Keynesianisme dan Menjaga Napas APBN
Kompas.com - 06/03/2023, 05:58 WIB
Editor Palupi Annisa Auliani
JIKA dicermati mendalam, rezim ekonomi Indonesia sejak krisis Asia 1998-1999 cenderung bergerak antara neoliberalisme versus Keynesianisme.
Kebijakan neoliberal banyak difokuskan pada program penyesuaian struktural (structural adjustment programs – SAPs) dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Adapun Keynesianisme mengandalkan intervensi pemerintah terhadap perekonomian, khususnya permintaan agregat.
Ketika Indonesia menjadi pasien IMF pada awal 2000-an, SAPs menjadi mantra ekonomi. Butir-butir SAPs seperti pengetatan fiskal, liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi, serta reformasi perbankan dan keuangan, semua dijalankan dengan masif.
Saya sering mengkritik keras penerapan SAPs yang tanpa melihat kondisi riil Indonesia. Dalam rapat Komisi XI DPR 2004/2005, misalnya, saya mengungkap keharusan Indonesia menjual 16 BUMN sebagai syarat pencairan pinjaman termin kedua senilai 150 juta dollar AS dari Bank Pembangunan Asia. Syarat tersebut akhirnya dibatalkan.
Saya juga mengkritik keras liberalisasi beras dan pangan, terutama pemangkasan kemampuan Bulog. Dampaknya kita rasakan hingga sekarang. Negara kekurangan instrumen untuk menstabilkan harga beras di konsumen dan harga gabah di petani.
Pada periode pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih menjalankan sebagian dari SAPs. Tapi pada saat krisis keuangan dunia 2008-2009, beliau mengadopsi program Keynesian berupa stimulus fiskal, sebagaimana kebanyakan negara di dunia. Setelah krisis teratasi, beliau cenderung meramu SAPs dengan Keynesian.
Keynesianisme
Pada tahun pertama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menerapkan sebagian dari program SAPs. Namun setelah itu, beliau berubah semakin Keynesian.
Ini ditandai dengan pembangunan infrastruktur secara masif dengan dana APBN, mulai dari jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, hingga pembangkit listrik, dan sebagainya. Nilai proyek infrastrukturnya per saat ini Rp 3.309 triliun.
Hilirisasi dengan pemberian insentif pajak yang cukup besar, termasuk tax holiday, menjadi contoh lain dari Keynesianisme Presiden Jokowi. Terlebih lagi, hilirisasi ini ditopang dengan pelarangan ekspor, yang merupakan antitesis dari liberalisasi perdagangan.
Di tingkat global, Keynesianisme bangkit kembali pada saat dunia dilanda krisis keuangan 2008-2009. Uniknya, kebangkitan ini justru dipelopori oleh negara-negara G7 yang sangat pro-pasar dan liberal.
Mereka bahkan menabrak tabu monetisasi defisit, meski dilakukan secara tidak langsung, dengan nama quantitative easing (QE). Saat pandemi Covid-19, hampir semua negara mengadopsi “Covid-19 Keynesianism”, termasuk Indonesia.
Karena itu, ketika Indonesia memonetisasi defisit melalui burden sharing selama 2020-2022, IMF, Bank Dunia dan pasar keuangan tidak ribut. Padahal, kita melakukan monetisasi langsung melalui pembelian obligasi pemerintah oleh BI di pasar primer. Jumlahnya besar, sekitar Rp 1.144 triliun menurut Gubernur BI Perry Warjiyo.
Secara fundamental, burden sharing ini tidak banyak berbeda dengan usul pencetakan uang Rp 1.600 triliun dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Angkanya pun mirip. Karena, jika ditambah stimulus swasta Rp 400-500 triliun, nominal monetisasinya adalah sekitar Rp 1.600 triliun.
Kita ingat betapa panasnya debat tentang usulan Kadin pada saat itu. Saya menjadi satu dari sedikit ekonom yang reseptif terhadap usulan tersebut.
