Keynesianisme dan Menjaga Napas APBN
Kompas.com - 06/03/2023, 05:58 WIB
Editor Palupi Annisa Auliani
JIKA dicermati mendalam, rezim ekonomi Indonesia sejak krisis Asia 1998-1999 cenderung bergerak antara neoliberalisme versus Keynesianisme.
Kebijakan neoliberal banyak difokuskan pada program penyesuaian struktural (structural adjustment programs – SAPs) dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Adapun Keynesianisme mengandalkan intervensi pemerintah terhadap perekonomian, khususnya permintaan agregat.
Ketika Indonesia menjadi pasien IMF pada awal 2000-an, SAPs menjadi mantra ekonomi. Butir-butir SAPs seperti pengetatan fiskal, liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi, serta reformasi perbankan dan keuangan, semua dijalankan dengan masif.
Saya sering mengkritik keras penerapan SAPs yang tanpa melihat kondisi riil Indonesia. Dalam rapat Komisi XI DPR 2004/2005, misalnya, saya mengungkap keharusan Indonesia menjual 16 BUMN sebagai syarat pencairan pinjaman termin kedua senilai 150 juta dollar AS dari Bank Pembangunan Asia. Syarat tersebut akhirnya dibatalkan.
Saya juga mengkritik keras liberalisasi beras dan pangan, terutama pemangkasan kemampuan Bulog. Dampaknya kita rasakan hingga sekarang. Negara kekurangan instrumen untuk menstabilkan harga beras di konsumen dan harga gabah di petani.
Pada periode pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih menjalankan sebagian dari SAPs. Tapi pada saat krisis keuangan dunia 2008-2009, beliau mengadopsi program Keynesian berupa stimulus fiskal, sebagaimana kebanyakan negara di dunia. Setelah krisis teratasi, beliau cenderung meramu SAPs dengan Keynesian.
Keynesianisme
Pada tahun pertama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menerapkan sebagian dari program SAPs. Namun setelah itu, beliau berubah semakin Keynesian.
Ini ditandai dengan pembangunan infrastruktur secara masif dengan dana APBN, mulai dari jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, hingga pembangkit listrik, dan sebagainya. Nilai proyek infrastrukturnya per saat ini Rp 3.309 triliun.
Hilirisasi dengan pemberian insentif pajak yang cukup besar, termasuk tax holiday, menjadi contoh lain dari Keynesianisme Presiden Jokowi. Terlebih lagi, hilirisasi ini ditopang dengan pelarangan ekspor, yang merupakan antitesis dari liberalisasi perdagangan.
Di tingkat global, Keynesianisme bangkit kembali pada saat dunia dilanda krisis keuangan 2008-2009. Uniknya, kebangkitan ini justru dipelopori oleh negara-negara G7 yang sangat pro-pasar dan liberal.
Mereka bahkan menabrak tabu monetisasi defisit, meski dilakukan secara tidak langsung, dengan nama quantitative easing (QE). Saat pandemi Covid-19, hampir semua negara mengadopsi “Covid-19 Keynesianism”, termasuk Indonesia.
Karena itu, ketika Indonesia memonetisasi defisit melalui burden sharing selama 2020-2022, IMF, Bank Dunia dan pasar keuangan tidak ribut. Padahal, kita melakukan monetisasi langsung melalui pembelian obligasi pemerintah oleh BI di pasar primer. Jumlahnya besar, sekitar Rp 1.144 triliun menurut Gubernur BI Perry Warjiyo.
Secara fundamental, burden sharing ini tidak banyak berbeda dengan usul pencetakan uang Rp 1.600 triliun dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Angkanya pun mirip. Karena, jika ditambah stimulus swasta Rp 400-500 triliun, nominal monetisasinya adalah sekitar Rp 1.600 triliun.
Kita ingat betapa panasnya debat tentang usulan Kadin pada saat itu. Saya menjadi satu dari sedikit ekonom yang reseptif terhadap usulan tersebut.
Sebagai pengingat, saya salin cuplikan berita 7 Mei 2020 yang mengutip pendapat saya:
… Jika mengikuti hitungan Kadin, di mana kebutuhan stimulusnya mencapai Rp 1.600 triliun, kata Dradjad, jelas 'sumur uangnya' tidak cukup.
