Pro-Prabowo parties united behind "zaken" cabinet plan
The Jakarta Post, Monday, September 23, 2024, Page: 1 & 11
Pro-Prabowo parties united behind "zaken" cabinet plan
- Hits: 137
Soal Anggaran Makan Bergizi Gratis, Dradjad Wibowo: Tak Boleh Ganggu Anggaran Pendidikan
Kompas.com - 18/09/2024, 06:39 WIB
Novianti Setuningsih
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mengatakan, Presiden terpilih RI Prabowo Subianto memang menginginkan ada badan khusus yang mengurusi mengenai program makan bergizi gratis.
“Badan Gizi kan sudah dibikin sekarang karena itu memang untuk ngurusin yang makan siang bergizi. Memang Pak Prabowo menginginkan ada yang ngurusin khusus untuk itu,” kata Dradjad dalam program Gaspol Kompas.com yang tayang di YouTube Kompas.com pada 16 September 2024.
Namun, realisasi program bergizi gratis tampaknya bakal menemui kendala terkait anggaran.
Terkait masalah anggaran, Dradjad mengatakan, program makan bergizi gratis tidak akan mengambil pos anggaran pendidikan. "Anggaran sendiri saja. Jadi, enggak mengganggu anggaran pendidikan karena anggaran pendidikan itu sudah banyak kepakai untuk yang macam-macam,” ujarnya.
Dalam pandangannya, beban anggaran pendidikan saja sudah berat karena sebenarnya masih kurang untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas di Tanah Air.
Oleh karena itu, Dradjad menyebutkan, anggaran program makan bergizi gratis harus diambil dari pos yang lain atau membuat pos penerimaan negara yang baru.
“Makan bergizi harus diambil dari pos yang lain. Pos baru. Artinya apa, anggarannya anggaran baru, tapi kan makan siang ini enggak langsung 100 persen kan, bertahap. Jadi, kalau dianggarkan 70, 80 (triliun rupiah) untuk tahun pertama masih wajar dan masih bisa di-cover,” katanya.
Hanya saja, Dradjad menekankan bahwa pemerintah ke depan harus lebih kreatif mencari sumber-sumber penerimaan baru. Sebab, tidak bisa hanya mengandalkan penerimaan pajak yang belum maksimal.
Lantas, apakah menaikkan pajak bakal menjadi opsi yang ditempuh oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk mendanai program makan bergizi gratis?
Dradjad pun membahas soal penerimaan pajak yang dianggapnya belum maksimal selama ini. Sebab, yang benar-benar berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya sekitar 7-9 persen dari yang seharusnya 10 persen.
Padahal, dia menyebutkan, satu persen dari penerimaan pajak itu jumlahnya sangat tinggi karena Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini sekitar Rp 21.000 triliun. “Jadi, kalau satu persen itu artinya Rp 210 triliun.
Jadi, kalau selisih satu persen itu kita kehilangan Rp 210 triliun. Itukan gede banget. Sudah (buat) makan siang (makan bergizi gratis), sudah berapa itu kan,” ujarnya.
Kemudian, Dradjad berbicara mengenai penerimaan pajak yang dipakai untuk membayar utang negara. Dari penelusuran dan perhitungannya, negara membayar pokok dan bunga utang sekitar 50 persen dari pajak yang dikumpulkan DJP.
“Itu separuh lebih (penerimaan pajak) habis buat bayar utang pokok dan bunganya. Kalau kita pakai rasio ke penerimaan negara, itu sekitar sepertiga. Jadi, (misalnya) Anda punya penghasilan katakanlah Rp 100 juta, terus Rp 33 juta habis untuk bayar utang. Itukan besar skali, porsi yang besar dari penghasilan negara ya,” katanya.
Dia pun mengatakan bahwa utang tersebut merupakan utang lama yang masih harus dicicil atau dibayar hingga saat ini.
