Balada Kelas Menengah yang Susah Kaya, Terjepit, dan Makin Tergerus
Dradjad H Wibowo - Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.
Kompas.com - 30/09/2024, 22:37 WIB
JUMLAH kelas menengah terus menurun dalam lima tahun terakhir. Fakta tersebut diungkap oleh Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, yang akrab disapa Winny, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 28 Agustus 2024.
Bagi masyarakat umum, fakta tersebut sangat mengagetkan. Memang indikasi "ekonomi sulit" atau "pekerjaan formal susah" sudah lama dikeluhkan masyarakat.
Para ekonom yang memonitor pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan pengeluaran juga sudah cukup lama menduga "ada yang kurang pas" dengan data agregat.
Paparan Plt Kepala BPS akhirnya mengonfirmasi dugaan tersebut. Paparan tersebut sangat kredibel.
Apalagi, Plt Kepala BPS yang juga Deputi Bidang Ekonomi Bappenas tersebut dikenal sebagai teknokrat yang mumpuni, berlatar belakang pendidikan PhD ekonomi dari universitas ternama di Australia dan sangat berhati-hati dalam membuat pernyataan.
Menurut BPS, penurunan kelas menengah itu tidak tanggung-tanggung, hampir 9,5 juta orang antara tahun 2019 dan 2024. Pada tahun 2019, jumlah penduduk kelas menengah sebesar 57,33 juta orang.
Jumlahnya terus menurun menjadi 53,83 juta (2021), 49,51 juta (2022), 48,27 juta (2023) dan 47,85 juta (2024). Tahun 2020 dianggap sebagai anomali sehingga BPS tidak menerbitkan datanya.
Kelas menengah adalah mereka yang pengeluaran per bulan ada di rentang 3,5-17 kali garis kemiskinan nasional per kapita. Saat ini, garis kemiskinan dipatok di angka Rp 582.932 per kapita per bulan. Artinya, kelas menengah adalah mereka yang pengeluaran per bulannya ada dalam kisaran sedikit di atas Rp 2 juta - Rp 9,9 juta per kapita. Ingat, per kapita.
Jumlah gaji per bulan melebihi kriteria tidak serta-merta menjamin seseorang masuk kategori kelas menengah.
Maksud dari per kapita bisa dicontohkan dengan ilustrasi sederhana di sebuah keluarga, dengan suami dan istri bekerja.
Katakanlah gaji masing-masing Rp 5 juta per bulan. Angka tersebut sudah di atas Upah Minimum Regional (UMR), bahkan untuk kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Untuk mudahnya, asumsikan gaji tersebut sudah dipotong pajak penghasilan (PPh) pasal 21 oleh perusahaan.
Setiap hari bekerja, mereka sangat irit, hanya mengeluarkan Rp 15 ribu per orang untuk transpor dan makan siang. Penghasilan bersih mereka menjadi Rp 10 juta dikurangi Rp 720.000 untuk transportasi 24 hari kerja, didapat Rp 9,28 juta per keluarga.
Jika mereka tidak mempunyai anak, atau anaknya maksimal hanya dua, penghasilan per kapitanya adalah Rp 2.320.000, yaitu Rp 9,28 juta dibagi empat. Jika diasumsikan pengeluaran sama dengan penghasilan, artinya mereka masih termasuk kelas menengah bawah.
Tapi bagaimana jika mereka harus menanggung satu orang tua lansia? Pengeluarannya anjlok menjadi Rp 1.856.000 per kapita. Artinya mereka terlempar dari kelas menengah.
Apalagi jika harus menanggung empat orang tua lansia? Bagaimana juga jika untuk bekerja, uang Rp 15 ribu per orang tidak cukup?
Dengan ilustrasi tersebut, gaji gabungan Rp 10 juta yang kelihatannya sudah lumayan ternyata menjadi kecil ketika menghitung tanggungan keluarga.
Bahkan, gaji gabungan Rp 10 juta tersebut belum menjadi jaminan akan menempatkan mereka ke kelompok kelas menengah.
Bayangkan ada berapa banyak orang yang sudah banting tulang tapi total penghasilannya tidak sampai Rp 10 juta, dengan tanggungan tak kalah sedikit?
Penyebab
Menurunnya jumlah kelas menengah ini disebut sebagai imbas dari pandemi. Pada titik tertentu, argumen tersebut ada benarnya.
