Masuk Risiko Standar Deforestasi UE, Indonesia Punya Modal Awal
Kompas.com - 24/05/2025, 17:15 WIB
Dradjad H Wibowo (Ekonom, Ketua Pendiri IFCC, dan anggota PEFC Board Geneva)
PADA 22 Mei 2025, Komisi Uni Eropa (UE) resmi menerapkan klasifikasi risiko deforestasi dari berbagai negara. Ada tiga kelas risiko yang dipakai, yaitu rendah, standar, dan tinggi.
Bersama Brasil, Kamboja, dan Malaysia, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok risiko standar. Komisi UE memasukkan sekitar 50 negara ke dalam kelompok ini.
Adapun yang masuk dalam kelompok risiko tinggi hanya empat negara, yaitu Rusia, Belarus, Korea Utara, dan Myanmar. Keempatnya memang negara yang banyak terkena sanksi ekonomi.
Semua anggota ASEAN selain Indonesia, Kamboja, Malaysia, dan Myanmar, masuk kelompok risiko rendah.
Klasifikasi ini akan mempengaruhi pemeriksaan terhadap ekspor produk yang terkena European Union Deforestation Regulation (EUDR) ke negara anggota Uni Eropa.
Sebagaimana diketahui, EUDR adalah regulasi Uni Eropa tentang syarat bebas deforestasi bagi produk tertentu agar bisa diperdagangkan di negara Uni Eropa.
Produk tersebut adalah kakao, karet, kayu, kelapa sawit, kedelai, kopi, serta sapi dan semua produk turunannya. Saya menyebut ke-6 produk tersebut 6KS.
Untuk Indonesia, yang terkena adalak 5K, karena Indonesia bukan eksportir kedelai dan sapi.
Konsekuensi risiko standar deforestasi UE
Sebagai negara berisiko standar untuk klasifikasi deforestasi yang dikeluarkan UE, eksportir Indonesia tidak berhak atas due diligence system (DDS) yang disederhanakan.
Indonesia wajib menyertakan DDS yang standar, sesuai dengan penilaian dan mitigasi risiko yang diterapkan terhadap Indonesia.
DDS ini harus diakui oleh otoritas yang kompeten dari masing-masing negara UE. Contohnya adalah Otoritas Pangan dan Keamanan Produk Konsumer (NVWA) di Belanda serta Kementerian Pertanian, Kedaulatan Pangan, dan Kehutanan di Italia.
Tanpa pengakuan, secara legal, produk eksportir tidak boleh masuk pelabuhan di negara UE.
Dalam rangka mencegah penyelewengan, otoritas negara anggota akan melakukan pengecekan kepatuhan.
Volume produk yang wajib dicek untuk Indonesia dan negara risiko standar adalah 3 persen, untuk negara risiko rendah hanya 1 persen, dan untuk risiko tinggi adalah 9 persen.
Nilai ekspor 5K dan turunannya dari Indonesia ke UE itu sekitar 4-4,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 70 triliun setahun. Jika Indonesia tidak mempunyai DDS yang diakui, ekspor tersebut bisa terganggu.
Belum lagi, menyikapi kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Pemerintah berharap Uni Eropa menjadi salah satu kawasan diversifikasi ekspor. Tanpa DDS yang diakui negara UE, harapan tersebut sulit terwujud.
Modal awal Indonesia
Indonesia tidak berangkat dari nol menghadapi EUDR.
Sejak 2014 sudah ada skema sertifikasi Indonesia yang diterima pasar dunia untuk ekspor kayu, bubur kayu, kertas dan turunannya, yaitu dari the Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC).
Skema ini diakreditasi oleh otoritas akreditasi Italia dan Indonesia, yaitu Accredia dan Komite Akreditasi Nasional (KAN). Ekspor yang bersertifikat dari IFCC bernilai sekitar 7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 112 triliun setahun.
