Manajemen Sisa Makanan (Food Waste) dan Program Makan Bergizi Gratis (MPG)

Info Brief

 

 

Manajemen Sisa Makanan (Food Waste) dan Program Makan Bergizi Gratis (MPG)

Kirsfianti L. Ginoga

 

Sampah domestik di Indonesia didominasi oleh sisa makanan (food waste, FW). Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/data)   jumlah timbulan sampah Tahun 2023 dari 375 kabupaten/kota seluruh Indonesia sebesar 40,1 juta ton. Dari jumlah timbulan sampah  tersebut, sisa makanan merupakan porsi sampah yang terbesar (38.96%), Gambar 1. Berdasarkan penelitian yang diadakan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2017, rata-rata orang Indonesia membuang pangan sekitar 300 kilogram setiap tahunnya. Padahal, sekitar 8,34 persen penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan pangan. Belum lagi dampak potensi pemanasan global akibat FW.  Selama 20 tahun terakhir tingkat emisi GRK yang dihasilkan dari FW diperkirakan mencapai 1.702,9 Mton CO2-e atau setara dengan 7,29% rata-rata emisi GRK di Indonesia selama 20 tahun (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, 2021).

Untuk meningkatkan dan mengamankan ketahanan pangan di Indonesia, Indonesia telah berkomitmen untuk memajukan pengelolaan FW. Berdasarkan Pedoman Strategi Nasional (Perpres 97/2017), pengelolaan sampah bertujuan untuk mengurangi 30% dan 70% penanganan sampah pada tahun 2025. Namun, peraturan dan penanganan FW yang ada saat ini tidak cukup untuk mencapai target tersebut.

Pengelolaan FW dapat menjadi sumber ekonomi dengan menurunkan biaya pangan operasional dan meningkatkan keandalan dan ketahanan terhadap faktor-faktor lain, seperti perubahan iklim.

 

Gambar 1. Komposisi Sampah Berdasarkna Jenis, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah

               Nasional (sipsn.mnlh.go.id)

 

Tulisan ini bertujuan untuk mengukur potensi timbulnya FW dalam program MBG dan memberikan peraturan pemerintah yang terintegrasi serta rekomendasi teknis mengenai teknologi saat ini untuk meningkatkan penerapan pengeloaan FW dalam program MBG di Indonesia. Teknologi pengolahan yang diusulkan dibahas dalam konteks masalah teknis, ekonomi, dan lingkungan.  

 

Potensi timbulnya FW dalam program MBG

Menurut Global Food Security Indeks (GFSI) 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-69 dari 113 negara dalam hal ketahanan pangan. Indeks ini mengukur ketahanan pangan berdasarkan atas keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi dan keamanan pangan, serta ketahanan sumber daya alam. Pada parameter lain, Indonesia juga mencatatkan tingkat kelaparan di posisi kedua tertinggi di Asia Tenggara, berdasarkan Global Hunger Indeks (GHI) tahun 2023. Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa pada tahun 2021, sekitar 26,5% rumah tangga di Indonesia memiliki akses terbatas terhadap pangan bergizi. Program Makan Bergizi Gratis menjadi solusi dengan harapan multiplier effek yang tinggi mulai tingkat konsumsi pangan, kesehatan, serta pendidikan membaik sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing pekerja, meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kemiskinan (https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/program-mbg-buka-akses-gizi-sehat-untuk-masyarakat-indonesia).