Sebagai pengingat, saya salin cuplikan berita 7 Mei 2020 yang mengutip pendapat saya:
… Jika mengikuti hitungan Kadin, di mana kebutuhan stimulusnya mencapai Rp 1.600 triliun, kata Dradjad, jelas 'sumur uangnya' tidak cukup.
"Jadi pertanyaan mendasarnya: Uangnya Dari Mana? BI tidak punya jawaban yang memadai. Kemenkeu juga tidak. Itu sebabnya muncul gagasan mencetak uang,” papar Dradjad.
Jika tidak mau mencetak uang, menurut Dradjad, maka harus mencari sumber selain di atas…
Pandangan saya itu didasari oleh pemikiran bahwa (1) "sumur uang" kita tidak cukup untuk mengatasi pandemi dan dampaknya, (2) karena aktivitas ekonomi dan permintaan agregat bakal anjlok, jangan-jangan selama pandemi Indonesia berada dalam kondisi New-Keynesian?
Pemikiran kedua ini tidak saya utarakan saat itu karena masih spekulatif. Spekulasi tersebut sekarang menjadi hipotesis berbasis empiris.
Karena, meski Indonesia memonetisasi defisit dalam jumlah besar, ternyata ledakan inflasi tidak terjadi bahkan ketika pertumbuhan mulai pulih. Inflasi hanya sebesar 1,68 persen (2020), 1,87 persen (2021) dan 5,51 persen (2022).
Apakah ini berarti terdapat kelengketan harga dan upah (price-wage stickiness) selama 2020-2022, atau hanya karena pergeseran kurva permintaan agregat? Saya belum tahu jawabannya karena belum melakukan riset ekonometri.
Kelengketan harga dan upah adalah fondasi dari New-Keynesianism berdasarkan asumsi kegagalan pasar seperti kompetisi tidak sempurna.
Jika memang ada kelengketan pada tahun-tahun mendatang maka Indonesia bisa menggenjot belanja negara, baik melalui kenaikan defisit maupun monetisasi defisit, tanpa banyak khawatir terhadap inflasi. Sebaliknya, jika kelengketan tidak ada, kita harus ekstra waspada terhadap inflasi. Defisit APBN perlu dijaga ketat, sementara monetisasi defisit kembali tabu.
Menjaga napas APBN
Dengan berakhirnya burden sharing, pertanyaannya, seberapa panjang napas APBN dalam mendorong pertumbuhan melalui program Keynesian? Jangan lupa, proyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) juga perlu dana besar.
Mari kita lihat infografik berikut ini untuk menganalisanya.
Terlihat dari infografik di atas, rasio belanja negara terhadap PDB cenderung menurun selama 2000-2022.
Rata-rata dunia pada 2021 adalah 16,83 persen dan Indonesia berada di bawah rata-rata tersebut. Pada 2022 rasio, Indonesia malah turun menjadi 13,9 persen. Kenaikan pada 2020 lebih disebabkan oleh kontraksi PDB akibat pandemi. Turunnya kinerja Indonesia ini tampaknya terkait dengan rendahnya tax ratio.
Pada 2022, peranan pengeluaran pemerintah dalam pembentukan PDB juga anjlok menjadi 7,7 persen. Hal ini harus mendapat perhatian yang sangat serius karena level 6-7 persen itu hanya kita alami saat pemulihan krisis 1998-1999, yaitu pada 2000-2002. Setelah itu angkanya berkisar 8-9 persen.
Terobosan penerimaan dan IKN
Jadi, ketika APBN masih diinjeksi Bank Indonesia (BI) sekalipun, sudah terlihat gejala APBN mulai kekurangan napas dalam membentuk PDB. Karena itu, terobosan penerimaan mutlak harus dicari. Jelas tidak mudah, apalagi dengan memburuknya reputasi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
Salah satu terobosan tersebut adalah terkait teknologi informatika (TI). Seorang ahli TI Ditjen Pajak pernah mengajari saya, sistem TI bisa dibangun untuk mengurangi kebocoran pajak pertambahan nilai (PPN).
