MENJADI PEMENANG GLOBALISASI MELALUI PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERKEADILAN SOSIAL

Dengan kemajuan teknologi komunikasi, informasi, komputasi dan transportasi dewasa ini, sekat-sekat fisik yang di masa lalu membatasi interaksi antar orang, bangsa dan negara semakin berkurang signifikansinya. Kemajuan teknologi membuat interaksi tersebut semakin intensif dan frekuentif, dengan kecepatan yang meningkat drastis dan biaya yang jauh semakin ekonomis.

Perkembangan ini jelas mempunyai implikasi politik, sosial budaya, lingkungan dan ekonomi yang sangat luar biasa, baik pada tingkat global, regional maupun nasional. Dalam politik internasional, misalnya, tragedi kemanusiaan di satu lokasi bisa dengan cepat memicu kemarahan global di berbagai penjuru dunia, bahkan seringkali dalam hitungan waktu riil (real time). Di sisi lain, opini politik dunia bisa dimanipulasi sedemikian rupa untuk membenarkan, bahkan mendukung, agresi unilateral Amerika terhadap negara berdaulat seperti Panama, Afganistan dan Irak.

Di bidang budaya, intrusi budaya dan gaya hidup, baik dalam bentuk nilai-nilai, perilaku, hingga hobi seperti musik dan olahraga dari negara adidaya seperti Amerika Serikat menjadi semakin sulit dibendung oleh negara-negara lain. Namun pada sisi lain, proses saling pengayaan sosial budaya antar berbagai bangsa juga berjalan semakin pesat, mulai dari pengayaan seni hingga kuliner.

Di bidang lingkungan, dengan meningkatnya saling keterkaitan antara aktifitas manusia di seluruh penjuru dunia, dampak lingkungan yang ditimbulkannya juga semakin mengglobal. Sebagai contoh, konsumsi energi yang berlebihan terutama di negara-negara maju, mengakibatkan pemanasan global yang dampaknya dirasakan di seluruh dunia. Gelombang panas yang kita rasakan di Jawa pada beberapa hari terakhir ini, dengan risiko peningkatan prevalensi penyakit saluran pernafasan dan penyakit lainnya, merupakan salah satu contoh akibatnya. Faktor penyebab pemanasan global ini adalah emisi karbon yang berlebihan dan sekitar 65% dari emisi karbon di dunia berasal dari konsumsi energi global. Contoh lain, katastropi lingkungan yang timbul sebagai akibat kasus-kasus seperti kebakaran hutan di Kalimantan dan kebocoran reaktor nuklir di Rusia tidak hanya dirasakan pada lokasi kasus tersebut, tapi juga dirasakan secara regional di sekitarnya.

Di bidang ekonomi, kemajuan teknologi menyebabkan barang dan jasa bisa diproduksi di bagian manapun di dunia asalkan terpenuhi kelayakan teknis dan ekonomisnya, serta bisa dijual ke manapun yang membutuhkan. Korporasi semakin bebas memilih di mana dia akan menghasilkan barang dan jasa dengan biaya semurah mungkin, dan menjual ke manapun yang memberikan harga setinggi mungkin.

Saat ini konsumer di komplek-komplek perumahan di Los Angeles bisa melakukan order pembelian pizza yang dilayani oleh operator dari Mumbai. Ini karena kemajuan teknologi membuat layanan subkontrak dari India jauh lebih ekonomis dibanding layanan langsung oleh operator Amerika. Guru-guru les di New Delhi bisa dengan mudah memberikan tutorial kepada anak didik yang tinggal di Chicago, meski mereka terpisah ribuan kilometer. Perancang furnitur dari Roma bisa dalam waktu riil mengirim disain ke rekanan produsennya di Cirebon atau Manila, sambil menikmati cappuccino menghayati kemegahan Collosseum. 