Terkait EUDR, IFCC mengembangkan skema DDS atas konsultasi dengan pemerintah dan swasta terkait di Italia.
Tepat setahun sebelum pengumuman Komisi UE, yaitu 22 Mei 2024, Dubes Italia untuk Indonesia, Benedetto Latteri, bersama saya menemui Menteri Perdagangan (Mendag) yang saat itu dijabat Zulkifli Hasan.
Dubes Latteri menyatakan pemerintah dan swasta Italia menawarkan solusi teknis terhadap produk ekspor Indonesia yang terkena EUDR. Mendag juga menyebutkan opsi ekspor melalui pelabuhan Genoa dan Trieste di Italia sebagai pintu masuk ke Uni Eropa.
Dengan modal di atas, Indonesia cukup siap menghadapi EUDR, bahkan mendiversifikasikan ekspor ke Uni Eropa. Itu saya sampaikan dalam rapat dengan beberapa birokrat senior Uni Eropa pada 5 Februari 2025 di kantor UE di Brussels.
- Hits: 124
Ternyata Ini Alasan LG Batal Investasi di Proyek Baterai Nikel: Diperlakukan Beda
Batalnya investasi LG di Indonesia turut dipengaruhi dampak perang dagang serta perbedaan perlakuan pemerintah ke investor Korea dan China.
Surya Dua Artha Simanjuntak - Bisnis.com
Kamis, 24 April 2025 | 19:08
Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo mengungkap konsorsium LG mengundurkan diri dari proyek baterai nikel terintegrasi dari hulu ke hilir di Indonesia karena takut rugi.
Dradjad mengaku sudah bertemu dengan pihak dari Korea Selatan, termasuk dari konsorsium LG. Dia pun coba merunutkan persoalannya.
Menurut Dradjad, awalnya pemerintah mengundang konsorsium LG untuk berinvestasi di proyek baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Menurutnya, pihak LG sepakat untuk berinvestasi sekitar US$2 miliar.
Saat itu, Hyundai Ioniq Electric memerlukan baterai. LG pun siap untuk menyediakan kebutuhan sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki.
"Mereka penuhi semua peraturan, TKDN mereka penuhi, semua mereka penuhi," ungkap Dradjad dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).
Setelah dihitung dengan segala pertimbangan biaya produksi di Indonesia, mobil listrik Ioniq tersebut bisa dijual dengan harga sekitar Rp700 juta—Rp800 juta.
Ternyata di luar dugaan, produsen mobil listrik asal China BYD Auto Co. Ltd. tidak bisa menjual produknya di Eropa karena perang dagang. Akibatnya, BYD menjual produknya ke negara-negara lain di luar Eropa termasuk Indonesia.
Saat masuk ke Indonesia, pemerintah ternyata memberikan BYD berbagai kemudahan sehingga harganya bisa jauh lebih murah. Masalahnya, berbagai kemudahan tersebut tidak diberikan kepada LG.
"Ya otomatis enggak bisa bersaing. Harganya Ioniq sekitar 50%—60% di atas harga BYD dengan spesifikasi yang sama, ya gimana bisa bersaing?" ujar anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 itu.
Akibatnya, permintaan terhadap Ioniq menurun. LG pun memikirkan ulang rencana investasinya.
"LG mikir dong kalau mau investasi terus, pasarnya turun kok, kami enggak diperlakukan sama kok dengan teman-teman dari China," kata Dradjad.
Menurut ekonom senior Indef ini, perbedaan perlakuan atas perusahaan asal Korea Selatan dengan China itu karena adanya konstelasi politik. Dradjad pun meminta seharusnya tidak ada perlakuan khusus seperti itu ke depannya.
Sebagai informasi, konsorsium LG bersama konsorsium BUMN Indonesia Battery Corporation (IBC) tergabung dalam Proyek Titan dengan total komitmen investasi senilai US$9,8 miliar atau sekitar Rp142 triliun. Komitmen investasi itu terdiri atas investasi di hulu tambang senilai US$850 juta, smelter HPAL US$4 miliar, pabrik prekursor/katoda senilai US$1,8 miliar, dan pabrik sel baterai senilai US$3,2 miliar.
