(Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL KELAUTAN  V, “Dampak Krisis Global terhadap Pembangunan Kelautan dan Perikanan dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Maritim”, 23 APRIL 2009)

Krisis ekonomi dan keuangan global yang melanda dunia pada saat ini berawal dari krisis kredit perumahan subprima (Subprime Mortgage) di Amerika Serikat (AS). Kredit perumahan subprima, yang berkembang sejak dekade 1980-an, sebenarnya merupakan sebuah skema pembiayaan yang bertujuan membantu konsumen perumahan dari kelas ekonomi menengah bawah.

Kelompok konsumen ini, kebanyakan adalah warga Afro-Amerika dan Latino, sulit memperoleh kredit perumahan apabila melalui prosedur dan persyaratan perbankan yang normal. Oleh karena itulah mereka disebut subprima. Melalui skema ini, mereka dimungkinkan untuk membeli rumah dengan cara kredit, asal mempunyai penghasilan tetap dan rekam jejak yang bagus.

Karena skemanya subprima, kredit ini memang diantisipasi akan memiliki risiko non-performing loans (NPL) yang cukup tinggi, yang kemudian dimitigasi melalui berbagai bentuk produk keuangan terstruktur seperti Credit Default Swap. Permasalahan muncul ketika pasar bagi produk-produk derivatif tersebut menjadi over-leveraging, dengan alokasi investasi yang semakin mengabaikan prinsip-prinsip prudensial. Di sisi lain, regulasi terhadap pasar keuangan global dapat dikatakan sangat longgar, apalagi selama ini AS selalu menentang adanya pengaturan yang lebih ketat. Ketika kemudian nasabah subprima kesulitan membayar kembali kreditnya, baik karena mahalnya biaya subprima maupun naiknya biaya hidup karena kenaikan harga energi sebagai akibat melonjaknya harga minyak setelah Invasi ke Irak, lembaga-lembaga kredit subprima pun tidak mampu membayar kembali investasi yang ditanamkan berbagai lembaga keuangan melalui produk derivatif tersebut.

Padahal, yang menanamkan investasi tersebut bukan hanya perbankan dan lembaga keuangan AS, tapi juga perbankan dan lembaga keuangan di seluruh dunia, dari Jepang hingga Australia, dari Singapura dan China hingga Uni Eropa. Akibatnya terjadilah efek domino berupa merosotnya kinerja, bahkan ambruknya perbankan dan lembaga keuangan tersebut, ambruknya pasar modal, dan merosot drastisnya nilai aset di seluruh dunia.

Akibat dari rangkaian krisis ini, investor global serentak melakukan penilaian ulang terhadap profil resiko investasinya. Anjloknya nilai aset menyebabkan likuiditas global mengering dan investasi global menurun tajam. Banyak lembaga-lembaga keuangan raksasa yang kemudian meminta penyelamatan oleh negara sebagai akibat jatuhnya nilai investasi tersebut. Bahkan, pada September 2008, Fannie Mae dan Freddie Mac, sebagai lembaga penyalur kredit subprima terbesar di AS dengan nilai kredit US$ 5,3 triliun harus diselamatkan oleh Pemerintah. Beberapa raksasa keuangan global seperti Lehman Brothers Inc mengalami kebangkrutan. Di tahun yang sama, kerugian yang amat besar pun dialami oleh grup besar seperti: Citigroup (rugi US$ 18 miliar), Bear Stearns Inc (rugi US$ 3,2 miliar), Merrill Lynch Inc (rugi US$ 14,1 miliar), Morgan Stanley Inc (US$ 9,4 miliar), dan HSBC (rugi US$ 3,4 miliar). Berdasarkan laporan Bank of America, sampai dengan tahun 2008, kerugian di pasar global mencapai US$ 7,7 triliun sementara kapitalisasi pasar dunia menurun 14,7 persen.

Indonesia termasuk negara yang sangat terpukul oleh pengeringan likuiditas global tersebut. Selain ambruknya harga saham di Bursa Efek Indonesia, beberapa lembaga keuangan termasuk Bank Indover yang dimiliki oleh Bank Indonesia pun harus dilikuidasi. Sumber-sumber pembiayaan bagi APBN maupun korporasi menjadi semakin langka, dengan cost of fund yang sangat mahal. Contoh terakhir, Global Medium Term Notes (GMTN) yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia harus memberikan yield hingga 11,75% dalam US dollar. Padahal, deposito US dollar di perbankan Indonesia hanya memberikan bunga sekitar 4%. Artinya, APBN harus membayar “bunga” dalam US$ yang 8 persen lebih mahal dari yang diberikan oleh bank-bank dalam negeri.