Transaksi keuangan global juga semakin terintegrasi dan berkecepatan tinggi. Akibatnya, lalu lintas dana bisa bergerak antar negara hanya dalam hitungan detik. Orang bisa dengan mudah melakukan transaksi di pasar valuta asing dan pasar modal di berbagai bursa dunia, tanpa secara fisik harus berada di sana. Pemain pasar modal di Pondok Indah, misalnya, bisa meraih untung atau terkena buntung puluhan ribu dollar dari Nikkei, padahal dia sedang terjebak macet di jalan arteri.

Sebagai konsekwensi dari itu semua, struktur dan sistem organisasi bisnis internasional mengalami revolusi manajerial, komunikasi, jalur perintah dan kontrol yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Dunia pun semakin hari semakin bergerak menyatu menjadi sebuah desa global. Inilah pengertian sederhana dari globalisasi, sebuah proses integrasi kehidupan masyarakat dunia sebagai dampak dari kemajuan teknologi.

Globalisasi jelas tidak bisa kita elakkan. Suka atau tidak, siap atau tidak, globalisasi sudah merasuki kehidupan sebagian besar umat manusia. Masalahnya, globalisasi tidak selalu membawa manfaat bagi semua orang. Bahkan untuk hal-hal yang memang terbukti menghasilkan manfaat, selalu saja ada sekelompok orang, bangsa atau negara yang justru secara netto dirugikan oleh globalisasi. Mereka inilah yang termarjinalisasikan sebagai korban globalisasi.

Sebagai misal, coba tanyakan apakah ada manfaat semua keajaiban globalisasi di atas kepada Oliver, seorang anak yatim di Kinshasa. Oliver harus kehilangan ibunya yang meninggal karena AIDS, sebuah penyakit yang menyebar mengikuti globalisasi.  Di kota yang penuh kebrutalan dan hancur akibat perang dan wabah penyakit itu, Oliver yang baru berumur 9 tahun harus mengais-ais sampah makanan. Menurut organisasi Save the Children, Oliver hanyalah satu dari sekitar 30 ribu anak-anak yatim piatu yang harus bertahan hidup di jalan-jalan kotor Kinshasa (Seabrook, 2003).

Tanyakan pula bagaimana globalisasi justru membuat gadis-gadis belia Thailand, Indonesia dan Filipina diperjualbelikan sebagai pelacur di klab-klab malam Tokyo. Bagaimana pula dengan kaum ibu di desa-desa di Malawi, Tanzania, Laos atau Indonesia yang harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk memperoleh satu ember air bersih.  Kelompok masyarakat inilah yang oleh Seabrook (2003) disebut “The Invisible Poor”, orang-orang miskin yang tidak terlihat sama sekali, yang luput dari perhatian, terutama oleh mereka yang menjadi pemenang globalisasi.

Yang sangat menyedihkan, kelompok miskin ini jumlahnya sangat luar biasa banyaknya. Keberadaan mereka saja sudah layak dikategorikan sebagai tragedi kemanusiaan. Apalagi jika dilihat bagaimana jurang pemisah antara mereka dengan para pemenang globalisasi semakin melebar.

Mari kita lihat statistik. Dewasa ini diperkirakan lebih dari 840 juta penduduk dunia yang mengalami malnutrisi, enam juta balita meninggal setiap tahun sebagai akibatnya. Sekitar 1,2 milyar penduduk dunia hidup dengan penghasilan kurang dari satu dolar AS sehari, sekitar separuh penduduk dunia hidup dengan dua dolar AS sehari. Sementara di lain pihak, penghasilan dari kelompok 1% terkaya di dunia setara dengan 57% penduduk dunia (Seabrook, 2003).

Di negara-negara maju pun, jurang pemisah tersebut semakin lebar dan dalam. Selama dekade 1980-an, misalnya, semua manfaat dari pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat hanya dirasakan oleh kelompok 20% berpenghasilan tertinggi, di mana 64%-nya dirasakan oleh kelompok 1% terkaya. Sementara itu penghasilan dari 500 Chief Executive Officer (CEO) berpenghasilan tertinggi malah berlipat ganda 35 sampai dengan 157 kali dari penghasilan pekerja rendahan (Thurow, 1996).

