ARTI PANAMA PAPERS BAGI INDONESIA
Chairman,
Sustainable Development Indonesia (SDI)
Dalam beberapa forum diskusi, saya sampaikan, saya sangat yakin Panama Papers ini adalah hasil intelijen Amerika Serikat (AS). Panama itu di bawah perlindungan AS. Saya sendiri pernah ke sana untuk konferensi dan sidang. Banyak hal penting yang terjadi di Panama harus dengan "persetujuan" AS. CIA punya aset yang sangat kuat dan efektif untuk melakukan operasi intelijen terhadap siapapun di Panama.
Target utama Panama Papers adalah Presiden Putin. Akhir-akhir ini Putin sangat mengganggu dominansi politik dan militer global AS. Aneksasi Crimea, perang Donbass (Ukraina Timur) dan suksesnya operasi militer Rusia di Suriah menjadi kemenangan Putin atas Barat. Panama Papers adalah bagian dari serangan untuk melemahkan Putin dan rejimnya. Itu sebabnya, media-media Barat langsung menggelar edisi khusus tentang shell companies milik nama-nama Rusia. China lebih menjadi target sekunder. Negara-negara lain hanya pelengkap, agar isu ini bergulir terus di banyak negara.
Lalu apa relevansinya bagi Indonesia? Sebagian nama-nama Indonesia yang muncul adalah konglomerat besar atau putra-putri mereka. Sebagian lagi, pengusaha menengah atas. Tidak etis kalau saya menyebut nama mereka, karena saya belum melakukan konfirmasi. Apalagi, di Indonesia sangat mudah membuat KTP palsu, khususnya di masa lalu. Karena itu, penelusuran identitas dan alamat harus dilakukan ekstra hati-hati. Bagaimanapun juga, masyarakat bisa membaca sendiri daftar nama tersebut di laman terkait Panama Papers.
Ada media tertentu yang secara khusus mem-blow up nama Sandi Uno. Sementara yang lain cuma disebut selintas. Jelas media ini telah bermain politik praktis, karena Sandi bisa menjadi pesaing Ahok. Dalam pandangan saya, ini adalah korupsi kebebasan pers. Sama kotornya dengan korupsi oleh politisi.
Dalam list itu ada nama Budiono. Meski saya sering sangat kritis terhadap Wapres Boediono, karena pandangan ekonomi saya berseberangan dengan beliau, saya tidak menemukan bukti kalau Budiono tersebut adalah mantan Wapres. Saya masih yakin orang seperti pak Boed tidak membuat offshore companies.
Offshore companies, atau shell companies, atau SPV (special purpose vehicles) memang belum populer di kalangan pejabat publik kita. Bahkan pejabat korup pun tidak memakainya. Mereka lebih senang menerima suap tunai. Cash and carry. Itu sebabnya mudah bagi KPK melakukan OTT.
Pejabat kita memang masih kuno dalam rekayasa transaksi keuangan. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak tahu apa itu SPV. Beda dengan pejabat di Rusia, China, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika. Tapi anak-anak pejabat kita sudah banyak yang jago tentang SPV. Saya masih menelusuri hal ini dari Panama Papers.
Itu sebabnya yang muncul adalah nama-nama pengusaha. Melihat nama-namanya, saya membagi mereka ke dalam 3 kelompok.
Pertama, yang paling dominan adalah kelompok penyimpan dana dan aset di Singapore. Saya kenal pribadi dengan cukup banyak nama-nama tersebut. Mereka membuka rekening di Singapore memakai shell companies yang terdaftar di Panama, British Virgin Island, bahkan hingga yang dekat-dekat seperti Labuan (Malaysia). Tujuannya, menyembunyikan aset dari Indonesia dan memanfaatkan pajak penghasilan yang lebih rendah di Singapore.
Kedua, mereka yang melakukan penggelapan pajak melalui transfer pricing, rekayasa aksi korporasi, rekayasa transaksi ekspor impor dan sebagainya. Dari nama-nama tersebut, cukup banyak yang patut dicurigai telah melakukan penggelapan pajak.
Ketiga, mereka yang patut dicurigai membeli kembali aset-aset mereka di BPPN dengan diskon utang yang sangat besar. Banyak sekali aset BPPN yang dibeli oleh SPV. Kita sulit menemukan siapa pemilik aslinya karena tertutup oleh SPV yang berlapis-lapis.
Apa yang bisa dilakukan negara? Yang paling penting, negara mempunyai peluang untuk menelusuri aset orang kaya Indonesia dan mengejar penggelapan pajak. Panama papers bisa menjadi pintu masuknya.
Tapi harus diakui, hal ini tidak mudah. Harus melibatkan proses penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan yang cerdas dan intensif. Perlu kerjasama yang efektif antara lembaga intelijen seperti BIN, penegak hukum seperti Polri dan Kejagung didukung PPATK, serta otoritas fiskal, moneter dan perbankan seperti Kemenkeu (khususnya Ditjen Pajak), BI, dan OJK. Sayangnya koordinasi antar lembaga justru menjadi titik lemah di Indonesia.
Hal kedua yang bisa dilakukan adalah menginvestigasi ulang pembelian aset-aset BPPN. Secara teoritis, ini memungkinkan. Secara praktek? Saya tidak yakin. Selain dokumen-dokumennya sudah tidak jelas lagi ada di mana, SPV yang muncul baru dari Panama. Dari tax havens lain masih aman. Dan yang paling penting, saya tidak melihat adanya political will yang kuat dari banyak pihak kunci. Misalnya, Kemenkeu dan Kemenneg BUMN pasti sangat enggan membongkarnya. Apalagi fraksi-fraksi di DPR.
Dengan kedua hal di atas, sejujurnya saya ragu apakah kita bisa mengambil manfaat maksimal dari Panama Papers. Tapi mudah-mudahan, masih ada lembaga negara yang mau melakukan sesuatu berdasarkan Panama Papers. Seberapa kecil pun peluang suksesnya. Misalnya, Kemenkeu. Dengan bantuan BIN, Polri dan PPATK, semoga Kemenkeu bisa membongkar satu dua kasus penggelapan pajak melalui transfer pricing.
Artikel ini di muat pada :
http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=13113&q=&hlm=272
|
- Hits: 2670