“Nah, ketika harus bayar lalu negara uangnya kurang, apa? Ya narikin dari rakyat. Negara ujungnya apa? Ngatong ke rakyatnya. Makanya, kemudian ada PPN dinaikan, ada ini dinaikkan, harus ngumpulin uang untuk tambahan untuk BPJS, dana pensiun, tambahan untuk ini, untuk itu,” ujarnya.
Padahal, menurut Dradjad, jika sepertiga hasil penerimaan pajak tidak dipakai untuk membayar utang maka bisa dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program. Termasuk, makan bergizi gratis. Tanpa harus menaikkan pajak rakyat.
“Kalau uang itu enggak kita pakai yang sepertiga tadi, enggak kita pakai untuk bayar utang atau yang kita pakai untuk bayar utang cuma 10 persen, itu kan banyak yang bisa dipakai untuk makan siang bergizi,” katanya.
Oleh karena itu, Dradjad menekankan bahwa kebijakan berbasis utang tidak baik dilakukan kembali oleh pemerintahan ke depan.
“Saya tidak ingin mengatakan bahwa kebijakannya sudah salah besar atau apa segala macam, enggak lah, apalagi PAN kan bagian dari koalisi. Tapi, saya ingin, ya kita harus merefleksikan dirilah, melihat gitu loh kebijakan pembangunan yang berbasis utang enggak bisa diterusin,” ujarnya menegaskan.
Dianggarkan Rp 71 triliun
Diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada 2025.
"Untuk program Presiden Terpilih Makan Bergizi Gratis sebesar Rp 71 triliun sudah ada di sini (RAPBN 2025), nanti akan dijelaskan dari tim makan bergizi gratis yang terus disempurnakan," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta pada 16 Agustus 2024.
Adapun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis ini masuk ke dalam kategori anggaran pendidikan sebesar Rp 722,6 triliun. Anggaran pendidikan tersebut akan digunakan untuk peningkatan akses san kualitas pendidikan melalui PIP, KIP Kuliah, BOS, BOP PAUD, dan beasiswa LPDP.
Kemudian pemberian makan bergizi gratis, renovasi sekolah, dan pembangunan sekolah unggulan serta penguatan link and match dengan pasar kerja (vokasi dan sertifikasi).
Badan Gizi Nasional
Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana mengatakan, anggaran makan bergizi gratis sebesar Rp 71 triliun seluruhnya akan dikelola oleh lembaganya.
Menurut Dadan, peruntukkan anggaran tersebut mencakup pelaksanaan program makan bergizi gratis dan operasional badan gizi itu sendiri. Serta, membayar gaji pegawai di Badan Gizi Nasional.
"Iya (semua ada di Badan Gizi). Enggak (tidak dipecah-pecah di kementerian lain)," ujar Dadan di Istana Negara, Jakarta pada 19 Agustus 2024.
"(Rp 71 triliun) menyangkut seluruh program Badan Gizi,” katanya lagi.
Dadan menambahkan, nantinya Badan Gizi Nasional akan menggandeng pihak swasta. Sebab program makan bergizi nasional dilaksanakan setiap hari dan menyangkut target yang besar.
Sebagaimana diketahui, makan bergizi gratis adalah salah satu program prioritas dari Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
- Hits: 121
Dradjad Wibowo: Pak Prabowo Tak Pernah Katakan Akan Menaikkan Utang Luar Negeri
Kompas.com - 18/09/2024, 11:14 WIB
Novianti Setuningsih
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo mengatakan, Presiden RI terpilih Prabowo Subianto tidak pernah mengatakan bakal menaikkan utang luar negeri mencapai 50 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
"Pak Prabowo tidak pernah mengatakan kita akan menaikkan itu (utang luar negeri). Jadi, bukan mengatakan bahwa di bawah kepemimpinan beliau, beliau akan menaikkan 50 persen, enggak, enggak pernah,” kata Drajad dalam program Gaspol Kompas.com yang tayang di YouTube Kompas.com pada 16 September 2024.