Yang lebih memprihatinkan, kemiskinan dan ketimpangan di atas memburuk bukan karena perbedaan kepemilikan sumber daya alam antar individu, bangsa atau negara. Tapi justru oleh langkah-langkah salah yang diambil oleh para juru kampanye globalisasi seperti IMF, WTO dan Bank Dunia, serta oleh para pemenang globalisasi seperti negara-negara industri maju dan korporasi multinasional.

Pada tingkat negara, mari kita lihat kasus yang saya sebut “Siklus Argentina” (Wibowo, 2004). Pada tahun 1980-82, Argentina dilanda krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis perbankan dan utang luar negeri. Biaya restrukturisasi perbankan mencapai 55,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sebuah angka yang saat itu terbesar dalam sejarah. Inflasi sebesar 101-165%, dan terus melejit hingga mencapai 3080% pada tahun 1989.

Pada tahun 1991 Argentina melakukan penyesuaian struktural a la IMF, dan secara rigid mengikuti resep-resep Konsensus Washington. Pilarnya ada tiga, yaitu stabilisasi makro, liberalisasi perdagangan, investasi dan sektor keuangan, serta privatisasi. Stabilisasi makro, terutama stabilisasi harga, menjadi prioritas pemulihan ekonomi. Supply uang dikendalikan secara ketat, serta diback up 100% oleh emas dan cadangan devisa (dalam US Dollar). Negara ini juga mengadopsi sistem Currency Board (CB). Seperti biasa, IMF berargumen hanya dengan langkah-langkah penyesuaian struktural saja Argentina dapat memperkuat perekonomiannya sehingga bisa menjadi salah satu pemenang globalisasi.

Pada bulan September 1994 Argentina memulai privatisasi secara besar-besaran. Kalau tadinya BUMN yang rugi yang dijual (dengan harga murah tentunya), sekarang semua BUMN yang tersisa akan diprivatisasi. Ini termasuk BUMN percetakan uang, kantor pos hingga bandar udara. Untuk menutup defisit anggaran, Argentina rajin menerbitkan obligasi, selain terus menerus menambah utang luar negeri dan utang untuk restrukturisasi perbankan.

Semua langkah di atas sangat dipuji oleh IMF dan Bank Dunia. Argentina pun dijadikan contoh dalam berbagai laporan riset dan buku teks. Hasil positifnya memang ada, minimal untuk jangka pendek. Inflasi turun drastis menjadi 4% pada tahun 1994 dan menjadi sekitar 0% pada periode 1996-1997.

Tapi pada awal tahun 2002, ekonomi negara ini hancur total. PDB turun sekitar 12 persen, pengangguran terbuka naik di atas 20% menurut angka resmi (yang tidak resmi lebih tinggi lagi). Nilai tukar Peso anjlok sepertiganya. Obligasi membengkak drastis, tapi yang jatuh tempo tidak terbayar. Aset masyarakat di perbankan dibekukan, kerusuhan sosial merebak, dan Presidennya digusur berkali-kali dalam hitungan hari. Ekonom pro-IMF menyalahkan CB sebagai penyebabnya. Padahal tadinya CB dipuji-puji karena Argentina tidak terkena infeksi krisis Asia, dan inflasinya terkendali.

Dalam siklus Argentina di atas, utang yang besar dipecahkan dengan penyesuaian struktural yang tidak perlu. Ini diikuti oleh penambahan utang luar negeri, penerbitan obligasi, dikurasnya tabungan pemerintah, penjualan aset, dan penjualan BUMN. Akibatnya, tabungan dan aset negara semakin menipis.