 

Gambar 2. Sasaran Program MBG 2025

 

Ketika resmi dimulai pada 6 Januari 2025, program MBG tercatat berhasil memberi makan 570 ribu anak sekolah dengan 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di 26 Provinsi di Indonesia. Adapun hingga akhir Januari 2025 program MBG telah diimplementasikan di 31 provinsi dengan total SPPG selaku unit pengelola dan pelaksana program MBG di lapangan telah beroperasi sebanyak 238 unit. Badan Gizi Nasional (BGN) menargetkan hingga April 2025 program MBG akan melayani sebanyak 3 juta penerima manfaat dengan melibatkan 932 SPPG. Penambahan SPPG akan terus dipercepat untuk memenuhi target distribusi MBG di seluruh Indonesia. Pada saat peluncuran, tercatat SPPG MBG mayoritas masih berada di Pulau Jawa, padahal tingkat stunting dan ketidakcukupan gizi paling tinggi terdapat di wilayah Nusa Tenggara timur (NTT) dan Papua. Badan Gizi Nasional (BGN) memperkirakan apabila program MBG telah berjalan penuh maka dibutuhkan 30 ribu SPPG untuk mencapai target 82,9 juta penerima manfaat.

Adapun kepala SPPG di setiap dapur ditunjuk langsung oleh BGN dan telah menempuh diklat sebelum ditempatkan sehingga memiliki kapasitas memadai dalam mengelola SPPG. Tak hanya memastikan kualitas serta kelancaran distribusi makanan, SPPG juga bertugas mengawasi kebersihan dan pengolahan limbah termasuk sisa makanan.

Satu SPPG memiliki kapasitas pelayanan harian optimal sebanyak 3000 porsi MBG dengan jangkauan maksimal sekolah penerima manfaat MBG sekitar 5-6 KM dari SPPG. Hal tersebut mengingat kapasitas dan durasi pengiriman makanan sehingga makanan bisa tepat waktu sampai ke penerima. Pengelolaan SPPG dengan karakteristik daerah dan masyarakat yang beragam menjadi tantangan tersendiri dalam operasional program MBG.

 

Gambar 3. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan FW dalam MBG

 

Kebijakan, Kelembagaan dan Standar yang Terintegrasi

Untuk meningkatkan dan mengamankan ketahanan pangan di Indonesia, Indonesia telah berkomitmen untuk memajukan pengelolaan FW. Berdasarkan Pedoman Strategi Nasional (Perpres 97/2017), pengelolaan sampah bertujuan untuk mengurangi 30% dan 70% penanganan sampah pada tahun 2025. Namun, peraturan dan penanganan FW yang ada saat ini tidak cukup untuk mencapai target tersebut.

Pengelolaan FW dapat menjadi sumber ekonomi dengan menurunkan biaya pangan operasional dan meningkatkan keandalan dan ketahanan terhadap faktor-faktor lain, seperti perubahan iklim.

 

Rekomendasi Teknis

Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain adalah Sistem MRV Teknik dan kelembagaan dalam mengukur, melaporkan dan memverifikasi FW. Hal ini mempertimbangkan penanganan FW dalam kelayakan teknis, penilaian dampak lingkungan, dan pertimbangan ekonomi.  Hal ini melibatkan penggunaan data nasional, dan analisis data lebih lanjut pada tahap yang lebih rinci diperlukan untuk mengungkap seluruh kompleksitas permasalahan. Penilaian dampak lingkungan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dampak lingkungan dari strategi pengelolaan limbah makanan untuk strategi pengelolaan limbah makanan berkelanjutan dalam mengurangi dampak lingkungan dan mendorong keberlanjutan dan menciptakan peluang ekonomi dengan mendorong ekonomi sirkular.

Gambar 4. Managemen Sisa Makanan (Food Waste) (Farahdiba et al, 2023)

 

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, menyatakan kesiapan untuk memfasilitasi pengelolaan sisa makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) memastikan sampah organik dapat dikelola secara efektif dan dimanfaatkan secara optimal, dengan fokus pada pengolahan sampah organik sisa makanan seperti kulit buah. Sampah organik dari dapur SPPG akan kami tangani untuk selanjutnya dibawa ke TPS 3R dan didistribusikan ke penggiat Biokonversi Magot Black Soldier Fly (BSF). DLH mengatakan bahwa dukungan ini mencakup penanganan sampah organik dapur (SOD) dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) hingga ke tempat tujuan MBG.