Sayangnya, data jumlah kelas menengah tahun 2020 tidak tersedia. Akibatnya kita sulit mengetahui apakah penurunan ini sudah terjadi dalam periode 2019-2020 sebelum pandemi.
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tahun 2022 dan 2023 sudah kembali ke level 5 persen, yaitu 5,31 persen dan 5,05 persen. Dengan pertumbuhan yang cukup tinggi, seharusnya jumlah penduduk kelas menengah naik kembali selama periode 2022-2024.
Karena itu, sulit menerima argumen bahwa pandemi menjadi penyebab masih turunnya kelas menengah selama 2-3 tahun terakhir.
Faktor lain yang juga mengemuka disebut sebagai penyebab turunnya kelas menengah adalah inflasi. Masalahnya, inflasi justru menurun dari 5,51 persen pada 2022 menjadi 2,61 persen pada 2023.
Sementara itu inflasi tahunan (year-on-year) selama Januari-Agustus 2024 hanya pada kisaran 2,12 persen - 3,05 persen.
Jadi, Indonesia saat ini justru berada pada rezim inflasi rendah. Karena itu, kurang logis jika anjloknya kelas menengah ini dikatakan akibat inflasi.
Pajak juga sempat disebut sebagai penyebab. Hal ini tidak benar juga.
Mari lihat ilustrasi sederhana di atas. Jika suami istri tersebut tidak punya anak, maka penghasilan tidak kena pajak (PTKP) gabungan mereka adalah Rp 112,5 juta.
Total PPh pasal 21 mereka berdua hanya Rp 375.000 setahun. Jika mereka menanggung dua anak, gaji gabungan mereka malah di bawah PTKP Rp 121,5 juta. Mereka tidak perlu membayar PPh. Jadi pajak bukan penyebabnya.
Lalu apa faktor yang paling logis?
Jika melihat ilustrasi keluarga di atas, yang paling mungkin adalah berkurang atau hilangnya penghasilan, dan atau bertambahnya tanggungan keluarga.
Kehilangan satu sumber penghasilan saja tampak bakal mengguncang perekonomian keluarga, bahkan menjadikan mereka rentan makin turun kelas kelompok ekonomi.
Kedua skenario tersebut hanya mungkin terjadi bila salah satu dari pasangan tersebut, apalagi keduanya, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kemungkinan lain, ada anggota keluarga yang di-PHK, sehingga masuk menjadi tanggungan mereka.
Selain itu, bisa juga karena orang kehilangan pekerjaan bergaji tetap, lalu pindah ke pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap. Kondisi ini yang sekarang banyak terjadi.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memperlihatkan tren yang sama, yaitu PHK masih marak terjadi hingga selewat semester I/2024.
Dari Januari-Agustus 2024, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada PHK terhadap 190.639 pekerja. Ini naik 27,75 persen dibanding periode yang sama setahun lalu.
BPJS Ketenagakerjaan pun melansir hingga Agustus 2024 sudah mencairkan Rp 264,61 miliar manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi lebih dari 37.000 pekerja yang terkena PHK.
Setengah pengangguran
Sekilas data dari Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS ketenagakerjaan memang memberikan dugaan bahwa PHK lah yang menjadi ancaman nyata kelas menengah.
Apalagi, akhir-akhir ini marak berita mengenai PHK di sektor manufaktur, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT).
Namun data ketenagakerjaan BPS seakan terlihat tidak mendukung dugaan di atas. Pada Februari 2024, misalnya, BPS mencatat terdapat 142,18 juta penduduk bekerja, naik 3,55 juta orang dari Februari 2023.
Tingkat Pengangguran Terbuka Februari 2024 turun 0,63 poin dibanding Februari 2023, menjadi hanya 4,82 persen. Angka penganggurang terbuka di bawah 5 persen adalah sebuah capaian yang impresif.
Dengan data BPS seperti itu, lalu ke mana data PHK tercatat? Apakah mereka yang terkena PHK langsung memperoleh pekerjaan lain? Jika benar demikian, mengapa jumlah kelas menengah, terutama menengah bawah, anjlok signifikan?
Dugaan penulis, jawabannya ada pada data "setengah pengangguran" yang oleh BPS didefinisikan sebagai pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.