Beban pembayaran utang juga meningkat drastis. Dalam kasus Argentina, beban ini naik dari US$ 13 milyar pada tahun 1996 menjadi US$ 27 milyar pada tahun 2000. Sebagai konsekwensinya, penerbitan obligasi harus terus menerus diperbesar. Pada titik tertentu, pasar tidak mau lagi membeli obligasi pemerintah sehingga Argentina tidak bisa melakukan refinancing untuk membayar utang dan obligasi yang jatuh tempo.. Modal pun berlarian keluar. Di Argentina, siklus ini terjadi setelah 20 tahun.

Untunglah Argentina memperoleh seorang Presiden pemberani pada tahun 2002, yaitu Nestor Kirschner. Melihat negaranya sudah jauh terbelit utang, Presiden Kirschner memutuskan menolak membayar utang luar negeri, kecuali negara-negara kreditor memotong drastis utangnya. Langkah unilateral Argentina ini dikecam oleh IMF dan para komprador Konsensus Washington. Argentina divonis akan menjadi pariah dunia, ekonominya akan hancur.

Presiden Kirrchner tetap tidak mau tunduk terhadap tekanan IMF dan para kreditor lainnya. Hasilnya, perekonomian Argentina tumbuh rata-rata di atas 8% per tahun selama periode 2003-2007. Pada tanggal 3 September 2008, Argentina memutuskan akan membayar lunas seluruh sisa utangnya ke negara-negara Paris Club, yaitu US$ 6.7 milyar. Argentina bahkan berhasil membalikkan kondisi fiskalnya dari defisit menjadi sehat, sesuatu yang tidak pernah dicapai selama mengikuti Konsensus Washington.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dengan kebijakan ekonomi yang terus didominasi oleh teknokrat neoklasikal pro IMF dan Bank Dunia, yang secara membabibuta mengadopsi Konsensus Washington, peluang bahwa Indonesia akan menjadi korban globalisasi, bukan pemenangnya, sangatlah besar. Setidaknya, cukup banyak segmen masyarakat yang sudah dan akan menjadi korban tersebut.

Para petani padi Indonesia, misalnya, sudah pernah dan masih terus menjadi korban globalisasi hingga saat ini. Pada tahun 1998, atas tekanan IMF melalui letter of intent (LoI) Januari 1998, pemerintah melakukan liberalisasi impor beras. Tarif impor produk pertanian pangan diterjunbebaskan menjadi nol persen, sementara untuk non-pangan 5%. Selain itu, Bulog sebagai penyangga harga beras domestik dihapuskan monopolinya. Bulog juga digunting kekuatan finansialnya dengan penghapusan kredit likuiditas Bank Indonesia untuk pengadaan stok beras, tanpa disertai penyediaan sumber pembiayaan lain yang memadai. Kedua langkah terakhir ini memperoleh pembenaran moral dan legal karena di masa lalu, monopoli dan kredit likuiditas menjadi sumber korupsi kelas kakap di Bulog.

Dampak dari langkah-langkah di atas ternyata sangat merugikan petani. Impor beras menjadi lahan perburuan rente ekonomi besar-besaran bagi para konglomerat dan elit politik. Namun harga gabah pada tingkat petani terus mengalami tekanan. Puncaknya terjadi pada musim panen tahun 2000, di mana harga gabah kering giling pada tingkat petani anjlok menjadi Rp 700/kg. Padahal biaya sarana produksi padi (saprodi) dan tenaga kerja sudah mencapai sekitar Rp 800/kg. Kesalahan ini akhirnya dikoreksi dengan penerapan tarif  impor beras yang setara 30%.

Industri perkayuan pun mengalami nasib yang sama. LoI mengharuskan pemerintah melakukan liberalisasi terhadap ekspor kayu gelondongan. Dikatakan bahwa dengan liberalisasi ini, harga kayu gelondongan dalam negeri akan sesuai dengan nilai ekonomisnya. Akibatnya, efisiensi industri perkayuan meningkat, penggunaan kayu menjadi lebih rasional, dan pada akhirnya deforestasi bisa ditekan.