 

  • Hits: 81

Jejak Karbon Pangan

Info Brief

 

Jejak Karbon Pangan

Kirsfianti L. Ginoga

 

Salah satu penyebab pemanasan global adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir bumi, kebanyakan berupa gas karbon dioksida (CO2), yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti mengkonsumsi pangan dengan jejak karbon yang tinggi, seperti terbiasa menggunakan produk hasil produksi perusahaan dengan lokasi produksi yang jauh dari lokasi kita (impor atau akibat panjangnya proses distribusi) dimana hal tersebut menyebabkan semakin panjangnya jejak karbon setiap individu.

Jejak karbon pangan adalah total emisi gas rumah kaca (GRK) yang disebabkan secara langsung dan tidak langsung dalam makanan/pangan dalam waktu tertentu. Jejak karbon merupakan instrument penting dalam mengukur kontribusi individu, komunitas, industri,  produk, atau pangan terhadap perubahan iklim.

Jejak karbon untuk pangan dihitung dengan menjumlahkan emisi yang dihasilkan dari setiap tahapan proses pangan (produksi, pengolahan,  penggunaan, dan sisa). Dalam siklus pangan, dihasilkan GRK seperti karbon dioksida (CO), metana (CH), dan nitrogen oksida (NO). Perbedaan dalam GRK ini dihitung dengan penyetaraan terhadap potensi pemanasan global (GWP) gas tersebut dengan karbon dioksida (COe). Rumah tangga AS pada umumnya memiliki jejak karbon sebesar 4 t COe/tahun. Berdasarkan per kapita, emisi GRK yang dihasilkan oleh seorang individu di AS (14,4 t CO2e) adalah tiga kali lipat emisi rata-rata global (4,9 t CO2e).

Produksi pangan bertanggung jawab atas seperempat emisi gas rumah kaca. Banyak faktor  yang mempengaruhi jejak karbon makanan, itulah sebabnya penting untuk menjelaskan perjalanan karbon makanan dan bagaimana bisa berkontribusi terhadap perubahan iklim melalui jejak karbon pangan. Meskipun secara umum  transportasi merupakan jejak karbon makanan terbesar, selain penggunaan lahan, jenis pangan, cara budidaya dan proses produksi makanan.

 

Jenis Pangan

Makanan berbasis hewani cenderung memiliki jejak karbon yang lebih tinggi daripada makanan berbasis nabati. Emisi CO2 dari sebagian besar produk berbasis nabati sering kali 10 hingga 50 kali lebih rendah daripada produk berbasis hewani. Hal ini karena persyaratan pertanian, transportasi, dan pengemasan biasanya tidak terlalu sulit untuk produk-produk yang lebih kecil ini.

Lebih khusus lagi, daging merah sangat buruk bagi lingkungan, dengan daging sapi menghasilkan salah satu jejak karbon tertinggi sejauh ini karena pertanian berat dan emisi berbasis lahan. Kami telah mengurutkan beberapa makanan utama dari tertinggi ke terendah, berdasarkan jejak karbonnya.

Jenis pangan dan tingkat emisi

  • Daging sapi - 60 kg CO2e per kg
  • Keju - 21 kg CO2e per kg
  • Unggas - 6 kg CO2e per kg
  • Ikan (Budidaya) - 5 kg CO2e per kg
  • Pisang - 0,7 kg CO2e per kg
  • Kacang-kacangan - 0,3 kg CO2e per kg

 

Mengurangi Emisi Karbon dari Pola Makan

Salah satu saran yang paling sering untuk mengurangi jejak karbon dan pembangunan  berkelanjutan adalah mencari sumber makanan lokal, dan hemat energi. Hospido dkk. (2009) memperkirakan bahwa mengimpor selada Spanyol ke Inggris selama musim dingin menghasilkan emisi tiga hingga delapan kali lebih rendah daripada memproduksinya secara lokal. Mengurangi mengonsumsi daging merah dan susu juga akan menghasilkan perbedaan emisi karbon.