Selain TI, ada beberapa jenis operasi khusus yang bisa dilakukan untuk menekan penghindaran dan dan penggelapan pajak atau cukai.
Kita juga perlu inovasi produk keuangan sebagai salah satu sumber pembiayaan IKN. Inovasi ini melibatkan berbagai bentuk swap (pertukaran). Perubahan regulasi yang dibutuhkan relatif minim.
Satu hal yang jelas, inovasi ini haruslah bukan monetisasi defisit dan tidak menambah utang negara.
https://money.kompas.com/read/2023/03/06/055832426/keynesianisme-dan-menjaga-napas-apbn?page=4
- Hits: 448
Tentang Pertumbuhan Ekonomi (PE) 5% “Ndasmu”.
Tentang Pertumbuhan Ekonomi (PE) 5% “Ndasmu”.
Dradjad Wibowo
“Itu wujud kejengkelan Prabowo kepada narasi yang dipakai pemerintah bahwa PE 5% itu hebat. Sudah termasuk tertinggi di G20.
Mari lihat sejarah mulai Orde Baru. Pertanyaan saya, dengan pengecualian masa krisis ekonomi dan pemulihannya (1998-2004), kapan Indonesia puas dan bangga dengan 5%? Tidak pernah!
Selama tiga dekade lebih kepemimpinan pak Harto, hanya 4 kali PE Indonesia berada di bawah 5%. Yaitu tahun 1975, 1983, 1985 dan 1987. Itu pun, pada tahun 1975 dan 1987 angkanya 4,98% dan 4,93%.
Kecuali keempat tahun tersebut, PE Indonesia selalu di antara 5-10%. Bahkan ketika apes mendekati 5% pun, angkanya masih di atas 5,5%. Frekwensi terbanyak PE berada pada 6%-9%.
Pada tahun 1968 PE Indonesia sempat dua-dijit, yaitu 10,92%. Setelah itu kita tidak pernah lagi dua-dijit, hanya pada tahun 1980 pernah 9,88%.
Selama masa krisis dan pemulihannya, angka 5% tergolong mewah. Maklum kita harus pulih dari PE yang minus 13,13% pada tahun 1998. Itu sebabnya periode ini perlu dikecualikan.
Selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY, Indonesia pun selalu berusaha mencapai PE yang tinggi. Tidak pernah angka 5% dianggap hebat.
Kenapa kita memerlukan PE cukup tinggi? Salah satu alasannya adalah untuk menampung pertambahan pencari kerja baru. Rasio penciptaan kerja yang wajar adalah sekitar 300-400 ribu tambahan orang bekerja per 1% PE. Itu berdasarkan pengalaman historis sejak masa pak Harto. Jika rasionya naik ke 500 ribu, sebenarnya sudah aneh. Tapi masih sedikit bisa ditolerir mengingat besarnya peranan sektor informal.
Pertumbuhan yang terlalu tinggi ada ekses negatifnya. Ekonomi Indonesia dikenal cepat panas. Pertumbuhan yang tinggi sering diikuti inflasi yang tinggi pula, sehingga menggangu stabilitas makro.
Itu sebabnya, konsensus tidak tertulisnya adalah kita harus mengejar PE sekitar 6-7%. Itu angka yang cukup untuk menyediakan lapangan kerja, pendapatan per kapita rakyat meningkat cukup memadai, sementara inflasi terkendali, demikian juga dengan nilai tukar Rupiah dan suku bunga.
Dengan kata lain, terjadi keseimbangan antara Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas. Dugaan saya, ketika pak Jokowi menjanjikan PE 7%, tidak lepas dari pertimbangan di atas.
Sekarang tiba-tiba PE 5% ini dinarasikan sebagai sudah hebat. Masyarakat diminta puas dengan 5%. Jangan karena gagal 7% lalu masyarakat dicekoki dengan narasi ini.
Seharusnya yang dilakukan adalah, ayo kita cari cara bersama-sama mencapai PE 6-7% tersebut.
Artikel ini dimuat :
- Hits: 1543
Rasio Pajak 16%, Mungkinkah?
