KE-TIDAK-BIJAKAN KENAIKAN HARGA
(Dipublikasikan dalam Majalah Tempo, Vol. XXXI Nomor 46, 19 Januari 2003, hal. 114)
Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan tarif telepon membuktikan bahwa Pemerintahan Megawati telah tersandera oleh agenda fundamentalisme ekonomi. Akibatnya, pemerintah dan masyarakat semakin ditempatkan pada posisi yang berlawanan.
Jika pemerintah tetap arogan, saya khawatir modal utama sejak Agustus 2001, yaitu stabilitas politik, justru rusak. Padahal, dengan modal ini, ditambah keberuntungan eksternal karena depresiasi US dolar, stabilitas makro mulai membaik selama 2002.
Jika modal di atas rusak, Rupiah bisa terdepresiasi lebih awal dari dugaan semula. Ini akan menaikkan inflasi dan suku bunga. Artinya, stabilitas makro ikut rusak. Jika terjadi eskalasi drastis dari gelombang protes masyarakat, bukan tidak mungkin kita menuai efek politik yang sangat destruktif. Kalau ini terjadi, bukan hanya fundamental makro yang rusak. Bisa-bisa kita kehilangan momentum pemulihan ekonomi selama dua tahun.
Pemerintah boleh saja mengemukakan berbagai argumen teknis ekonomis sebagai pembenaran ke-tidak-bijakan kenaikan harga. Sebagian argumen itu mungkin benar. Misalnya, memang benar penduduk miskin hanya mengkonsumsi sekitar 0,3% dari konsumsi BBM nasional. Jadi, mereka tidak banyak menikmati subsidi BBM yang mencapai Rp 30,4 triliun pada tahun 2002.
Selain itu, benar bahwa tanpa konservasi energi dan penemuan sumber energi baru, Indonesia terancam menjadi net importer minyak. Juga benar argumen tentang penyelundupan, pengoplosan dan pemborosan penggunaan BBM. Benar pula kalau dikatakan UU No 25/2000 tentang Propenas menggariskan penghapusan subsidi secara bertahap. Tapi tidak secara otomatis argumen di atas membenarkan keputusan yang diambil pemerintah. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan.
Pertama, secara filosofis, fundamentalisme ekonomi ini sangat tidak sesuai dengan situasi ekonomi dan sosial politik yang ada. Secara teoretis ini bertentangan dengan the Murphy’s Law of Public Policy.
Hukum Murphy menggolongkan kebijakan publik, khususnya di bidang ekonomi, menjadi hard-headed dan soft-headed, serta hard-hearted dan soft-hearted.
Kebijakan hard-headed secara ketat mengikuti mahzab neo-klasikal dan moneteris. Agendanya, antara lain, stabilisasi makro, liberalisasi, privatisasi, dan rasionalisasi hubungan industrial. Pengurangan atau penghapusan subsidi menjadi instrumen penting stabilisasi fiskal dan makro. Kebijakan soft-headed merupakan anti-tesisnya, di mana privatisasi dan pengurangan subsidi diharamkan.
Kebijakan hard-hearted tercermin dari diabaikannya distribusi manfaat dan biaya ekonomi di dalam masyarakat. Manusia dipandang tidak lebih dari angka-angka, entah itu angka pengangguran, penduduk miskin, kriminalitas dan sebagainya. Tidak ada pembedaan kebijakan terhadap, misalnya, yang cacat dan yang normal, yang punya akses ekonomi dan yang tidak, dan sebagainya. Pendekatan soft-hearted adalah kebalikannya.
Menurut Hukum Murphy, agar kebijakan kontroversial seperti pengurangan subsidi bisa diterima masyarakat, diperlukan kebijakan hard-headed and soft-hearted. Agenda yang digotong IMF, Bank Dunia dan Tim Ekonomi pemerintah, sayangnya, cenderung hard-headed and hard-hearted. Akibatnya, masyarakat terbelah karena jurang ekonomi antara yang diuntungkan dan yang dirugikan semakin lebar.
Kedua, model, analisis dan data yang digunakan, kalau memang ada, perlu dipertanyakan kesahihannya. Pernyataan Menko Perekonomian yang out of touch, yaitu kenaikan harga ini tidak memberatkan masyarakat, adalah alasannya.
Memang benar, inflasi diperkirakan naik sekitar 2,1% dari semestinya. Estimasi awal INDEF ini didukung oleh prakiraan Ketua BPS. Namun, inflasi adalah angka abstrak, yang tidak langsung dirasakan masyarakat.