Kebijakan di atas terbukti salah besar. Kehancuran industri perkayuan justru semakin parah karena mereka kesulitan memperoleh bahan baku. Pembalakan dan perdagangan kayu ilegal melonjak drastis. Kerusakan hutan semakin luas dan cepat.

Kenapa bisa demikian? Karena kebijakan tersebut mengabaikan kondisi kelembagaan dan transisi demokrasi yang ada di Indonesia. Eforia otonomi daerah membuat penguasa lokal leluasa mengavling hutan dan melakukan pembalakan besar-besaran. Kesulitan bahan baku membuat industri mau membeli kayu ilegal agar bertahan hidup. Penghapusan dwifungsi ABRI membuat tentara dan polisi kehilangan posisi elit di birokrasi. Sebagai kompensasinya, sebagian oknum masuk merambah hutan, di mana kekuasaan ditentukan oleh kekuatan fisik dan persenjataan, bukan oleh demokrasi.. Garis lintas pantai yang panjang dan daerah perbatasan yang minim penjagaan membuat cukong kayu Malaysia dan Singapura leluasa membiayai pembalakan liar.

Selain contoh sektoral di atas, ada lagi fakta agregat yang lebih memprihatinkan, yang belum banyak diketahui masyarakat. Yaitu, mengenai utang luar negeri (Wibowo, 2005). Pada tahun 1969 utang luar negeri pemerintah hanya sebesar US$ 2.44 milyar. Tahun 2003 jumlahnya menjadi US$ 80.86 milyar. Berarti selama 34 tahun ada kenaikan nominal sebesar US$ 78.42 milyar, atau Rp 729 triliun dengan kurs akhir Desember 2004. Ini dengan asumsi nilai waktu dari uang (time value of money) tidak dihitung.

Selama periode yang sama, pemerintah sudah membayar cicilan pokok dan bunga sebesar US$ 56.52 milyar. Di lain pihak jumlah utang baru yang ditarik oleh pemerintah adalah US$ 37.68 milyar. Jadi, pembayaran kembali utang pemerintah sudah US$ 18.84 milyar, atau  Rp 175 triliun lebih besar dari utang yang baru diambil. Logikanya, kalau kita sudah membayar lebih banyak dari utang yang kita ambil, jumlah utang  seharusnya menurun. Tapi ini tidak. Kita sudah membayar terlau banyak (jumlahnya Rp 175 triliun), tapi utang kita malah bertambah Rp 729 triliun!

Beban utang yang menggunung tersebut jelas menghabiskan sumber dana yang semestinya bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak, Misalnya, untuk anggaran pendidikan, kesehatan dan penciptaaan lapangan kerja. Sebagai contoh, dalam realisasi APBN 2005, belanja negara untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri mencapai di atas 2,5 kali lipat belanja pendidikan, hampir 11 kali belanja kesehatan, hampir 33 kali belanja perumahan dan fasilitas umum, hampir 120 kali belanja ketenagakerjaan, atau  hampir 28 kali belanja lingkungan hidup. Dalam realisasi APBN 2006, rasio-rasio di atas diperkirakan tidak akan jauh berkurang. Inilah biaya oportunitas sosial yang harus ditanggung sebagai akibat dari rejim ekonomi yang terlalu pro kreditor.

Dengan besarnya dana yang dipakai untuk membayar utang luar negeri, kita patut bertanya bagaimana Indonesia bisa melakukan investasi untuk memperkuat industri,  kapasitas teknologi bangsa dan kemampuan sumber daya manusianya? Tanpa investasi ini, bagaimana Indonesia bisa menjadi pemenang dalam globalisasi?