Dradjad H. Wibowo
Kemarin (18/1/2019) banyak jurnalis yang bertanya kepada saya tentang target rasio pajak 16% yang disampaikan mas Prabowo dalam debat 17 Januari 2019. Mengingat ruang dalam berita online biasanya terbatas, saya tuliskan jawaban saya dalam sebuah artikel yang sedikit lebih panjang.
Walaupun isunya berasal dari debat Capres-Cawapres, tulisan ini saya siapkan non-politis. Ini karena rasio pajak dan penerimaan negara dalam APBN adalah kepentingan kita semua. Apapun warna politik kita, jika APBN kurang sehat, kita semua dirugikan. Presiden, konglomerat hingga pegawai, buruh tani, pelajar dan mahasiswa, semuanya dirugikan. Jadi isu ini memang kepentingan dan tanggung jawab kita bersama.
Presiden Jokowi melalui Nawacita pernah menargetkan rasio pajak 16% dalam masa kepemimpinannya. Ternyata target tersebut sangat sulit dicapai.
Rasio pajak dalam arti sempit, yaitu yang dicapai oleh Ditjen Pajak (DJP), hanya sekitar 8,4% pada tahun 2017. Untuk rasio pajak dalam arti luas, pada akhir pemerintahan pak SBY mencapai 13,7% tahun 2015. Di masa pak Jokowi angkanya anjlok terus, menjadi 11,6% pada tahun 2015, 10,8% pada tahun 2016 dan 10,7% pada tahun 2017. Untuk tahun 2018 dan 2019 targetnya adalah 11.6% dan 12,1%. Kita masih menunggu realisasi 2018 setelah audit.
Sekarang mas Prabowo menargetkan 16% juga, untuk rasio pajak dalam arti luas, dalam waktu 5 tahun. Sama dengan pak Jokowi. Apa strateginya agar hal ini bisa dicapai?
Harus diakui, menaikkan rasio pajak itu adalah pekerjaan yang amat sangat berat sekali. Jangankan naik 5%, naik 1% saja sudah sangat “ngos-ngosan”. Bahkan untuk mempertahankan rasio pajak saja sudah sulit. Penyebab utamanya adalah karena basis pajak kita masih relatif rendah. Ini antara lain karena kesadaran dan ketaatan pajak yang rendah.
Oleh sebab itu, kita harus berani mengambil langkah terobosan dalam menaikkan basis pajak. Langkah pertama yang bisa ditempuh adalah dengan memanfaatkan Kurva Laffer.
Kurva ini diperkenalkan oleh Arthur B. Laffer, ekonom Amerika Serikat yang pernah menjadi anggota Economic Policy Advisory Board dari Presiden Ronald Reagan. Yang layak dihormati, Laffer secara terbuka mengakui bahwa kurva tersebut antara lain mengambil gagasan dan observasi dari Ibnu Khaldun (1342-1406), seorang pemikir Islam terkenal kelahiran Tunisia.
Gagasan Ibnu Khaldun tersebut tertuang dalam buku Muqoddimah, karya fenomenal yang dipublikasikan pada tahun 1377. Muqoddimah ini memuat berbagai topik, mulai dari ilmu agama Islam, sosiologi, politik hingga ilmu ekonomi, kimia dan biologi.
Di bidang ekonomi, Muqoddimah membahas banyak hal, termasuk pertumbuhan, penawaran permintaan, modal sumber daya manusia, ekonomi tenaga kerja dan pengaruh teknologi. Muqoddimah diakui sebagai versi awal dari mahzab ekonomi Keynesian. Bahkan Supply-Side Economics (SSE) yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Ronald Reagan (1981-1989) juga terinspirasi antara lain oleh Ibnu Khaldun dan Muqoddimah-nya.