Bahkan, Dradjad menegaskan bahwa Prabowo tidak pernah mengatakan bakal meningkatkan utang luar negeri dalam debat calon presiden (capres)
Diketahui, dalam debat capres pada 7 Januari 2024, Prabowo sempat mengatakan bahwa Indonesia tidak akan default jika memiliki utang luar negeri mencapai 50 persen.
"Yang penting utang itu produktif, itu saya setuju. Tapi kita bisa (utang luar negeri) sampai 50 persen, enggak ada masalah. Kita tidak pernah default. Kita dihormati di dunia," kata Prabowo saat itu.
Lebih lanjut, Dradjad menjelaskan perihal anggapan yang mengatakan rasio utang luar negeri mencapai 60 persen dari PDB masih tergolong aman.
Menurut dia, anggapan itu berasal dari dunia internasional yang semustinya tidak bisa disamaratakan pada semua negara.
“Pandangan bahwa utang itu masih aman sampai 60 persen dari PDB itu secara internasional memang begitu. Amerika lebih besar malah utangnya. Jepang malah 100 persen lebih, saya lupa 120 persen kalau enggak salah ya,” ujarnya.
Namun, dia mengungkapkan, Amerika memiliki tax ratio atau rasio penerimaan pajak dari PDB yang tinggi. Oleh karena itu, anggapan 60 persen itu tidak bisa berlaku di Indonesia yang penerimaan pajaknya masih belum maksimal dan setengah hasilnya untuk membayar utang.
Kemudian, Dradjad menyebut, nilai mata uang dollar hingga surat utang Amerika tidak bisa disamakan dengan produk yang dikeluarkan Indonesia.
“Amerika kalau nyetak uang, surat utang itu relatif gampang lakunya, semua orang beli. Jadi, ketika dia butuh duit untuk ngutang lagi gampang. Kita enggak seperti mereka karena rating kita jauh lebih rendah, sehingga kita harus lakukan macam-macam untuk supaya surat utang kita laku,” katanya.
Menurut Dradjad, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperbesar bunga dari penjualan surat utang.
Dengan pertimbangan tersebut, ekonom senior Indef ini mengaku, menjadi bagian dari yang tidak sepakat dengan kebijakan berbasis utang.
"Makanya saya bukan orang yang sepakat dengan (rasio utang) 60 persen (dari PDB) aman buat Indonesia karena situasinya berbeda. Yang kedua juga, saya melihat banyak sumber penerimaan yang harusnya bisa digali,” ujarnya.
Untuk bayar utang
Sebelumnya, Dradjad membahas soal penerimaan pajak yang dianggapnya belum maksimal selama ini. Sebab, yang benar-benar berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya sekitar 7-9 persen dari yang seharusnya 10 persen.
Padahal. dia menyebut, satu persen dari penerimaan pajak itu jumlahnya sangat tinggi karena Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini sekitar Rp 21.000 triliun. “Jadi, kalau satu persen itu artinya Rp 210 triliun.
Jadi, kalau selisih satu persen itu kita kehilangan Rp 210 triliun. Itukan besar banget. Sudah (buat) makan siang (makan bergizi gratis), sudah berapa itu kan,” ujarnya.
Kemudian, Dradjad berbicara mengenai penerimaan pajak yang dipakai untuk membayar utang negara. Dari penelusuran dan perhitungannya, negara membayar pokok dan bunga utang sekitar 50 persen dari pajak yang dikumpulkan DJP.
“Itu separuh lebih (penerimaan pajak) habis buat bayar utang pokok dan bunganya. Kalau kita pakai rasio ke penerimaan negara, itu sekitar sepertiga. Jadi, (misalnya) Anda punya penghasilan katakanlah Rp 100 juta, terus Rp 33 juta habis untuk bayar utang. Itukan besar sekali, porsi yang besar dari penghasilan negara ya,” katanya.
