Presiden Marah, Datanya Benarkah?

Presiden Marah, Datanya Benarkah?

Dradjad H. Wibowo
Ekonom Senior Indef
Ketua Dewan Pakar PAN

 

Melihat video kemarahan Presiden dalam rapat kabinet terbatas 18 Juni 2020, reaksi pertama saya adalah, benarkah data yang beliau sampaikan? Presiden menyebut anggaran kesehatan Rp 75 triliun dan penyerapannya baru 1,53%.

Selain karena sangat memegang teguh sains dan data, saya bereaksi seperti itu karena pada tanggal 17 Juni malam, saya menjadi narsum di salah satu TV swasta. Saya mengangkat isu anggaran Kementerian Kesehatan. Nara sumber lainnya adalah staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, dan Rektor Universitas Paramadina, Profesor Firmanzah.

Saya menyebut klaim tambahan anggaran kesehatan sebagai accounting gimmick. Karena, tambahan tersebut sebenarnya dialokasikan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, yang pada tahun ini diperkirakan sebesar Rp 32 triliun.

Setelah mengontak seseorang terlebih dulu, mas Yustinus merespon dengan menyebut tambahan anggaran kesehatan Rp 75 triliun, namun serapannya baru 1,53%. Seusai acara saya sempat mempertanyakan kebenaran data tersebut. Namun karena waktu, diskusi kami tidak tuntas.

Jadi ketika muncul video kemarahan Presiden, saya langsung mengaitkannya dengan laporan Kementerian Keuangan. Tapi, benarkah datanya?

Untuk mengeceknya, mari kita lihat Lampiran Perpres 54/2020. Di halaman 15 terdapat rincian belanja Pemerintah Pusat. Untuk Kementerian Kesehatan disebut belanjanya semula Rp 57,4 triliun, berubah menjadi Rp 76,5 triliun. Ada kenaikan Rp 19,1 triliun.

Jadi, di Lampiran Perpres 54/2020 sama sekali tidak tertulis tambahan Rp 75 triliun untuk Kementerian Kesehatan, atau untuk kesehatan tanpa embel-embel Kementerian.

Saya mendapat info bahwa tambahan tersebut adanya di pos Bendahara Umum Negara (BUN). Di Lampiran Perpres 54/2020 halaman 20 terdapat pos BUN BA 999. Angkanya naik dari Rp 773,9 triliun menjadi Rp 1014,6 triliun. Pos ini mengambil 54,8% dari belanja Pemerintah Pusat yang naik menjadi Rp 1851,1 triliun.

Siapakah BUN itu? Mari kita rujuk UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 7 ayat 1 berbunyi “Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara.” Sementara pasal 4 ayat 1 bunyinya “Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.”

Jadi jelas pos BUN ini kewenangannya ada pada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Kita pun bisa melihat betapa dahsyat kewenangan Menkeu dalam belanja Pemerintah Pusat, karena memegang 54,8% belanja. Ini tidak termasuk belanja Kementerian Keuangan di mana Menkeu berperan sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang.

Katakanlah, dana Rp 75 triliun itu benar ada dalam pos BUN. Kalau serapannya benar-benar hanya 1,53%, lalu siapa yang paling bertanggungjawab? Masak Menteri/pimpinan lembaga lain yang tidak punya kewenangan terhadap pos BUN?

Bagaimana jika anggaran Rp 75 triliun itu tidak ada di pos BUN? Terus adanya di mana? Dokumennya memakai Perpres atau ada dokumen lain? Siapa Pengguna Anggaran/Pengguna Barangnya? Mana mungkin uang Rp 75 triliun tidak jelas alokasinya.

Tanggal 24 Juni 2020 Presiden meneken Perpres 72/2020 sebagai perubahan atas Perpres 54/2020. Perpres ini diundangkan tanggal 25 Juni.

Dalam Perpres 72/2020, belanja Pemerintah Pusat terdapat di Lampiran IV. Belanja Kemenkes ada di halaman 139-146, jumlahnya menjadi Rp 78,5 triliun. Jadi kenaikannya sekarang Rp 21,5 triliun, yang di Perpres 54/2020 hanya 19,1 triliun. Tapi sekali lagi, tidak tertulis angka Rp 75 triliun.

Mari kita lihat pos BUN di Lampiran V. Yang dimasukkan adalah belanja bunga dan pinjaman, hibah, subsidi, belanja lainnya dan transaksi khusus. Item kesehatan terdapat di sub-pos pengelolaan belanja lainnya. Nilainya? Nol. Benar, nol dari jumlah belanja lainnya sebesar Rp 463,8 triliun!

Dalam pos BUN terdapat sub-pos transaksi khusus. Di sini ada 3 item yang terkait pelayanan kesehatan. Tapi ketiganya merupakan belanja pegawai untuk Aparatur Sipil Negara.

Jadi, tambahan Rp 75 triliun untuk kesehatan itu tidak tertulis juga dalam Perpres 72/2020. Saya juga belum menemukan angka Rp 75 triliun + Rp 57,4 triliun = Rp 132,4 triliun untuk kesehatan.

Sekarang ada penjelasan jika Rp 75 triliun tersebut tersebar di berbagai Kementerian / Lembaga. Mirip seperti anggaran pendidikan. Jika benar demikian, mengapa tidak ada rinciannya seperti Lampiran I.2 dari Perpres 72/2020? Jika tidak ada rinciannya, lalu yang menyerap 1,53% atau Rp 1,15 triliun itu Kementerian / Lembaga mana saja?

Jangan lupa, Perpres 72/2020 itu baru diteken 6 hari setelah Presiden marah. Jadi saat Presiden marah, belum ada dasar hukum bagi Menteri / pimpinan lembaga selain Menkeu untuk memakai pos BUN. Karena itu aneh jika serapan 1,53% itu disebut dari anggaran kesehatan di BUN.

Jadi angka Rp 75 triliun dan 1,53% itu perlu diklarifikasi. Jangan sampai Presiden marah dengan data yang salah.

 

 

Artikel ini dimuat pada :

https://money.kompas.com/read/2020/07/04/175934126/presiden-marah-soal-anggaran-kesehatan-datanya-benarkah?page=all#page2

https://makassar.tribunnews.com/2020/07/04/ekonom-indef-drajad-wibowo-soroti-data-jokowi-saat-marahi-menterinya-sebut-aneh-data-salah

  • Hits: 1322

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id