 

Beberapa calculator jejak karbon sudah tersedia online seperti:

https://www-carbonfootprint-com.translate.goog/

  • Hits: 41

Mengkonsumsi Pangan Lokal

Info Brief

 

Mengkonsumsi Pangan Lokal

Kirsfianti L. Ginoga

 

Termarjinalisasinya potensi pangan dan obat lokal Indonesia berkontribusi pada terjadi penurunan imunitas,  kesehatan dan pengeluaran ekonomi masyarakat. Masyarakat dan  generasi muda telah mengubah pola kebiasaan makan (diet) dengan menjauhi pangan tradisional local dan lebih memilih pangan modern atau makanan kontemporer yang sebagian besar disajikan secara cepat. Hal ini utamanya didorong oleh globalisasi, iklan-iklan televisi, dan masuknya pangan cepat saji serta makanan kemasan. Ketersediaan bahan pangan tradisional juga menjadi salah satu isu karena tanaman pangan lokal sebagai bahan penting pangan tradisional mulai menghilang akibat banyaknya penggunaan pestisida untuk kegiatan pertanian, penebangan pohon pelindung, sistem pertanian monokultur, dan konversi lahan. Perubahan pangan dan kebiasaan pangan (diet) ternyata berdampak pada kesehatan. Saat ini terjadi peningkatan kasus penyakit tidak menular contohnya diabetes (penyakit gula), hipertensi (darah tinggi), obesitas (kegemukan), dan tinggi kolesterol yang cukup mengkhawatirkan. Pada saat yang bersamaan kasus kurang gizi termasuk kekurangan zat gizi mikro banyak diderita anak – anak dan wanita yang memang rentan terhadap masalah gizi. Kekurangan gizi baik dalam bentuk gizi kurang, gizi buruk ataupun pendek atau stunting adalah permasalahan gizi utama di Indonesia. Hingga saat ini masih terdapat 15% anak balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk. Sedangkan kekurangan gizi yang menyebabkan anak pendek stunting diderita oleh hampir 40% balita Indonesia. Penyebab utama dari masalah gizi adalah kurangnya keragaman pangan (terbatasnya jenis pangan), malnutrisi dan buruknya kebiasaan pangan sangat berhubungan dengan besarnya ketergantungan terhadap tanaman pokok seperti beras.

Beras adalah makanan utama masyarakat yang memiliki peran budaya sangat penting. Namun, beras saja tentu tidak dapat memenuhi kelengkapan zat gizi yang dibutuhkan oleh seseorang. Nasi dapat membuat seseorang tidak lapar, namun tidak mampu memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan untuk hidup sehat. Selain nasi sebagai pangan pokok, akan sangat baik apabila masyarakat tidak melupakan konsumsi pangan tradisional lainnya. Hal ini karena Indonesia memiliki 17% dari total spesies SDH dunia, yaitu sebagai berikut: 11% tumbuhan berbunga, 12% mamalia, 15% herpetofauna, 17% burung dan 37% ikan. Karena itu tinjauan perspektif potensi Etno-bioprospeksi biotechnology, bioprospeksi, bio induksi, bio fertilizer dan bio plastik  Indonesia merupakan tantangan dan peluang besar untuk menjadikan Indonesia sebagai Bangsa dan Negara Kuat Makmur-Berdaulat pangan local.

Pangan dan obat global (Gambar 1.) telah menguras uang rakyat sangat besar per tahun. padahal Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam dan berpotensi untuk bahan baku obat. Sagu, Aren, Kelapa, Lontar dll milik masyarakat lokal yang nyata-nyata telah mendukung kehidupan mereka secara berkelanjutan sudah saatnya untuk dikembangkan dengan dukungan SDM hebat dan IPTEK modern.