Pada Februari 2025, IBC (anak usaha anak MIND ID, PLN, Pertamina, dan Antam) melaporkan bahwa kerja sama dengan konsorsium LG masih dalam status sedang berlangsung (on progress) untuk fase pembahasan studi kelayakan (feasibility study). Hanya saja, beberapa waktu lalu terungkap konsorsium LG itu batal investasi di Indonesia.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Rosan Roeslani mengklaim, LG bukan hengkang melainkan pemerintah yang mendepak dari proyek baterai EV tersebut.
Menurutnya, negosiasi dengan perusahaan multinasional asal Korea Selatan itu berjalan alot sehingga pemerintah mengeluarkan surat agar LG agar mundur dari proyek tersebut.
"Memang untuk proyek sebesar ini tentunya negosiasi lama dan kita melihat kita ingin investasi ini berjalan oleh karena itu proyek itu tetap berjalan dan digantikan partner lain," ujar Rosan dalam keterangan pers, Rabu (23/4/2025).
Editor : Wibi Pangestu Pratama
- Hits: 89
Pemerintah Harus Pertahankan QRIS meski Diusik AS, Ini Penjelasan Orang-Orang Dekat Prabowo
Orang kepercayaan Prabowo hingga pimpinan DPR menyatakan pemerintah harus terus menjaga kedaulatan sistem pembayaran, termasuk dengan menjaga QRIS.
Surya Dua Artha Simanjuntak - Bisnis.com
Kamis, 24 April 2025 | 16:40
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan tetap mempertahankan sistem pembayaran digital QRIS meskipun mendapatkan komplain dari pemerintah Amerika Serikat.
Dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) turut mempermasalahkan penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang menjadi salah satu hambatan perdagangan AS dengan Indonesia.
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, menyatakan bahwa pemerintah hanya menganggap laporan USTR tersebut sebagai kepentingan dagang AS. Dia menyatakan pemerintah tidak mempertimbangkan semua laporan tersebut.
"Sebagian harus kita tolak, sebagian enggak bisa kita terima," ujar Dradjad dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).
Menurutnya, jika pemerintah menuruti permintaan terkait penghentian penerapan QRIS maka setiap transaksi pembayaran digital akan menggunakan produk jasa AS seperti Visa dan Mastercard.
Akibatnya, keuntungan hanya mengalir ke perusahaan AS. Oleh sebab itu, Dradjad menyatakan pemerintah tidak akan mempertimbangkan keluhan AS soal QRIS.
"Enggak bisa, kita harus tegas. Sorry bos, enggak bisa ini karena efeknya banyak. Segala transaksi kan sekarang makin digital," jelasnya.
Hanya saja, dia mengakui sejumlah keluhan AS lain dalam laporan USTR itu akan menjadi bahan pertimbangan pemerintah seperti persoalan TKDN dan kuota impor.
Staf ahli Menko Pangan itu tidak menampik banyak permasalahan dalam aturan kuota impor seperti menjadi sarang korupsi hingga mencari rente kelompok tak bertanggung jawab.
Senada, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyatakan parlemen bersama pemerintah membangun GPN termasuk QRIS untuk kedaulatan sistem pembayaran Tanah Air.
"Kok kemudian kita mau membangun sistem di mana itu bagian dari kemandirian dan kedaulatan bangsa? Kok kita mau diintervensi? Ya enggak bisa dong," kata Misbakhun pada kesempatan yang sama.
Apalagi, dia meyakini QRIS bukan saingan dari Visa dan Mastercard. Bagaimanapun, sambungnya, QRIS merupakan sistem pembayaran debit sementara Visa dan Mastercard merupakan sistem pembayaran kredit.