Orang yang bekerja hanya satu jam seminggu lalu, misalnya membersihkan galengan sawah, dia akan didata sebagai mempunyai pekerjaan tapi setengah menganggur. Dia tidak dicatat sebagai pengangguran terbuka. Dulu kelompok ini disebut setengah pengangguran terpaksa.
Pada Februari 2024 terdapat kenaikan 1,61 persen poin pekerja setengah pengangguran dibanding Februari 2023.
Dengan jumlah angkatan kerja 149,38 juta, berarti terdapat tambahan 2,41 juta pekerja setengah menganggur selama satu tahun tersebut. Sebagian besar dari kelompok ini hampir bisa dipastikan terlempar dari kelas menengah.
Mungkin pengecualiannya adalah orang seperti influencers dengan jumlah pengikut puluhan atau ratusan juta orang. Atau pemain pasar modal yang hoki-nya sedang bagus, atau contoh lainnya.
Mereka bekerja hanya beberapa jam seminggu tapi berpenghasilan besar. Tapi jumlah pekerja seperti ini bisa dihitung dengan jari.
Kinerja manufaktur
Dengan maraknya berita PHK manufaktur, wajar jika kita mengaitkan fenomena setengah pengangguran dengan kinerja industru manufaktur.
Industri ini disebut terganggu kinerjanya karena pandemi. Pandemi memang menjadi penyebab, terbukti dari purchasing managers' index (PMI) yang terjun bebas menjadi 27,5 pada awal pandemi April 2020.
Tapi selama pandemi pada 2020 pun, PMI sempat di atas 50, misalnya pada November-Desember. Pada 2021, PMI juga di atas 50 kecuali pada Juli. Artinya, industri manufaktur masih bisa ekspansif selama pandemi.
Selain itu, sebelum pandemi selama Juli 2019 hingga Januari 2020, PMI ternyata di bawah 50. Jadi, industri manufaktur juga pernah kontraktif sebelum pandemi. Karena itu, pandemi bukan satu-satunya faktor.
Kontraksi sebelum pandemi ini juga membantah klaim bahwa kebijakan relaksasi impor sebagai penyebab turunnya PMI menjadi 49,3 pada Juli 2024. Tanpa ada relaksasi impor, pada Oktober 2019 PMI justru anjlok lebih dalam ke 47,7.
PPN 12 persen
Data dan pembahasan di atas menguatkan dugaan bahwa penyebab anjloknya kelas menengah adalah karena masalah lapangan pekerjaan.
Salah satu sektor yang relevan adalah manufaktur. Namun, ini bisa juga karena kelesuan sektor properti, sektor jasa termasuk media massa, dan sektor padat karya lainnya. Bisa juga karena investasi infrastruktur kita terlalu padat modal.
Jika dugaan lapangan kerja ini benar maka kita perlu menyisir apa saja akar masalah dan solusinya di setiap sektor. Apakah ini karena disrupsi digital, ketidaksiapan menghadapi perubahan struktural, dan lainnya?
Hal tersebut tidak dibahas dulu dalam tulisan ini. Namun yang jelas, kebijakan-kebijakan yang dapat semakin mengganggu penyerapan lapangan kerja dan konsumsi kelas menengah perlu dikaji ulang.
Salah satu yang sangat krusial dikaji ulang adalah rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Sebagaimana kita tahu, mandat menjadikan tarif PPN ini berasal dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajajakan (UU HPP).
Menjalankan undang-undang adalah satu hal. Namun menjaga kinerja ekonomi, termasuk menyelamatkan kelas menengah saat ini adalah mendesak.
Kebanyakan mereka berasal dari kelompok usia produktif. Mereka juga banyak yang merupakan generasi sandwich, alias menanggung biaya hidup orang tua, kerabat, dan anak-anaknya.
Kita sama-sama tahu, hanya perlu itikad politik untuk membuat sebuah perubahan atas undang-undang. Terlebih lagi, ini terkait kepentingan lebih besar, yaitu perekonomian nasional.
Apalagi, Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah mencanangkan pertumbuhan tinggi, yang diharapkan bisa 8 persen minimal sekali selama 2025-2029. Target ini rasanya musykil terwujud bila kelas menengah yang jadi penopang perekonomian justru tergerus.
Editor : Palupi Annisa Auliani
- Hits: 27