Oleh sebab itu, kita seharusnya melihat globalisasi seperti pesta olahraga Olimpiade. Dalam olimpiade, para atlet bertarung sesuai dengan kelasnya, sesuai dengan rankingnya. Ada syarat minimal yang harus dipenuhi untuk bisa ikut dalam kompetisi tertentu. Dengan demikian, pertandingan dilakukan antar atlet yang memang relatif seimbang. Lalu jika ada atlet yang cidera, meskipun rankingnya relatif tinggi, dia tidak dipaksakan bertanding supaya cideranya tidak semakin parah. Dan yang perlu diingat, meski persyaratannya sudah ketat, toh tidak jarang kita menyaksikan pertandingan yang tidak seimbang, di mana salah satu atlet atau tim menjadi bulan-bulanan lawannya.

Globalisasi ekonomi yang dikampanyekan lembaga internasional seperti IMF, WTO dan Bank Dunia, serta diagung-agungkan oleh korporasi multinasional, merupakan sebuah olimpiade yang sama sekali tidak seimbang. Dari sisi kekuatan industri, teknologi, kemampuan sumber daya manusia dan keuangan, negara-negara miskin di Asia, Afrika dan Pasifik Selatan jelas kalah kelas sangat jauh dibandingkan negara-negara maju di belahan bumi utara. Bagaimana mungkin misalnya, negara seperti Malawi bertanding pasar bebas barang, jasa dan keuangan melawan raksasa seperti Jerman? Bagaimana mungkin perusahaan minyak gurem seperti Pertamina, yang neraca awal saja belum punya, harus bertarung bebas di pasar global melawan raksasa seperti ExxonMobil? Apalagi melalui Undang-Undang No 21/2001 tentang Migas yang sangat liberal, kekuatan Pertamina digunting drastis, baik pada sektor hulu maupun hilirnya.

Apabila para pemain yang terjun di gelanggang sudah seimbang kekuatannya, maka kita akan menyaksikan pertandingan yang seru dan menarik. Sebuah pertandingan yang dapat memberi manfaat netto, baik bagi pemain, pelatih, agen, penonton bahkan hingga asosiasi olahraga dan sponsor. Tapi agar hal tersebut terealisasi, kita harus mempunyai peraturan permainan yang komprehensif, efektif dan adil bagi semua pihak. Kita juga memerlukan wasit yang adil dan kapabel untuk memimpin pertandingan.

Dalam konteks ini, saya sangat merekomendasikan Bapak, Ibu dan adik-adik sekalian untuk membaca buku “Making Globalization Work” yang ditulis Professor Joseph Stiglitz, seorang pemenang Nobel bidang ekonomi.  Buku ini ditulis dalam rangka membuat olimpiade globalisasi yang seimbang dan bermanfaat. Ini merupakan kelanjutan dari Stiglitz (2002), yang secara kritis dan detail mengungkapkan kelemahan globalisasi dan dampak negatifnya bagi individu, bangsa atau negara yang menjadi korbannya.

Saya pernah makan malam privat dengan Profesor Stiglitz di sebuah galeri lukisan milik Karim Raslan di daerah Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Bukit Bintang jelas merupakan wilayah yang sangat menikmati manfaat dari globalisasi. Namun dalam diskusi malam tersebut, Stiglitz kembali menyampaikan pandangan kritisnya terhadap disain dan proses globalisasi yang sekarang terjadi. Dia juga mengungkapkan keyakinan dan ide-idenya untuk membuat globalisasi bermanfaat bagi umat manusia secara keseluruhan,  bukan hanya bagi orang-orang terkaya dunia saja.

Stiglitz sangat meyakini bahwa kita bisa membangun sebuah dunia yang lebih baik. Keyakinan ini juga beliau tampakkan dalam makan siang kami di Bali, bersama Prof Amien Rais pada tahun 2007 lalu. Kami bertiga percaya, sebuah dunia dengan proses globalisasi yang memberikan keadilan manfaat bagi kelompok kaya dan miskin dalam generasi sekarang, maupun bagi generasi sekarang dan generasi mendatang, masih bisa kita wujudkan. Oleh sebab itu kita perlu melakukan reformasi terhadap globalisasi.