"Jadi pertanyaan mendasarnya: Uangnya Dari Mana? BI tidak punya jawaban yang memadai. Kemenkeu juga tidak. Itu sebabnya muncul gagasan mencetak uang,” papar Dradjad.
Jika tidak mau mencetak uang, menurut Dradjad, maka harus mencari sumber selain di atas…
Pandangan saya itu didasari oleh pemikiran bahwa (1) "sumur uang" kita tidak cukup untuk mengatasi pandemi dan dampaknya, (2) karena aktivitas ekonomi dan permintaan agregat bakal anjlok, jangan-jangan selama pandemi Indonesia berada dalam kondisi New-Keynesian?
Pemikiran kedua ini tidak saya utarakan saat itu karena masih spekulatif. Spekulasi tersebut sekarang menjadi hipotesis berbasis empiris.
Karena, meski Indonesia memonetisasi defisit dalam jumlah besar, ternyata ledakan inflasi tidak terjadi bahkan ketika pertumbuhan mulai pulih. Inflasi hanya sebesar 1,68 persen (2020), 1,87 persen (2021) dan 5,51 persen (2022).
Apakah ini berarti terdapat kelengketan harga dan upah (price-wage stickiness) selama 2020-2022, atau hanya karena pergeseran kurva permintaan agregat? Saya belum tahu jawabannya karena belum melakukan riset ekonometri.
Kelengketan harga dan upah adalah fondasi dari New-Keynesianism berdasarkan asumsi kegagalan pasar seperti kompetisi tidak sempurna.
Jika memang ada kelengketan pada tahun-tahun mendatang maka Indonesia bisa menggenjot belanja negara, baik melalui kenaikan defisit maupun monetisasi defisit, tanpa banyak khawatir terhadap inflasi. Sebaliknya, jika kelengketan tidak ada, kita harus ekstra waspada terhadap inflasi. Defisit APBN perlu dijaga ketat, sementara monetisasi defisit kembali tabu.
Menjaga napas APBN
Dengan berakhirnya burden sharing, pertanyaannya, seberapa panjang napas APBN dalam mendorong pertumbuhan melalui program Keynesian? Jangan lupa, proyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) juga perlu dana besar.
Mari kita lihat infografik berikut ini untuk menganalisanya.
Terlihat dari infografik di atas, rasio belanja negara terhadap PDB cenderung menurun selama 2000-2022.
Rata-rata dunia pada 2021 adalah 16,83 persen dan Indonesia berada di bawah rata-rata tersebut. Pada 2022 rasio, Indonesia malah turun menjadi 13,9 persen. Kenaikan pada 2020 lebih disebabkan oleh kontraksi PDB akibat pandemi. Turunnya kinerja Indonesia ini tampaknya terkait dengan rendahnya tax ratio.
Pada 2022, peranan pengeluaran pemerintah dalam pembentukan PDB juga anjlok menjadi 7,7 persen. Hal ini harus mendapat perhatian yang sangat serius karena level 6-7 persen itu hanya kita alami saat pemulihan krisis 1998-1999, yaitu pada 2000-2002. Setelah itu angkanya berkisar 8-9 persen.
Terobosan penerimaan dan IKN
Jadi, ketika APBN masih diinjeksi Bank Indonesia (BI) sekalipun, sudah terlihat gejala APBN mulai kekurangan napas dalam membentuk PDB. Karena itu, terobosan penerimaan mutlak harus dicari. Jelas tidak mudah, apalagi dengan memburuknya reputasi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
Salah satu terobosan tersebut adalah terkait teknologi informatika (TI). Seorang ahli TI Ditjen Pajak pernah mengajari saya, sistem TI bisa dibangun untuk mengurangi kebocoran pajak pertambahan nilai (PPN).
Selain TI, ada beberapa jenis operasi khusus yang bisa dilakukan untuk menekan penghindaran dan dan penggelapan pajak atau cukai.
Kita juga perlu inovasi produk keuangan sebagai salah satu sumber pembiayaan IKN. Inovasi ini melibatkan berbagai bentuk swap (pertukaran). Perubahan regulasi yang dibutuhkan relatif minim.
Satu hal yang jelas, inovasi ini haruslah bukan monetisasi defisit dan tidak menambah utang negara.
https://money.kompas.com/read/2023/03/06/055832426/keynesianisme-dan-menjaga-napas-apbn?page=4
- Hits: 465