Kondisi di atas jelas mempersulit perbankan nasional menurunkan suku bunga. Jika bank tidak memberikan bunga simpanan yang tinggi, deposan akan melarikan dana ke obligasi negara, sehingga bank bisa mengalami kesulitan likuiditas. Akibatnya, bank sermakin sulit menurunkan bunga pinjamannya, sehingga pembiayaan bagi sektor riil menjadi semakin mahal.

Krisis global ini juga membuat perekonomian dunia mengalami pelambatan pertumbuhan, bahkan kontraksi yang cukup besar. OECD memperkirakan perekonomian global akan terkontraksi hingga -2,9% pada tahun 2009. Bank Dunia per April 2009 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2009 adalah -1,7%. 

Kontraksi ekonomi ini jelas sangat menekan permintaan global. Negara-negara yang perekonomiannya banyak ditopang oleh perdagangan dunia sangat terganggu oleh tertekannya permintaan global ini. Jepang dan Singapura, misalnya, sudah mengalami resesi sejak kuartal keempat 2008. Indonesia juga mengalami penurunan ekspor yang sangat signifikan, mencapai 36% pada Q4/2008.

Pada sektor kelautan dan perikanan, ekspor Indonesia yang pasar utamanya adalah Taiwan, Jepang, Korea dan Amerika Serikat, ikut mengalami tekanan permintaan. Volume ekspor  turun 7,79 persen pada tahun 2007 jika dibandingkan dengan tahun 2006. Udang sebagai komoditas unggulan terkena dampak terbesar diantara komoditas ekspor perikanan lainnya. Penurunan rata-rata volume ekspor dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 untuk komoditi udang adalah 6,96 persen, sedangkan nilainya menurun sebesar 7,71 persen. Sampai dengan bulan September 2008, nilai ekspor udang menurun sebesar 25 persen dari nilai ekspor pada tahun 2007. Tekanan permintaan tersebut berimplikasi pada penurunan tingkat harga, seperti harga udang yang turun 8 persen pada bulan Desember 2008. Kombinasi dari tekanan permintaan, penurunan harga dan pengeringan likuiditas tersebut tidak jarang mengakibatkan keterlambatan permbayaran dari importir, sehingga ekportir produk kelautan dan perikanan pun terganggu arus kasnya. Dalam beberapa kasus, eksportir semakin rentan terhadap risiko kredit macet karenanya.

Kondisi di atas tentunya perlu memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah dan para stakeholders sektor kelautan dan perikanan. Apalagi jika diingat, kinerja sektor ini sebelum krisis global sebenarnya semakin meningkat. Produksi perikanan  tangkap dan perikanan budidaya misalnya, mencapai 8,24 juta ton pada tahun 2007, atau meningkat sekitar 35 persen jika dibandingkan dengan tahun 2001 yang jumlah produksinya sebesar 5,35 juta ton. Kenaikan rata-rata volume ekspor dari tahun 2002 – 2007 adalah 10,42 persen, sementara volume impornya rata-rata meningkat sebesar 4,99 persen. Pada tahun 2007, nilai ekspornya bernilai US$ 2,3 milyar sedangkan impornya bernilai US$ 142,75 juta, sehingga Indonesia mencatat surplus perdagangan kelautan/perikanan sebesar US$ 2,1 milyar. Angka tersebut kira-kira setara dengan 4-5% dari cadangan devisa Indonesia, sebuah porsi yang cukup besar.

Dilihat dari kontribusi terhadap pasar perikanan dunia, sesuai dengan data dari FAO Fishstat (2008), Indonesia menguasai pangsa pasar sekitar 2,34 persen, dan menempati urutan ke-12 negara eksportir. Sementara untuk impornya, Indonesia berada pada urutan ke-47 dengan kontribusi  0,16 persen.

Kinerja di atas masih berpeluang besar untuk ditingkatkan, mengingat tingginya potensi kelautan dan perikanan Indonesia. Potensi tersebut sebenarnya bisa menjadi salah satu andalan untuk meminimalkan dampak krisis global terhadap perekonomian Indonesia, bahkan mengangkat Indonesia keluar dari krisis ini lebih cepat dari negara-negara lain. Ini karena manfaat yang bisa diperoleh bukan hanya berupa perikanan, namun juga minyak, gas, energi, pariwisata bahkan melalui optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil.

Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan (2008), Indonesia memiliki 17.480 pulau, 95.181 km garis pantai, serta 5,8 juta km2 laut. Dari 60 cekungan migas Indonesia, sekitar 70 persen berada di laut dengan cadangan minyak bumi sebanyak 9,1 miliar barel. Potensi lestari perikanan laut mencapai 6,4 juta ton ikan per tahun sedangkan perairan umum mencapai 4,95 juta ton per tahun. Pada lahan budidaya, potensi lahan budidaya tambak berjumlah 1,2 juta ha, budidaya laut sebesar 8,4 juta ha, dan budidaya air tawar sebesar 2,2 juta ha. Dari sisi pembangunan regional, 80 persen industri dan 75 persen kota besar berada pada wilayah pesisir.

Keberadaan sumberdaya kelautan yang potensial tersebut membawa peluang dan harapan untuk meminimalkan dampak krisis global, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Apalagi, kontribusi sektor kelautan dan perikanan pada 2008 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional baru mencapai Rp 93,22 triliun, atau 1,88 persen.

Tentunya dalam mengoptimalkan potensi tersebut, kita perlu berfikir secara komprehensif, bukan melalui pendekatan yang sepotong-sepotong (piece meal). Sebagai contoh, jika produk perikanan laut saja yang dijadikan fokus, kita masih bisa meningkatkan produksi dan ekspor perikanan laut hingga 27 persen, mengingat produksi perikanan laut mencapai 4,6 juta ton/tahun sementara potensi lestarinya mencapai 6,4 juta ton/tahun. Untuk mencapai hal tersebut, kita mengembangkan strategi komprehensif, mulai dari infrastruktur (pelabuhan, cold storage), sarana dan prasarana (misalkan kapal penangkapan ikan), pembiayaan, industri hilir hingga kepada penegakan hukum untuk mengatasi penyelundupan.

Salah satu contoh kecil adalah upaya mengatasi pencurian ikan di laut dan penyelundupan. Diperkirakan Indonesia dirugikan Rp 30 triliun setiap tahun akibat pencurian ikan, belum lagi akibat penyelundupan. Dengan kerugian sebesar itu, mengapa kita tidak mengembangkan linkage yang kuat antara berbagai BUMN perkapalan, baja, dan dirgantara, sehingga kita bisa memiliki pesawat-pesawat kecil dan kapal cepat untuk melakukan patroli wilayah laut kita? Masalah pembiayaan sangat bisa diatasi dengan financial engineering yang cerdas mengingat besarnya kerugian di atas.

 

Pulau-Pulau Kecil

Kita tentunya sangat naif kalau hanya membicarakan potensi sumberdaya kelautan hanya dari sisi perikanan laut saja. Seperti dikemukakan sebelumnya, masih banyak potensi lain seperti minyak, gas dan pariwisata.

Salah satu potensi besar yang sering diabaikan adalah pemanfaatan pulau-pulau kecil. Bahkan tidak sedikit pengambil keputusan, baik eksekutif maupun legislatif, yang salah kaprah memandang pulau-pulau kecil tersebut sebagai beban terhadap APBN. Padahal, jika kita cerdas melihatnya, pulau-pulau kecil tersebut sebenarnya menyimpan nilai yang sangat tinggi.

Nilai-nilai tersebut diantaranya nilai lokasi yang meliputi nilai strategis dan nilai ekonomis, nilai sumberdaya alam, serta nilai sumberdaya udara dan angkasa. Nilai-nilai pulau kecil tersebut belum pernah dikuantifikasi secara komprehensif. Selain itu, untuk membiayai pengembangan pulau-pulau kecil, belum pernah dipersiapkan cost and benefit analysis yang komprehensif untuk melakukan sekuritisasi, financial engineering, pendanaan APBN dan sebagainya.

Sebagai contoh adalah pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia. Pulau-pulau kecil tersebut menyimpan nilai strategis sebagai pengamanan kedaulatan nasional di perbatasan, termasuk bisa menjadi titik-titik pengendalian penyulundupan senjata bagi kelompok separatis. Begitupun dengan titik-titik pengamanan ekonomi nasional dari ancaman penyelundupan dan pencurian, juga pengendalian berbagai kejahatan internasional seperti perdagangan orang, narkoba dan lain sebagainya. Dari sisi nilai lokasi tersebut, pulau-pulau kecil bisa menjadi sumber kekuatan strategis dan sekaligus sumberdaya ekonomi misalnya dalam negosiasi dengan Australia dan Singapura dalam hal pengendalian imigran gelap dan terorisme.