Para pendukung Konsensus Washington percaya bahwa kebijakan ekonomi semestinya hanya berbicara tentang peningkatan efisiensi, yang hanya bisa dicapai dengan penerapan Konsensus Washington. Bagi mereka, tidak ada alternatif lain, sebuah jargon yang dikenal dengan istilah There Is No Alternative (TINA). Mereka percaya terhadap trickle-down effect, walaupun bukti-bukti empiris sedikit sekali mendukung premis tersebut. Bagi mereka, pemerataan ekonomi bukanlah urusan kebijakan ekonomi, itu adalah urusan politik. Dengan keyakinan yang salah kaprah tersebut, mereka mendorong globalisasi yang terbukti banyak memakan korban.

Saya sendiri lebih sepaham dengan padangan Stiglitz, yang percaya bahwa pemerintah harus mengambil peranan aktif dalam menggerakkan pembangunan dan melindungi kelompok miskin. Tidak bisa semuanya diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar. Peranan yang sama juga harus diambil oleh lembaga-lembaga publik internasional seperti IMF, Bank Dunia dan WTO. 

Memang ide-ide Stiglitz, yang juga disuarakan oleh Krugman, masih jauh dari realisasi. Resitensi dari kelompok status quo yang terlanjur menjadi pemenang globalisasi akan sangat besar.  Namun kalau kita gagal mengelola globalisasi secara manusiawi dan bersahabat dengan lingkungan seperti yang diusulkan Stiglitz, globalisasi akan dengan mudah berubah menjadi “keangkuhan kapitalisme”.

Bagi Indonesia sendiri, yang terpenting adalah menyadari bahwa dalam berbagai bidang, kelas kita masih jauh dari memadai untuk terjun ke dalam pertarungan keras di Olimpiade Globalisasi, khususnya bidang ekonomi. Oleh sebab itu, kita perlu belajar dari negara-negara yang berani berkata tidak terhadap Konsensus Washington, seperti Argentina sebagaimana saya contohkan sebelumnya.

Indonesia tidak perlu gagah-gagahan pro globalisasi tanpa mengukur kemampuan sendiri. Pemberian konsesi Blok Cepu kepada ExxonMobil, bukannya kepada Pertamina, adalah salah satu contoh dari sikap gagah-gagahan tersebut. Karena, dengan valuasi deposit migas sekitar US$ 40 milyar, akan lebih bermanfaat kalau Blok Cepu dikelola secara maksimal oleh Pertamina dan pelaku migas dalam negeri. Kita tidak perlu takut dikatakan “inward looking”, karena pada faktanya bukan itu sikap kita. Yang kita lakukan hanyalah, mengonsolidasikan seluruh sumber daya dan dana yang ada untuk membangun kekuatan industri, teknologi, sumber daya manusia dan keuangan, sehingga kita mampu bertanding di arena globalisasi. Kita juga perlu mengatur agar agenda stabilisasi makro, liberalisasi perdagangan, investasi dan sektor keuangan, serta privatisasi hanya dilakukan apabila sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, sosial dan kelembagaan di dalam negeri. 

Dalam konteks ini, pembangunan ekonomi ekonomi tidak bisa kita anggap  sebagai tujuan akhir, tapi hanya sasaran antara bagi sebuah proses pembangunan yang lebih berkeadilan sosial, demokratis dan ramah lingkungan. Dengan kata lain, kita memerlukan visi pembangunan  ekonomi  yang berkeadilan sosial.

Istilah "keadilan sosial" di atas mengandung dua dimensi. Pertama adalah dimensi intragenerasional, di mana program-program pemulihan ekonomi dan pembangunan diarahkan sedemikian rupa untuk menghasilkan distribusi manfaat dan biaya ekonomi yang dipandang adil oleh komponen-komponen masyarakat dalam generasi yang sama. Artinya, masalah kesenjangan sosial, pengangguran, dan pembagian kue ekonomi antar kelompok masyarakat (misalnya antara Usaha Besar, Usaha Menengah dan Usaha Kecil) perlu dijadikan salah satu target utama pemulihan ekonomi dan pembangunan.