Terkait Kurva Laffer, yang menjadi salah satu sumber gagasan Laffer adalah observasi Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah yang menyebutkan “Pada awal dinasti diperoleh penerimaan perpajakan yang besar dari penilaian (tarif / nilai obyek pajak) yang rendah. Pada akhir dinasti, penerimaan perpajakannya rendah, berasal dari tarif yang tinggi”. Ibnu Khaldun juga menyatakan “(tarif) pajak yang tinggi sering menjadi salah satu penyebab ambruknya sebuah kerajaan, karena (tarif) pajak yang tinggi menghasilkan penerimaan (negara) yang lebih rendah”.
Dalam Kurva Laffer, penerimaan pajak adalah 0 pada saat tarif 0%, lalu naik menuju penerimaan pajak maksimum pada tarif optimal tertentu, kemudian turun lagi menuju 0 pada tarif 100%. Secara visual, Kurva Laffer digambarkan sebagai sebuah lonceng terbalik. Loncengnya tidak simetris, meski bisa saja pada kasus tertentu loncengnya simetris. Puncak lonceng dicapai pada saat tarif pajak optimal.
Berapakah tarif pajak yang optimal itu? Setiap negara tentu berbeda-beda. Bahkan di dalam satu negara, tingkat optimal tersebut bisa berubah antar kurun waktu yang berbeda.
Bukti empiris tentang Kurva Laffer memang masih diperdebatkan. Yang dipakai Laffer sebagai bukti adalah pajak di Rusia, negara-negara Baltik dan pajak dalam beberapa periode di Amerika Serikat. Tapi argumen yang tidak setuju dengan Kurva Laffer juga cukup kuat, terutama dari mereka yang anti terhadap SSE-nya Presiden Reagan. Laffer memang salah satu tokoh utama SSE. Dia juga menjadi salah satu penasihat ekonomi Donald Trump dalam Pilpres 2016.
Apakah Kurva Laffer bisa menaikkan basis pajak dan rasio pajak di Indonesia. Secara logika, jawabnya bisa. Mengapa?
Pertama, salah satu penyebab dari rendahnya basis pajak adalah karena maraknya profit shifting (pemindahan keuntungan) oleh perusahaan Indonesia ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Mereka membuat perusahaan perdagangan di negara tersebut sehingga bagian terbesar dari keuntungannya berada di sana.
Dengan cara di atas, mayoritas keuntungan mereka akan terkena pajak penghasilan yang rendah. Sementara itu, sebagian kecil keuntungannya tetap ditahan di Indonesia dan terkena tarif PPh yang lebih tinggi. Hasilnya, dia bisa menghemat pajak yang cukup besar
Hitungan sederhananya, katakanlah keuntungan mereka Rp 100. Yang Rp 80 ditempatkan di negara lain, terkena pajak 17% atau Rp 13,6. Sisanya yang Rp 20 tetap di Indonesia, kena pajak 25% atau Rp 5. Total pajak yang dibayar Rp 18,6. Istilahnya, tarif pajak efektif mereka adalah 18,6%.
Jika semua keuntungannya berada di Indonesia, mereka membayar pajak Rp 25. Jika yang ditaruh di Indonesia 50:50, total pajaknya Rp 21. Jadi semakin besar mereka memindahkan keuntungan, semakin besar penghematan pajaknya.
Mungkin kita marah, dan itu wajar. Tapi kita hidup di era globalisasi, terutama keuangan dan teknologi informasi. Banyak perusahaan multinasional yang dituding menghindari pajak, seperti Apple, Google, Amazon, Starbucks dan sebagainya. Konglomerat Indonesia itu sama seperti para multinasional, memanfaatkan lubang penghindaran pajak.
Karena itu, lubang tersebut harus ditutup semaksimal mungkin. Salah satunya adalah dengan membuat tarif pajak Indonesia kompetitif, sehingga perusahaan rugi jika melakukan profit shifting. Ini karena, biaya transaksi, administrasi, kepatuhan dan lain-lain menjadi terlalu mahal dibandingkan dengan pajak yang dihemat. Hasilnya, porsi keuntungan yang ditahan di Indonesia menjadi lebih besar, sehingga basis pajak pun membesar.
Kedua, tarif yang terlalu tinggi membuat wajib pajak lebih senang ber-KKN dengan aparat pajak maupun hakim pengadilan pajak. Biaya menyogok mereka jauh lebih murah dibanding membayar pajak dengan benar. Jika tarifnya turun, buat apa menyogok lagi?
