Kata Pasar: Tidak Ada Swasembada
Dradjad H. Wibowo
Anggota Wanhor PAN / Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI)
Gelembung (bubble) swasembada beras akhirnya pecah. Adalah Wapres Jusuf Kalla yang blak-blakan mengakui — khas pak JK — jika memang harus impor untuk menurunkan harga, impor saja. Wapres juga akui, stok beras nasional belum aman. Dengan sikap ini, solusi terhadap melambungnya harga beras bisa lebih tepat.
Selama ini Kementerian Pertanian cukup sering mengklaim swasembada pangan. Contohnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan:
“Dulu kita ragu bisa swasembada pangan, tapi beberapa hari lagi tinggal menghitung hari sekitar 40 atau 45 hari lagi, tepatnya 31 Desember 2017, kita bisa gaungkan swasembada empat komoditas pangan beras, cabai, jagung dan bawang dalam waktu bersamaan," katanya di Lampung Timur, Jumat. (Antaranews, 10 November 2017 pukul 15.19).
Sekarang, klaim tersebut dibanting dengan telak. Bukan oleh lawan politik atau pakar. Tapi oleh pasar.
Kita tahu, bulan Januari-Februari adalah musim panen padi. Produksi naik, harga turun. Itu hukum pasarnya. Tapi, harga beras justru melonjak tajam.
Sebenarnya BPS sudah mendeteksi sinyal ini pada September 2017, di mana harga beras kualitas medium naik 1,27% menjadi Rp 8935/kg di tingkat penggilingan. Tapi September belum panen raya. Jadi alarm belum berbunyi.
Sekarang di musim panen, harga beras kualitas medium eceran justru melambung ke sekitar Rp 11000/kg, atau 15-16% lebih tinggi dari awal 2017. Harga juga naik dibanding September/Oktober 2017.
Bukan hanya itu. Seperti kata Wapres, stok beras pun belum aman. Versi Dirut Bulog Djarot Kusumayakti, stok beras hanya 930 ribu ton. Versi Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Gatot Irianto, stok 950 ribu ton.
Kata Kementan, stok masih aman. Benarkah? Bandingkan dengan masa Orba. Saat itu stok beras dijaga sekitar 2 juta ton. Ini pun sudah dianggap mengkhawatirkan. Padahal jumlah penduduk hanya 1/2 dari sekarang. Melihat data historis, saya lebih sepakat dengan Wapres. Stok belum aman.
Selain itu, data stok Bulog lebih rendah 20 ribu ton dari Kementan. Semoga ini hanya keprucut saja. Jika selisih ini serius, tentu tidak bisa diremehkan. Karena, impor beras Januari-Februari 2017 saja hanya 14473 ton senilai US$ 11.9 juta. Artinya, data stok juga harus dipastikan.
Lalu kenapa pada musim panen harga justru meroket, apalagi katanya sudah swasembada? Jawabnya, karena memang tidak ada swasembada. Produksi belum mencukupi konsumsi dan penggunaan lainnya, bahkan saat panen sekalipun. Itulah pesan dari pasar.
Saya tentu lebih percaya pasar daripada klaim Kementan. Apalagi, perhitungan produksi dan konsumsi beras selalu simpang siur.
Mari kita utak-atik angka. Kata BPS, produksi gabah kering giling (GKG) adalah sebanyak 70,85 juta ton (2014), 75,4 juta ton (2015), dan mungkin 79 juta ton (2016). Kita pakai angka konversi GKG ke beras 62,74% sesuai Survey Susut Panen dan Pasca Panen Gabah/Beras 2005-2007 dari BPS. Asumsikan produksi sekitar 80 juta ton GKG. Setelah dikonversi, kita mendapat angka produksi beras 50,19 juta ton.
Untuk konsumsi per kapita, kita pakai angka BPS 98 kg beras/kapita/tahun per Maret 2015 sesuai Susenas. Jumlah penduduk Juni 2016 adalah 257.912.349 jiwa kata Mendagri Tjahjo Kumolo. Laju pertumbuhan penduduk 1,49%. Jadi kira-kira penduduk kita pada Juni 2017 sebanyak 261.755.243. Kalikan angka ini dengan konsumsi per kapita, keluar angka konsumsi beras nasional 25,65 juta ton.
Jadi, kata data BPS, produksi beras nasional itu sekitar dua kali lipat konsumsi! Saya tidak punya data tentang berapa jumlah penggunaan untuk benih, terbuang dan sebagainya. Tapi kalau produksi dua kali lipat konsumsi, seharusnya negara kebingungan menampung surplus beras.
Gambaran di atas bukan hanya terjadi sekarang. Mentan Suswono pun pada akhir 2011 menyebutkan, seharusnya ada surplus beras 10 juta ton. Padahal kata BPS konsumsi beras saat itu jauh lebih tinggi dari sekarang, yaitu 113 kg/kapita/tahun. Sebelumnya, data konsumsinya lebih tinggi lagi, 139 kg/kapita/tahun.
Artinya, jika data di atas benar, swasembada beras sudah lama terjadi! Bukan jaman Menteri Amran saja. Malah Menteri Suswono lebih hebat. Karena, saat itu konsumsi/kapita jauh lebih besar.
Yang jelas, pasar tidak percaya dengan data di atas. Yang mereka tahu, sekarang panen tapi beras kurang. Otomatis harga naik.
Itu juga yang membuat Permendag No 57/2017 hanya jadi macan kertas. Karena, Permendag dibuat berdasar data yang tidak sesuai pasar.
Lalu apakah orang seperti saya punya data alternatif? Jelas tidak! Pelaku pasar, akademisi, politisi dan masyarakat umum itu konsumen data. Mereka tidak bisa melakukan sendiri survey skala besar seperti Susenas.
Itulah sebabnya kita punya BPS. Negara pun mengalokasikan Rp 4-5 triliun per tahun ke BPS agar bisa memproduksi data yang terpercaya. Agar negara tidak salah mengambil kebijakan. Tapi kalau data konsumsi beras per kapita saja bervariasi liar seperti di atas, bagaimana kita bisa percaya? Karena itu, BPS mutlak harus dibuat independen. Jangan mudah diintervensi.
Dengan situasi di atas, langkah Wapres sudah benar. Solusi jangka sangat pendeknya harus sesuai pasar, yaitu menambah stok, termasuk melalui impor jika perlu. Yang dimakan rakyat kan beras, bukan crypto-rice berisi data beras.
Artikel ini muat pada :
- Hits: 2400