Dimensi yang kedua adalah dimensi intergenerasional, di mana harus dijamin distribusi manfaat dan biaya ekonomi yang dipandang adil dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Ini mengandung arti tercapainya kelestarian economic flow antar generasi, yang seringkali ditafsirkan sebagai kelestarian penggunaan sumber daya alam dan lingkungan.

Dengan kedua dimensi di atas, pembangunan ekonomi perlu dilihat melalui kacamata tranformasi sebuah masyarakat. Jadi, keduanya tidak bisa hanya dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi makro, pulihnya arus modal, atau peningkatan indeks produksi sektor riil saja. Demikian juga dengan pengembangan Kapasitas Teknologi Bangsa (KTB) dan Kapasitas Industri Bangsa (KIB) tidak bisa hanya didorong oleh kebanggaan teknologi semata.

Dengan kata lain, pembangunan ekonomi harus lebih luas dari agenda sempit kalangan neo-liberal pendukung Konsensus Washington, yang selama ini menjadi landasan bagi IMF, Bank Dunia dan lembaga donor lainnya dalam membantu negara-negara krisis. Pembangunan ekonomi harus dilihat sebagai katalis untuk mendorong tranformasi menuju masyarakat yang berkeadilan sosial, demokratis dan ramah lingkungan.

Konsekwensinya, strategi pembangunan ekonomi seyogyanya tidak hanya dibatasi pada komponen-komponen utama Konsensus Washington saja, yang merupakan resep generik IMF. Yaitu stabilitas harga, liberalisasi perdagangan dan swastanisasi. Perlu perhatian yang lebih besar terhadap aspek-aspek distribusi, seperti bagaimana menjaga kesejahteraan petani apabila liberalisasi perdagangan diterapkan, bagaimana mengembangkan Kapasitas Tekonologi Bangsa (KTB) melalui pembangunan industri downstream yang bukan hanya technically and financially sustainable, tapi juga socially and environmentally sustainable, bagaimana merumuskan mekanisme sosial dalam mencapai solusi win-win bagi konflik antara penduduk lokal dengan perusahaan ekstrasi sumber daya alam.

Dengan perubahan orientasi kebijakan ekonomi seperti itu, saya berkeyakinan Indonesia akan lebih mampu menyeimbangkan pertumbuhan dengan pemerataan ekonomi antara berbagai kelompok sosial di masyarakat. Kita juga akan lebih mampu menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Jika hal ini bisa kita rintis dan wujudkan, dengan rahmat Allah SWT, saya yakin kita akan lebih berpeluang menjadi pemenang, bukan pecundang, globalisasi.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, P. (2002). Odious Debt (Utang Najis): Obral Utang, Korupsi dan Kerusakan
Lingkungan di Dunia. Jakarta, INFID.
Seabrook, J. (2003). The No-Nonsense Guide to World Poverty. Oxford, New
Internationalist.
Stern, N. 2007. Stern Review: The Economics of Climate Change.

Stiglitz, J.E. (2002). Globalization and Its Discontents. London, Penguin.
Stiglitz, J.E. (2006). Making Globalization Work. New York, W.W. Norton and Company.
Thurow, L.C. (1996). The Future of Capitalism: How Today’s Economic Forces Will
Shape Tomorrow’s World. New York, William Morrro and Company.
Wibowo, D.H. (2004). ‘RAPBN 2005: Ancaman Siklus Argentina’. Tempo, 25-29 Agustus
2004, p. 121.
Wibowo, D.H. (2005). ‘Manajemen dan Diplomasi Utang’. Tempo, 24-30 Januari 2005,
p. 100.


(Orasi Ilmiah disampaikan dalam Wisuda Sarjana STEKPI, Jakarta, 25 Oktober 2008)

 

 

  • Hits: 10776

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id