Dia pun mengatakan bahwa utang tersebut merupakan utang lama yang masih harus dicicil atau dibayar hingga saat ini.
“Nah, ketika harus bayar lalu negara uangnya kurang, apa? Ya narikin dari rakyat. Negara ujungnya apa? Ngatong ke rakyatnya. Makanya, kemudian ada PPN dinaikan, ada ini dinaikkan, harus ngumpulin uang untuk tambahan untuk BPJS, dana pensiun, tambahan untuk ini, untuk itu,” ujarnya.
Padahal, menurut Dradjad, jika sepertiga hasil penerimaan pajak tidak dipakai untuk membayar utang maka bisa dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program. Termasuk, makan bergizi gratis. Tanpa harus menaikkan pajak rakyat.
“Kalau uang itu enggak kita pakai yang sepertiga tadi, enggak kita pakai untuk bayar utang atau yang kita pakai untuk bayar utang cuma 10 persen, itu kan banyak yang bisa dipakai untuk makan siang bergizi,” katanya.
- Hits: 125
Dradjad Wibowo Sebut Penunjukan Seskab Baru Bisa Jadi Alat Menguji Calon Menteri Prabowo
Kompas.com - 18/09/2024, 05:38 WIB
Novianti Setuningsih
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mengatakan, ada dua opsi terkait pengisian jabatan Sekretaris Kabinet (Seskab) yang akan ditinggalkan Pramono Anung per tanggal 22 September 2024.
Diketahui, Pramono Anung maju dan ditetapkan menjadi calon gubernur (cagub) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024.
Opsi pertama, menurut Dradjad, cukup digantikan oleh pelaksana tugas (plt) apabila pertimbangannya adalah administrasi pemerintahan biasa.
“Kalau pertimbangannya adalah administrasi pemerintahan biasa, manajemen pemerintahan biasa, itu di-plt-kan sudah cukup,” kata Drajad mengenai calon menkeu dalam program Gaspol Kompas.com yang tayang di YouTube Kompas.com pada 16 September 2024.
Opsi kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reshuffle dengan menunjuk menteri baru untuk mengisi posisi yang ditinggal Pramono Anung. Sekaligus menguji calon menteri dari pemerintahan berikutnya yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto.
“Tapi, kalau pertimbangannya adalah politis, misalkan katakanlah untuk testing calon menterinya Pak Prabowo ya bisa gitu. Ini kan sebagian dari penunjukan-penunjukan beliau kan testing, water testing calon menterinya Pak Prabowo,” ujarnya.
“Ya seperti tadilah Mas Thomas Djiwandono itukan water testing juga. Jadi, bisa saja. Tapi, kalau itu dilakukan, itu memang pertimbangannya bukan bagian dari manajemen pemerintahan, lebih ke persiapan untuk transisi,” kata Dradjad melanjutkan.
Untuk diketahui, Presiden Jokowi bakal purnatugas kurang dari dua bulan lagi. Tepatnya, pada 20 Oktober 2024.
Diberitakan sebelumnya, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengungkapkan, Pramono Anung sudah mengajukan mundur dari jabatannya per tanggal 22 September 2024.
Menurut Ari, surat pengunduran diri Pramono Anung tersebut telah diterima oleh Presiden Jokowi pada 2 September 2024.
"Bapak Presiden telah menerima surat dari Bapak Pramono Anung tertanggal 2 September 2024 yang isinya menyampaikan permohonan pengunduran diri dari Jabatan Sekretaris Kabinet, terhitung mulai tanggal 22 September 2024," kata Ari kepada wartawan pada 7 September 2024.
Namun, sejauh ini, Presiden Jokowi belum menandatangani surat pengunduran diri tersebut.
"Surat yang disampaikan Bapak Pramono Anung ke Presiden menyebutkan permohonan pengunduran diri terhitung mulai tanggal 22 September 2024, maka Keppres Pemberhentian sebagai Seskab akan diterbitkan menyesuaikan dengan permohonan dari Bapak Pramono Anung,” ujar Ari.