Dari sisi ekonomi, pulau-pulau kecil dapat dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan yang baru, misalnya dengan mengembangkan pusat kepariwisataan (tourism hub) atau bahkan menjadi daerah pemukiman baru (new settlement) jika mau dan mampu. Pulau tertentu juga dapat dikembangkan sebagai pusat sport and leisure. Nilai ekonomi juga diperoleh dari berperannya pulau-pulau kecil sebagai pusat relokasi industri (dari Singapura) dan atau sebagai sumber air atau kebutuhan pokok. Nilai ekonomi dari pulau kecil juga dapat dilihat dari perannya sebagai pusat transit, baik bahan bakar maupun barang-barang lainnya dari negara Filipina, Vietnam, Jepang, Australia, New Zealand, dan negara-negara lainnya.

Minyak dan gas bumi, baik on-shore maupun off-shore serta potensi perikanan laut dan budidaya hasil laut (ikan hias, rumput laut, mutiara, budidaya ikan laut, dll.) merupakan nilai sumberdaya alam di pulau-pulau kecil yang masih memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan. Pengembangan ecotourism pun sangat mungkin dilakukan di pulau-pulau kecil. Berdasarkan data Maret 2006, 10 pulau kecil dikelola investor asing dengan objek yang dijual adalah keindahan terumbu karang di dasar laut dengan beragam jenis ikan yang ada, serta pantai. Devisa yang telah disumbangkan untuk pemerintah daerah bervariasi, dari Rp 5 miliar sampai Rp 20 miliar per tahun, disamping investasi tersebut dapat menggerakkan perekonomian di daerah dan mengurangi pengangguran.

Pulau-pulau kecil merupakan pusat biodiversity, juga sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Ribuan spesies tumbuhan, ikan dan non-ikan, serta terumbu karang dapat menjadi objek penelitian dan pengembangan, seperti misalnya untuk obat-obatan, program televisi dan lain sebagainya. Di pulau-pulau kecil juga dapat dikembangkan tanaman perkebunan dan pertanian, misalnya perkebunan tanaman penghasil bioenergi seperti tanaman jarak, tebu, ketela pohon, kelapa sawit, dan lain-lain. Sebagai contoh, beberapa pulau di sebelah timur Sumatera yang sangat potensial, apalagi industri sawit sudah berkembang di sana, dan relatif dekat dengan Singapura dan Malaysia.

Potensi angkasa dan udara secara nasional sangat diabaikan, padahal salah satu sumberdaya saing AS, Rusia dan China adalah keunggulan kedirgantaraan, termasuk pemanfaatan angkasa dan udara secara maksimal. Mengingat Indonesia berada diantara dua benua, dua samudra, dan dibelah khatulistiwa, ruang geostationer bisa jadi sumber kekayaan yang luar biasa. Beberapa pulau seperti Biak dan sekitarnya sangat menarik menjadi tempat launching satelit. Akan tetapi, teknologi udara dan angkasa kita sama sekali tidak dikembangkan, bahkan untuk industri pesawat-pesawat kecil pun tidak. Padahal dengan banyaknya pulau kecil, kita bisa menciptakan permintaan yang cukup besar terhadap pesawat-pesawat ringan baik untuk keperluan turisme, hankam maupun perdagangan, dan lain sebagainya.
Pengembangan pulau-pulau kecil perlu didasarkan pada optimalisasi ketiga nilai di atas, yaitu nilai lokasi, sumberdaya alam dan sumberdaya udara/angkasa. Setiap pulau kecil mempunyai karakteristik produk yang berbeda, serta latar belakang sosiokultural yang unik. Oleh karena itu pemerintah perlu menyiapkan “Product Mix” bagi setiap pulau kecil. Misalkan, satu pulau berpotensi menjadi areal perkebunan dan sekaligus suplai kebutuhan pokok Singapura, dan sebagainya. Product Mix tadi bisa ditawarkan kepada investor domestik/asing dan atau dikerjakan dengan anggaran publik 

