Pemerintah Perlu Realistis Soal BPJS Kesehatan
Pemerintah Perlu Realistis Soal BPJS Kesehatan.
Dradjad H. Wibowo
Ekonom, mantan Ketua DISK - BIN
1. Kemarin MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
Berarti sudah dua kali kenaikan iuran yang ditetapkan oleh Presiden dibatalkan atau ditolak oleh lembaga negara lain. Sebelumnya, kenaikan iuran sebesar 30% yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2016 ditolak oleh DPR.
Lengkap sudah. Rakyat banyak menentang. Lembaga legislatif menolak. Sekarang MA sebagai lembaga pengemban kekuasaan yudikatif tertinggi juga membatalkan.
2. Sebenarnya ada solusi lain yang juga sudah dibahas kabinet periode lalu dan lingkaran Istana Presiden. Itu sebabnya di berbagai acara live di TV saya katakan ada solusi untuk mengatasi defisit BPJS tanpa harus menaikkan iuran, dan tidak membebani APBN.
Bukan hanya itu. Solusi ini juga bisa dijadikan bagian dari cara mengatasi ambruknya keuangan Jiwasraya.
3. Tidak etis bagi saya mengungkapkan secara rinci proses pembahasan solusi tersebut. Ini karena saya pernah menjadi Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) BIN di bawah Kepala BIN Sutiyoso.
Yang bisa saya sampaikan adalah, solusi tersebut didasari premis bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan ditolak rakyat secara luas. Sekarang premis tadi terbukti.
Dasar hukum dari solusi tersebut sangat kuat. Selain UU dan peraturan perundangan di bawahnya, secara spesifik solusi di atas merujuk pada Perpres Nomor 111 Tahun 2013 pasal 25 ayat 1 huruf j yang berbunyi:
"Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi:
j. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakn diri sendiri".
Merokok termasuk ke dalam kategori butir j. Jadi seharusnya penyakit akibat merokok tidak dijamin pelayanan kesehatan (yankes)-nya. Faktanya, yankes karena penyakit ini justru banyak menyedot dana BPJS. Saya pribadi tidak mempunyai estimasinya. Tapi berbagai pihak menyebut angka 20-30%.
4. Karena para perokok yang sakit itu seharusnya tidak dijamin oleh BPJS, maka mereka perlu dibebani sebuah premi atas setiap batang rokok yang mereka konsumsi. Premi ini ditambahkan langsung ke harga rokok dan dibayarkan ke perusahaan asuransi BUMN, dalam hal ini Jiwasraya. Kenapa? Karena premi ini bisa dilihat sebagai sebuah "asuransi" yang memenuhi bidang kerja Jiwasraya.
Kenapa tidak langsung ke BPJS? Karena kita harus memegang teguh prinsip bahwa BPJS tidak menjamin yankes bagi penyakit akibat merokok.
Jadi jika perokok sakit, maka yankesnya dibebankan ke premi ini. Perokok tidak menggerogoti BPJS. Tapi jika sakit, mereka sudah mempunyai "asuransi".
5. Pada tahun 2016 itu ada menteri yang menolak konsep ini karena dinilai sebagai "asuransi perokok". Saya juga anti rokok, tapi apakah perokok itu bukan rakyat yang perlu diperhatikan juga yankes-nya? Itu penolakan yang konyol dan menteri tersebut juga gagal mengatasi defisit BPJS.
6. Solusi ini berbeda dengan cukai rokok. Cukai adalah instrumen penerimaan APBN, dan dananya masuk ke Kemenkeu. Dana tersebut dipakai untuk semua pos belanja APBN.
Premi bersifat spesifik. Perokok membayar sendiri beban yankes-nya.
7. Bagaimana hitungannya? Ada beberapa simulasi premi senilai 10, 15 dan 20%. Estimasi dana yang terkumpul antara Rp 28-57 triliun setahun. Jadi bisa menutup beban yankes BPJS untuk penyakit akibat merokok, serta ada surplus bagi keuangan Jiwasraya.
Solusi di atas secara politis lebih realistis dan secara keuangan layak. Hanya segelintir menteri saja yang memilih menaikkan iuran BPJS. Secara etika, mereka seharusnya mundur. Karena, Presiden dipermalu, dan solusi mereka ditolak rakyat, legislatif dan yudikatif.
Bogor, 10 Maret 2020
Artikel ini dimuat pada :
https://m.republika.co.id/berita/q6yl8f318/kenaikan-bpjs-ditolak-perokok-diusulkan-bayar-premi-sendiri
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2020/pemerintah-perlu-realistis-soal-bpjs-kesehatan/
https://finance.detik.com/moneter/d-4933635/ekonom-usul-penyakit-akibat-rokok-tak-ditanggung-bpjs-kesehatan
- Hits: 1179