Ketiga, dengan tarif yang rendah, kampanye kesadaran pajak bisa lebih efektif. Demikian juga dengan penegakan aturan perpajakan. Mereka yang mampu tapi malas membayar pajak akan malu dengan kampanye itu. Sudah tarifnya rendah, koq masih ngemplang. Berarti anda memang kebangetan. Negara pun mempunyai posisi psikologis yang lebih kuat untuk menegakkan aturan perpajakan, mulai dari intelijen pajak, pemeriksaan hingga tindakan hukum.
Keempat, tarif pajak kita memang relatif kurang kompetitif, termasuk dibandingkan negara tetangga kita. Mereka tarifnya lebih rendah tapi rasio pajaknya lebih besar dari kita.
Kelima, penurunan ke tarif optimal tertentu diharapkan dapat memicu pertumbuhan menjadi 6% atau malah lebih. Jadi kue yang bisa dipajaki melalui PPh, PPN, pajak perdagangan, PBB, bea dan cukai akan membesar jauh lebih cepat.
Itu alasan logisnya. Tentu tidak cukup kalau kita hanya mengandalkan Kurva Laffer saja. Banyak pekerjaan rumah yang harus digarap serius.
Contohnya, kita perlu menerapkan teknologi informasi secara masif di seluruh Indonesia. Ini agar lubang PPh dan PPN bisa dikurangi. Penerimaan PPN misalnya, masih terlalu rendah karena banyak transaksi ekonomi yang tidak masuk ke dalam sistem perpajakan. Belum maksimalnya pemakaian teknologi informasi adalah salah satu penyebabnya.
Kita juga perlu penegakan hukum yang tegas, termasuk terhadap kasus pajak yang sudah inkracht. Karena, terdapat tagihan puluhan triliun dalam kasus-kasus ini. Kita perlu menyederhanakan ketentuan umum dan prosedur perpajakan, agar masyarakat nyaman masuk ke dalam sistem pajak. Perlu penguatan SDM pajak dan pengawasan internal, sehingga intelijen dan pemeriksaan pajak bisa lebih efektif. Perlu perlindungan fisik terhadap aparat pajak di daerah yang rawan. Perlu lebih mengefektifkan obyek pajak, baik dalam PPh, PPN maupun PBB.
Banyak sekali memang pekerjaan rumahnya. Tapi itu semua harus dilakukan, jika ingin APBN lebih kokoh karena ditopang oleh rasio pajak yang meningkat.
https://www.rmol.co/read/2019/01/19/375713/Rasio-Pajak-16-Persen,-Mungkinkah--
- Hits: 1875
*Soal Freeport, Pencitraannya Kelewatan Bingit*
*Dradjad Wibowo*
Anggota Wanhor PAN
Ekonom Senior Indef
Seandainya pemerintah mengumumkan hasil negosiasi dengan Freeport Indonesia (FI) apa adanya, tentu kita harus meng-apresiasi. Negosiasi ini sangat alot dan sudah berjalan sekitar setahun. Perlu kerja keras dari pihak Inalum dan pemerintah. Saya percaya, bos Inalum Budi Sadikin akan mati-matian mencari deal terbaik bagi Indonesia. Dia dulu seorang bankir yang profesional dan hati-hati.
Sayangnya, pencitraan yang dilakukan oleh oknum pemerintah sangat kelewatan. Sangat membodohi rakyat. Saking berhasilnya, tidak sedikit yang menulis “terima kasih pak Jokowi” tanpa melakukan fact-check. Sampai-sampai seorang mahasiswa Indonesia di Inggris pun melakukan kebodohan yang sama.
Saya mendukung penuh usaha pemerintah mengambil alih saham mayoritas FI. Yang saya kritisi adalah pencitraan dan pembodohan rakyat yang kelewatan.
Mari kita lakukan fact-check.