Oleh sebab itu, elite Partai Golkar itu meyakini tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menerima keluhan AS terkait QRIS dan GPN.
Editor : Wibi Pangestu Pratama
- Hits: 99
Dradjad Wibowo: Indonesia Harus Pertimbangkan Matang Kebijakan yang Diambil Merespons Tarif Resiprokal AS
Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Kamis, 24 April 2025| 14:23 WIB
Dradjad Wibowo, Ekonom Senior dari INDEF menyampaikan pandangannya terkait tarif resiprokal yang dilakukan Amerika Serikat (AS).
Menurut Dradjad, perdagangan global, baik di masa lalu maupun kini, tidak dapat dipisahkan dari faktor politik dan keamanan, yang secara langsung memengaruhi perekonomian Indonesia.
“Perdagangan itu sejak zaman VOC tidak pernah lepas dari politik dan keamanan. VOC datang ke Indonesia karena mereka ingin mendapatkan perdagangan yang lebih efisien, dan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini, seperti dalam perang tarif yang diprakarsai oleh Trump,” ungkap Dradjad dalam Dialektika Demokrasi di gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Ia menjelaskan, Indonesia harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan yang diambil dalam merespons tekanan dari AS.
Salah satunya adalah upaya untuk menyeimbangkan defisit perdagangan Indonesia dengan AS, yang berkisar antara 13 hingga 16 miliar dolar AS.
“Strategi utama kita adalah mengalihkan impor dari negara lain ke Amerika. Ini memang bukan pilihan ideal, tetapi langkah terbaik yang bisa diambil saat ini untuk menghindari potensi pelemahan rupiah yang bisa berdampak pada stabilitas politik dan ekonomi,” kata Dradjad.
Lebih lanjut, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyoroti pentingnya pengurangan biaya ekonomi dalam negeri sebagai respons terhadap ancaman tarif dari AS.
Ia menekankan, Indonesia perlu mendukung produsen dalam negeri untuk memangkas biaya produksi agar tetap kompetitif, meskipun tarif impor tinggi.
“Tantangannya adalah bagaimana kita bisa mengurangi biaya produksi dalam negeri, karena jika biaya terlalu tinggi, kita akan kesulitan bersaing. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memangkas berbagai biaya yang terkait dengan regulasi dan transportasi,” tambahnya.
Dradjad juga mengingatkan bahwa dalam merespons tekanan perdagangan internasional, Indonesia harus cermat dalam memisahkan kepentingan dagang Amerika dengan kepentingan nasional.
Dia menegaskan bahwa laporan tahunan dari U.S. Trade Representative (USTR) tidak selalu mencerminkan keseluruhan dinamika dan kepentingan kedua negara.
“Jangan sampai kita terjebak dalam kepentingan dagang Amerika. Mereka punya kepentingan besar di Indonesia, dan kita juga perlu memastikan bahwa kebijakan kita menguntungkan kedua belah pihak,” tegasnya.
Di sisi lain, Dradjad juga menyoroti isu-isu domestik yang berpotensi memengaruhi kebijakan perdagangan, seperti masalah sertifikasi halal dan penggunaan teknologi Amerika dalam transaksi digital.
Ia menekankan pentingnya menjaga independensi Indonesia dalam menentukan kebijakan ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan nasional.
Dradjad menegaskan bahwa Indonesia harus siap dengan strategi alternatif jika permintaan dari AS terlalu merugikan kepentingan nasional.
“Kita tidak bisa menerima semua tuntutan Amerika begitu saja, dan jika mereka terus mendesak, kita harus tegas menolaknya,” katanya.
Dengan perhitungan matang dan strategi yang tepat, Dradjad percaya Indonesia dapat mengatasi tantangan dalam perang dagang ini, sembari menjaga stabilitas ekonomi dan politik domestik.(faz/ham)
- Hits: 71
More Articles …
Page 1 of 47