Gambar 1. Pangan dan Obat Global

Paling tidak terdapat tujuh komoditas pangan lokal sumber karbohidrat non beras yang potensial mengganti nasi, yaitu singkong, talas, sagu, jagung, pisang, ubi, dan kentang. seperti singkong, ubi, talas, dan sagu. Masing – masing pangan pokok tersebut memiliki kandungan gizi yang berbeda dan mampu melengkapi kebutuhan pangan dan gizi yang dibutuhkan seseorang. Pangan – pangan pokok tersebut dahulunya ditanam oleh kakek-nenek kita dan dari sudut pandang ilmu gizi, tidak ada alasan untuk melupakan pangan-pangan tersebut sepenuhnya. Bahkan di Eropa dan Amerika, saat ini konsumen telah kembali mengkonsumsi pangan- pangan yang sehat dan atau pangan organik, dan hal ini menjadi suatu trend di sana.Keenam komoditas tersebut dapat dikonsumsi sebagai pengganti nasi. Secara lengkap keanekaragaman pangan pokok Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Keanekaragaman pangan pokok Indonesia

Peningkatan status gizi masyarakat merupakan salah satu investasi jangka panjang Melalui pemanfaatan agrobiodiversivitas lokal, berarti juga akan juga melestarikan pengetahuan dan budaya lokal, serta melestarikan sumber genetik tanaman yang berharga. Pengintegrasian biodiversivitas terhadap pertanian yang berkelanjutan dan tahan terhadap perubahan iklim akan meningkatkan kelestariannya karena mampu menghadapi bencana alam seperti badai, kekeringan, ataupun banjir. Pendekatan pelestarian pengetahuan dan budaya lokal ini akan dapat mengurangi goncangan sosial, lingkungan, dan ekonomi di masa yang akan datang.

 

Biodiversivitas lokal dapat dieksplorasi dan digunakan menurut perspektif pangan, gizi, kesehatan, budaya, lingkungan, dan pertanian. Pendekatan ini menganggap bahwa intervensi dan kebijakan tidak hanya terbatas pada beras ataupun tanaman pangan komersial (cash crop), namun juga mencakup sayuran, buah-buahan, serta kacang- kacangan dan polong-polongan. Padahal, pangan – pangan tersebut mampu memberikan zat gizi mikro dan serat yang dibutuhkan. Mengonsumsi lebih banyak lauk pauk, sayuran, serta kacang-kacangan dan polong-polongan dapat memperbaiki kualitas konsumsi pangan. Pendekatan penganekaragaman pangan dan pertanian merupakan suatu hal yang hemat biaya, sensitif-budaya, dan suatu cara berkelanjutan yang mampu meningkatkan derajat gizi dan kesehatan masyarakat, pertanian yang tahan terhadap perubahan iklim dan bencana alam, serta keanekaragaman pendapatan dan pengembangan produk baru. Sudah saatnya untuk melestarikan tanaman lokal dan memanfaatkannya untuk penganekaragaman pangan dan peningkatan status gizi dan kesehatan. World Health Organization (WHO) menganjurkan untuk mengonsumsi setidaknya 400 gram sayur dan buah per hari. Kebutuhan sayur keluarga dapat dipenuhi dengan pola hidroponik, misalnya untuk tanaman salada, bayam, kangkung atau lainnya. Sayur lokal dengan teknik hidroponik dapat meningkatkan kebutuhan gizi sayuran dengan cara relative mudah dan murah. Hidroponik merupakan teknik budidaya tanaman tanpa menggunakan media tanah, melainkan menggunakan air sebagai media tanamnya. Keuntungan hidroponik adalah: (a) tidak memerlukan lahan yang luas (b) mudah dalam perawatan (c) memiliki nilai jual yang tinggi.  

Untuk pemenuhan konsumsi buah-buahan yang kayak vitamin seperti pepaya, manga, pisang, jambu. alpukat, duku, rambutan, manggis dan lain-lain dapat dipenuhi dari pasar lokal atau menanam di pekarangan atau tanbulampot atau tanaman yang dibudidayakan didalam pot yang tujuannya yaitu untuk hiasan taman pekarangan ataupun untuk sumber makanan buah.

 

  • Hits: 42

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id