1. Apa yang sudah disepakati? Jawabnya, lebih pada soal harga. Tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan Inalum), Freeport-McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto sepakat pada harga US$ 3.85 milyar, atau sekitar Rp 55 triliun. Ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI.
Rio Tinto terlibat dalam negosiasi karena dia ber-joint venture dengan FCX, di mana hingga 2021 dia berhak atas 40% dari produksi di atas level tertentu dan 40% dari semua produksi sejak 2022. Gampangnya, meskipun FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40% produksinya sudah di-ijon-kan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini.
2. Apakah Freeport sudah direbut kembali seperti klaim bombastis yang beredar? BELUM! Transaksi ini masih jauh dari tuntas. Kepada media asing seperti Bloomberg dan lainnya, pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.
Dalam berita Bloomberg, Rio secara resmi menyatakan “Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed”. Jadi, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas.
Menurut Freeport dalam berita Bloomberg, isu besar itu adalah: (a) hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041, (b) butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan (c) kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.
3. Lalu kenapa pada bulan Juli 2018 tercapai kesepakatan harga? Dugaan saya, ini tidak lepas dari fakta bahwa IUPK sementara (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) bagi FI habis pada 4 Juli 2018. Melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang.
4. Harganya mahal atau tidak? Saya belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi yang jelas, sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$ 3.5 milyar. Tidak mau nego. Indonesia akhirnya menyerah, terima harga US$ 3.5 milyar, ditambah US$ 350 juta bagi FCX.
Sebagai perbandingan, pada 1 November 2013 Indonesia “merebut kembali” Inalum dari Jepang. Pihak Jepang, yaitu NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga US$ 626 juta. Pemerintah ngotot US$ 558 juta. Jadi ada selisih US$ 68 juta. Jepang akhirnya takluk.
Mungkin memang lebih mudah mengalahkan Jepang dibandingkan “koalisi” dari AS, Inggris dan Australia.
5. Sebagai catatan, aset Inalum saat ini sekitar Rp 90 triliun. Dengan kesepakatan harga US$ 3.85 milyar, transaksi ini nilainya setara 61% aset Inalum. Saya ingatkan, jangan sampai Inalum over-stretched, yang bisa menjadi masalah besar di kemudian hari.
Berdasarkan fakta di atas, jelas bahwa Freeport belum “direbut kembali”. Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas. Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang. Qulil haqqa walau kaana murran.
Artikel ini di muat pada :
https://finance.detik.com/energi/d-4112761/benarkah-ri-sudah-kuasai-51-saham-freeport
http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/07/13/dradjad-wibowo-freeport-belum-direbut-kembali
http://www.tilik.id/read/2018/07/13/4940/ekonom:-soal-freeport-pencitraannya-kelewatan--banget-
https://telusur.co.id/2018/07/13/ekonom-pencitraan-pemerintah-kelewatan-banget-soal-freeport/
https://telusur.co.id/2018/07/13/ekonom-pencitraan-pemerintah-kelewatan-banget-soal-freeport/
https://www.inews.id/finance/read/179905/ekonom-freeport-indonesia-belum-direbut-kembali
- Hits: 2104
Tidak Ada Perang Dagang dengan AS
Dradjad H. Wibowo
Ekonom Senior Indef
Lektor Kepala Perbanas Institute
Anggota Wanhor PAN
Pagi tadi saya mendapat kiriman link berita yang berisi ancaman perang
dagang dari Trump terhadap Indonesia. Indonesia pun dengan gagah menyatakan
siap melakukan serangan balik. Sumbernya antara lain adalah Menteri Perdagangan
Enggartiasto Lukita dan Ketua Apindo Sofyan Wanandi, yang juga staf khusus
Wakil Presiden.
Saya tentu saja kaget, tapi juga geli. AS diklaim mengancam perang dagang dengan Indonesia? Lucu.
Biar jelas, mari kita lihat faktanya. Dalam perdagangan internasional ada yang disebut Generalized System of Preferences (GSP). GSP adalah sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum WTO / Organisasi Perdagangan Dunia.