Masyarakat lebih melihat berapa kenaikan pengeluaran rumah tangga, baik untuk kegiatan produksi maupun konsumsi. Sayangnya, data yang sering dipakai adalah SUSENAS dari BPS. Semua peneliti yang pernah memakai data SUSENAS tahu pasti keterbatasannya. Intinya, apakah SUSENAS secara akurat memetakan pola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga?
Saya pernah menghitung elastisitas pengeluaran rumah tangga terhadap minyak goreng, dan yang keluar adalah angka yang aneh. Selain itu, karena lamanya time lag, seringkali prediksi kita meleset jauh.
Sebagai bandingan, data inflasi dan pertumbuhan relatif lebih tepat waktu dan sahih dibandingkan SUSENAS. Toh para ekonom (termasuk saya) masih sering salah dalam memprediksi inflasi dan pertumbuhan.
Kalau berdasarkan data agregat, pengeluaran rumah tangga diduga naik 22-25%. Artinya, kalau kita biasa mengeluarkan Rp 1 juta/bulan, agar konsumsi tetap, pengeluaran kita harus naik Rp 220-250 ribu per bulan. “Uji petik” awal yang dilakukan YLKI menguatkan estimasi di atas, di mana terdapat kenaikan 20%.
Yang juga diabaikan adalah efek multiplikatif dari kenaikan harga, dan asimetri dalam pembentukan harga. Maksudnya, pelaku usaha men-transfer beban lebih besar kepada konsumen sejauh elastisitas harganya memungkinkan. Akibanta, pemerintah menduga harga semestinya naik 0,5%, faktanya naik minimal 15%.
Jadi, kita tidak bisa memprediksi masyarakat hanya di atas kertas dalam ruangan ber-AC. Peneliti wajib membaca kisah nyata di masyarakat.
Ketiga, terdapat alternatif lain yang lebih sesuai dengan Hukum Murphy. Dibandingkan tahun 2002, total subsidi yang dihemat Rp 16,2 triliun. Dikurangi dana kompensasi Rp 4,4 triliun, dan stimulus pajak Rp 6 triliun, penghematan netto-nya hanya Rp 5,8 triliun. Tapi biaya sosial politiknya sangat tinggi.
Altenatif lain, pemerintah bisa menaikkan jumlah wajib pajak dari 2,9 juta menjadi 5 juta. Ditambah peningkatan tarif pajak efektif dan penurunan tarif pajak nominal, dan pengampunan pajak, setidaknya bisa diperoleh tambahan Rp 10 triliun. Ini estimasi konservatif karena ada yang menduga angkanya Rp 30 triliun.
Dari bunga obligasi rekap, bisa dihemat Rp 15,2 tiliun. Ini jika alternatif yang diusulkan Tim Independen digunakan. Jadi, kita sudah menghemat Rp 25,2 triliun, lebih tinggi dari pengurangan subsidi, dan tanpa resiko sosial politik yang berarti.
Keempat, agenda fundamentalisme ekonomi di atas tidak sesuai dengan rasa keadilan. Mereka menghalalkan subsidi besar-besaran bagi perbankan, tapi mengharamkan subsidi bagi masyarakat.
Tahun 2000, subsidi BBM dan non-BBM bagi masyarakat sebesar Rp 62,7 triliun, dua kali lipat subsidi perbankan melalui bunga utang dalam negeri (Rp 31,2 triliun). Tahun 2001, subsidi perbankan Rp 58,2 triliun, atau Rp 19,6 tiliun di bawah subsidi masyarakat.
Tapi sejak 2002, subsidi perbankan mulai melebihi subsidi masyarakat. Yaitu, Rp 59,5 triliun atau Rp 17,9 triliun di atas subsidi masyarakat. Tahun 2003, subsidi perbankan Rp 55,1 triliun, sementara subsidi masyarakat Rp 30 triliun-an lebih rendah. Anehnya, hal ini malah dianggap sebagai prestasi oleh Tim Ekonomi.
Kelima, pengurangan subsidi memang diamanahkan Propenas. Tapi, demikian juga dengan pengurangan biaya restrukturisasi (baca: subsidi) perbankan dan pembangunan sistem jaminan sosial. Kenapa keduanya tidak dilakukan juga?
Selain itu, faktor simbol juga berpengaruh. Pada saat haga dinaikkan, elit politik justru sedang berpesta di Bali, konglomerat jahat diampuni, dan aset vital seperti Indosat diobral. Jangan salahkan masyarakat kalau muncul kemarahan kolektif.
Karena itu, sebaiknya pemerintah membatalkan keputusan kenaikan harga tersebut dan mencari alternatif penyelematan APBN yang lain. Jangan takut pada “partai” IMF dan Bank Dunia. Tapi dengarkanlah “partai” masyarakat.
- Hits: 2104