknya apa. Semua rencananya harus benar-benar dipersiapkan dan biayanya juga dipersiapkan," kata Satu Kahkonen di Kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Sebagai perwakilan Bank Dunia, hingga saat ini Kahkonen masih menunggu detail lebih lanjut Program Makan Siang Gratis dari pemerintah.
"Kami masih menantikan (rincian Program Makan Siang Gratis). Untuk Indonesia pada dasarnya berpegang pada pagu defisit fiskal yang telah ditetapkan sebesar 3 persen dari PDB, sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Tak hanya Bank Dunia, Lembaga Pemeringkat Fitch Ratings juga menyebut program Makan Siang Gratis dalam proyeksinya terhadap kebijakan di era kepemimpinan Prabowo Subianto. Fitch memperkirakan, kebijakan moneter dan fiskal Indonesia akan tetap mendukung stabilitas makroekonomi. Namun demikian, Fitch mencermati adanya risiko fiskal jangka menengah terkait beberapa janji kampanye Prabowo, termasuk program makan siang dan susu gratis di sekolah yang dapat menghabiskan biaya sekitar 2 persen PDB setiap tahunnya.
Pernyataan Prabowo bahwa Indonesia dapat menaikkan rasio utang pemerintah dinilai juga menunjukkan adanya risiko terhadap proyeksi fiskal Fitch. Meski begitu, Fitch juga mencatat adanya upaya Prabowo untuk meningkatkan tingkat pendapatan pemerintah terhadap PDB secara signifikan.
Ekonom senior Dradjad Wibowo menilai, bank dunia tidak perlu mengajari Indonesia. Negeri ini, kata dia, paham kalau defisit fiskal harus dijaga.
"Bank Dunia memang sejak dulu senangnya seperti itu. Diabaikan saja ucapan-ucapan mereka," katanya kepada Republika, Kamis (29/2/2024).
Indonesia pun, menurut Dradjad bisa mengambil langkah berhenti menerima pinjaman Bank Dunia. Dengan begitu, tegasnya, lembaga itu tidak bisa ikut campur terhadap kebijakan di Tanah Air.
"Apalagi terhadap siapa yang mereka sukai atau tidak sukai menjadi menteri," ujarnya.
Kendati demikian, Dradjad mengatakan, Indonesia akan terus bekerja sama dengan berbagai negara serta lembaga dunia. Ia menegaskan, dalam kerja sama itu posisinya harus sejajar sehingga tidak ada subordinasi satu sama lain.
"Jika sumber-sumber penerimaan baru berhasil diwujudkan, defisit fiskal dapat kita tekan lebih rendah," tuturnya.
Terkait program makan siang gratis, sambung dia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) nasional cukup siap. Namun, dalam menjalankannya memang harus bertahap, karena ruang fiskal terbatas. Menurut Dradjad, kuncinya adalah mencari sumber penerimaan baru.
- Hits: 177