Namun dalam implementasinya, dihadapi berbagai kendala seperti ukuran yang kecil dan aksesibilitas yang rendah (keterasingan) sehingga biaya pengembangan lebih mahal. Belum lagi masalah kelangkaan sumberdaya manusia yg handal dan berpengalaman serta masih banyak dari pulau-pulau kecil tersebut belum memiliki nama dan status hukum yang jelas. Dengan demikian, jika tidak dikembangkan dengan konsep yang sesuai, terdapat kesulitan mencapai skala ekonomi (economics of scale) yang optimal dari sisi administrasi, usaha produksi, dan transportasi.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, investor diberikan kompensasi. Kompensasi itu dapat berupa insentif fiskal (tax holiday, tariff dan lain sebagainya yang masih perlu dikaji satu per satu); insentif administratif (one-stop administration services dengan proses yang cepat); serta insentif berupa “pengecualian terhadap peraturan perundang-undangan tertentu”, yang unik sesuai dengan Product Mix yang ditawarkan. Setiap insentif tersebut, perlu dikaitkan dengan kontribusi pengembangan infrastruktur, kontribusi pembangunan fasilitas pertahanan dan keamanan di mana fasilitas hankam ini merupakan simbol kedaulatan Indonesia terutama di pulau-pulau terluar, serta kontribusi penyerapan tenaga kerja Indonesia yang menjadi bagian dari upaya pembukaan lapangan kerja.

Dalam penyusunan Product Mix tadi, perlu digunakan Pendekatan Kawasan dan penyusunan masterplan kawasan kepulauan dari pulau-pulau kecil yang jaraknya berdekatan. Pendekatan kawasan ini meliputi pengembangan akses gugus pulau ke pusat kegiatan kedaulatan terdekat, pengembangan pusat kegiatan utama menurut RTRW kelautan nasional, pengembangan pusat kegiatan ekonomi di negara tetangga terdekat, serta disesuaikan dengan pedoman Umum (Pedum) Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar yang merupakan penjabaran dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Setelah semuanya siap, pemerintah perlu melakukan road show pengembangan pulau-pulau kecil kepada para investor domestikdan luar negeri.

Sebagai penutup, mari kita renungkan bahwa sebenarnya bangsa kita ini dikarunia sumberdaya alam yang sangat besar, sehingga saya meyakini bahwa sesungguhnya Tuhan menciptakan kita sebagai bangsa rajawali. Tapi kita sendiri (terutama pemimpin-pemimpin kita) yang membuat kita menjadi bangsa bebek. Mari bangkit dan terbang bebas perkasa sebagai rajawali (dradjad wibowo, 20 Mei 2006).



DAFTAR PUSTAKA

Antara News. 2008. “Biaya Global Crisis Subprime AS capai $7,7 Triliun”. http://www.antara.co.id/arc/2008/2/15/biaya-global-krisis-subprime-as-capai-7-7-triliun/

Badan Pusat Statistik. 2009. PDB atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000, 2003 – 2008. BPS. Jakarta.

__________________. 2009. PDB atas Dasar Harga Berlaku, 2003 – 2008. BPS. Jakarta.

__________________. 2009. Neraca Perdagangan Indonesia. BPS. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Potensi Nilai Ekonomi Perikanan Indonesia. DKP. Jakarta.

____________________________. 2009. Volume Produksi Perikanan Menurut Komoditas Utama, 2002 – 2007. DKP. Jakarta.

Departemen Perdagangan. 2009. Ekspor Non Migas Utama Menurut Sektor. Jakarta.

______________________. 2009. Impor Non Migas Utama Menurut Sektor. Jakarta.

______________________. 2009. Perkembangan Ekspor Non Migas Menurut Tujuan. Jakarta.

______________________. 2009. Perkembangan Impor Non Migas Menurut Tujuan. Jakarta.

FAO. 2009. Neraca Nilai Perdagangan Komoditi Perikanan Dunia Menurut Negara, 2002 – 2006. FAO Fishtat.

Wibowo, Dradjad H. 2006. ”Potensi Ekonomi Pulau-pulau Kecil”. Disampaikan pada Seminar Nasional Komunikan ”Investasi Asing dan Kedaulatan Bangsa di Pulau-Pulau Kecil”. 17 April 2006.

_________________. 2006. ”Membangun Sektor Perikanan: Perspektif Ekonomi Politik”. Disampaikan pada Diskusi ”Membangun Perikanan Handal. 18 Mei 2006.

  • Hits: 4526

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id