Dia pun mengatakan bahwa Jokowi akan menyetujui permohonan mundur tersebut.
"Presiden menghormati hak politik dari menteri atau pejabat setingkat menteri untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon kepala daerah,” kata Ari.
- Hits: 124
Dradjad Wibowo: Mau Buat 100 Kementerian Juga Bisa, tapi kalau Anggarannya Enggak Ada Bisa Apa?
Kompas.com - 18/09/2024, 05:25 WIB
Novianti Setuningsih
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo mengatakan, belum ada keputusan final terkait jumlah kementerian di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ke depan.
Meskipun, dia mengakui bahwa ada keinginan untuk memisahkan nomenklatur sejumlah kementerian yang ada di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
“Belum, itu (penambahan kementerian) masih wacananya, masih belum mengerucut ya, masih ada keinginan untuk ada kementerian perumahan sendiri, ada apa segala macam tapi itu masih (belum final),” kata Drajad mengenai calon Menkeu dalam program Gaspol Kompas.com yang tayang di YouTube Kompas.com pada 16 September 2024.ma
Dradjad mengungkapkan bahwa kementerian yang ada saat ini kerap tidak seharusnya disatukan karena standarnya sebenarnya berbeda.
Dia mencontohkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang seharusnya tidak disatukan. Sebab, kehutanan dan lingkungan hidup tidak identik dari sisi akademis dan ilmiah.
“Kalau kita tarik kembali ke belakang, kehutanan, perikanan, kelautan itu semua bagian dari pertanian. Pertanian dalam arti luas itu adalah semua yang terkait pemanfaatan tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Jadi, termasuk mikroorganisme, bio teknologi itu sebenarnya bisa masuk pertanian. Dulu zaman Pak Harto (Soeharto), itu kementeriannya cuma satu kementerian pertanian,” ujarnya.
Menurut dia, pemanfaatan tanaman, hewan, dan mikroorganisme, tidak selalu berkaitan dengan lingkungan. Sebab, lingkungan juga berurusan dengan bahan beracun dan berbahaya. Lalu, mencakup urusan karbon, sampah, udara dan yang lainnya.
“Pak Jokowi memutuskan digabung, ya itu lebih sifatnya adalah adimistrasi pemerintahan, politik pemerintahan. Kalau nanti diputuskan oleh Pak Prabowo itu dipisah, ya bagus juga karena lingkungan hidup itu luas sekali ya,” katanya.
Apalagi, Dradjad mengatakan, jika Indonesia ingin fokus pada transisi energi hijau dan masuk dalam perdagangan karbon.
“Itu memang harus spesial gitu karena standarnya saja beda. Ini standar dia ramah lingkungan enggaknya itu beda (kehutanan dan lingkungan hidup),” ujarnya.
Demikian juga, dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang santer isunya bakal dipisah pada masa kepemimpinan Prabowo.
Dradjad mengatakan, kedua bidang tersebut memang berbeda. Sebab, pekerjaan umum itu sebenarnya lebih mengurusi perihal air bersih, sanitasi hingga drainase. Sedangkan perumahan rakyat lebih kepada penyediaan rumah.
“Jadi, ya kalau itu dipisah juga enggak masalah. Kuncinya adalah ruang fiskalnya cukup,” kata Dradjad.
Revisi UU Kementerian Negara
Masih terkait wacana penambahan kementerian, Dradjad lantas menyinggung perihal kemungkinan membuat formal sejumlah posisi atau jabatan yang sebelumnya tidak formal.
Dia mencontohkan soal posisi ketua badan negara, satuan tugas, dan utusan khusus presiden yang bukan jabatan formal tetapi setingkat dengan menteri atau wakil menteri.