Singkatnya, melalui GSP satu negara bisa memberi keringanan tarif bea masuk kepada eksportir dari negara-negara tertentu, biasanya dari negara miskin. Sementara itu eksportir negara kaya tetap dikenakan aturan umum WTO.
Sejak 1974 Amerika Serikat (AS) sangat banyak memberikan GSP. Saat ini setidaknya terdapat 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapat GSP dari AS. Jumlah produk yang diberi GSP sekitar 5000-an item.
Selain untuk membantu pembangunan negara miskin, GSP juga bertujuan mempromosikan nilai-nilai Amerika, termasuk demokrasi dan supremasi hukum. Jadi jelas, GSP adalah salah satu alat politik luar negeri AS untuk menjaga pengaruh dan dominansi globalnya.
Negara hebat seperti China, negara G7, Uni Eropa, Rusia, Australia, dan Selandia Baru tidak meminta dan tidak menerima GSP. Dari ASEAN, ada Singapura dan Malaysia.
Indonesia sendiri justru menjadi salah satu penerima GSP, bersama negara ASEAN lain yaitu Thailand, Filipina, Kamboja dan Myanmar.
Setiap tahun United States Trade Representative (USTR) mengadakan review terhadap penerima GSP.
Jauh sebelum Trump berkuasa, Indonesia sudah masuk review kelayakan GSP dan priority watch list (PWL) dari USTR dalam kriteria hak kekayaan intelektual (HAKI). Jadi kelayakan GSP Indonesia bisa dicabut jika gagal memenuhi kriteria HAKI.
Nah pada tanggal 13 April 2018 USTR mengumumkan akan melakukan review kelayakan GSP terhadap 3 negara yaitu Indonesia, India dan Kazakhstan. Indonesia akan dinilai dalam kriteria akses pasar serta kriteria jasa dan investasi. India dalam kriteria akses pasar, sedangkan Kazakhstan kriteria hak pekerja.
Secara spesifik, yang menjadi sorotan USTR adalah terkait industri obat-obatan, kimia/pertanian dan beberapa aturan sektor jasa/investasi yang dinilai tidak fair.
Itulah yang sebenarnya terjadi. Yaitu, review apakah Indonesia masih layak mendapat GSP. Dulu hanya HAKI, sekarang ditambah 2 kriteria: akses pasar serta jasa dan investasi. Apakah memberatkan kita? Tentu saja! Tapi ini bukan perang dagang. AS berbelas-kasihan ke kita. Dan sekarang mau ngecek apakah Indonesia masih pantas dibelas-kasihani.
Dari sisi skala impor pun, Indonesia “gak level” diajak perang dagang AS. Impor AS dari Indonesia relatif sangat kecil. Hanya US$ 19.6 milyar pada tahun 2015 sesuai data US International Trade Commission. Ini hanya sekitar 1/25 atau 4,1% dibanding impor dari China, 1/15 Kanada atau Meksiko, lebih dari 1/7 Jepang dan hampir 1/6 Jerman. Terlalu kecil.
Yang aneh, meski sudah dapat GSP, Indonesia adalah pembayar tarif bea masuk terbesar kelima di AS, sebesar US$ 1.3 milyar pada tahun 2015. Ini membuat Indonesia terkena tarif efektif sebesar 6,4%, dua kali lipat China yang tanpa GSP tapi hanya kena 3%. Parah kah? Jadi untuk apa AS perang dengan Indonesia? Wong diplomat Indonesia selama ini sudah lemah dalam negosiasi tarif bagi negaranya.
Kesimpulannya, tidak ada ancaman perang dagang dari AS. Daripada gagah-gagahan di dalam negeri, lebih baik pemerintah kerja kerja dan kerja menurunkan tarif efektif di atas.
Artikel ini dimuat Pada :
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4101697/memangnya-ada-perang-dagang-as-dengan-ri
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4101697/memangnya-ada-perang-dagang-as-dengan-ri
http://m.akurat.co/id-248336-read-tidak-ada-perang-dagang-dengan-as
- Hits: 2144
More Articles …
Page 1 of 2