Menurut Dradjad, posisi utusan presiden itu lahir karena pembatasan ruang bagi presiden untuk mengurangi atau menambah jumlah kementerian yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
“Saya kebetulan ikut di pansus (panita khusus) Kementerian Negara itu (dulu). Jadi, memang di situ kita waktu itu restriktif sekali ngaturnya dan ruangan bagi presiden untuk menambah mengurangi itu enggak banyak,” ujar Dradjad.
“Sehingga, akhirnya kita melihat sekarang ada istilahnya itu utusan khusus presiden. Utusan khusus presiden itu levelnya setingkat menteri. Sekarang sudah ada. Utusan khusus presiden siapa coba? Ketua Umum PPP i(Partai Persatuan Pembangunan),” katanya lagi.
Oleh karena itu, dia menduga bahwa revisi UU Kementerian Negara bertujuan untuk memformalkan posisi atau jabatan seperti utusan untuk presiden tersebut.
“Sehingga, nampaknya mungkin nanti yang sifatnya tadi informal mungkin ada diformalkan dalam UU Kementerian Negara gitu,” ujar Dradjad.
Tantangan anggaran
Namun, dia mengungkapkan, tantangan utama dari menambah jumlah pos kementerian adalah anggaran. Sebab, program tidak akan berjalan tanpa adanya anggaran.
“Ketika nanti Presiden terpilih atau Pak Prabowo sudah jadi Presiden, tentu akan ngitung karena yang membatasi adalah anggaran. Kita mau bikin 100 kementerian juga bisa, tapi kalau anggarannya enggak ada, bisa apa kementeriannya. Ujungnya nanti anggaran,” katanya.
Menurut Dradjad, pemerintah nantinya harus kreatif menjadi sumber penerimaan negara lainnya di luar pajak jika ingin menambah jumlah kementerian.
“Kuncinya anggarannya harus dicari dananya lebih besar. Anggarannya harus lebih besar karena kalau enggak, ya simpel sajalah kayak kita di rumah tangga saja. Kita bisa saja pengen punya a, b, c tapi kalau uangnya enggak ada gimana,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad mengaku, bingung jika ada yang menyebutkan jumlah menteri bakal melebihi jumlah menteri pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Ya justru makanya saya juga bingung gitu loh kita aja yang di dalam belum tahu. Yang beredar di luar kayak tadi ada yang ngomong 44 menteri, kami juga bingung,” ujar Dasco pada 12 September 2024.
“Sehingga, jumlah itu ada yang bilang 44, ada yang bilang 42, ada yang bilang 40. Kita juga masih melakukan simulasi, mungkin nomenklatur maupun orang itu baru akan final H-7 atau H-5 atau kali mungkin begitu,” katanya lagi.
Dasco pun mengatakan bahwa pihaknya hingga kini masih melakukan simulasi soal jumlah kementerian, maupun nomenklatur yang akan digunakan ketika suatu pos kementerian dilebur atau dipisahkan.
"Kita juga masih melakukan simulasi, mungkin nomenklatur maupun orang itu baru akan final H-7 atau H-5 atau kali mungkin begitu,” ujar Dasco.
Namun, belum lama ini, Dasco mengonfirmasi bahwa susunan kabinet bakal diumumkan langsung usai pelantikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih pada 20 Oktober 2024.
"Rencananya begitu," ujar Dasco saat dimintai konfirmasi Kompas.com pada 16 September 2024.
Hanya saja, dia menyebut, belum ada keputusan final soal jumlah kementerian ataupun nama-nama yang akan masuk ke kabinet.
- Hits: 120
Subcategories
More Articles …
- Prabowo Ingin Bentuk Kabinet Zaken, PAN: Parpol juga Banyak Diisi Ahli dan Profesional
- TKN: Program Kerja Prabowo-Gibran Sudah Memperkirakan Perlambatan dan Risiko Ekonomi
- Prabowo Siap Bongkar 'Kutukan 10% Tax Ratio' RI, Tim Ekonomi Ungkap Strateginya
- Respons PAN soal Sosok S yang Disebut-sebut Pendamping Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta
Page 3 of 80