Indonesia Gagal dalam Menghadapi Pembersihan Etnis Rohingya
Dradjad Wibowo, PhD
Anggota Wanhor PAN
23 November 2017
Pada pertengahan September 2017, saya pernah menyampaikan bahwa pilihan Indonesia melakukan diplomatic engagement (DE) dengan Myanmar dalam kasus Rohingya berpeluang besar gagal.
Rabu kemarin (22 November 2017), Menlu Amerika Serikat Rex Tillerson menyebutkan, Myanmar jelas melakukan pembersihan etnis terhadap Rohingya. Pada tanggal 13 November 2017, pemerintah Inggris melalui juru bicara Perdana Menteri Theresa May juga menyebut pembersihan etnis. Dalam bulan September 2017, Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra'ad malah sudah mencap tindakan militer Myanmar terhadap warga muslim Rohingya sebagai "contoh pembersihan etnis sesuai buku teks".
Sebelumnya, 12 pemenang Nobel menulis surat kepada Dewan Keamanan PBB agar melalukan intervensi menolong warga Muslim Rohingya. Sepuluh di antara mereka adalah pemenang Nobel Perdamaian seperti Malala Yousafzai dan Desmond Tutu. Pemilik Virgin Air Richard Branson dan aktor Hollywood Forest Whitaker ikut menulis surat tersebut. Masih banyak lagi pihak lain yang tegas mengecam Myanmar dan mendorong diambilnya tindakan, seperti Amnesty Internasional.
Langkah terakhir dari Menlu Tillerson tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah gagal dalam kasus Rohingya. Mengapa? Karena dunia sekarang mendesak pemimpin sipil dan militer Myanmar, yaitu Aung San Suu Kyi (ASSK) dan Jenderal Senior Min Aung Hlaing (MAH), mengambil langkah kongkret. Arahnya antara lain, melakukan investigasi independen internasional, mengembalikan pengungsi Rohingya ke kampung halamannya, memberi mereka kewarganegaraan dan menghentikan tindakan diskriminatif terhadap Rohingya.
Sementara itu Indonesia memilih berbaik-baik dengan ASSK dan MAH. Tidak pernah Indonesia mendesak langkah kongkret di atas. Alasannya, Indonesia perlu menjaga akses, supaya mudah mengirim misi kemanusian. Sekarang dengan perubahan sikap politik dunia, Indonesia akhirnya gagal menunjukkan kepemimpinan, paling tidak di tingkat regional. Kereta Indonesia bergerak ke Bogor, sementara kereta dunia menuju Manggarai dan Gambir.
Di sisi lain, misi kemanusiaan yang banyak dipublikasikan September lalu ternyata hanya sebentar. Jumlahnya pun sangat sedikit. Hanya beberapa kontainer makanan, obat-obatan dan susu. Jadi, Indonesia menghadapi pembersihan etnis hanya dengan beberapa kontainer bantuan. Ini seperti dokter yang menangani pasien lever parah dengan 2-3 butir penurun panas. Jelas meleset. Malah terkesan hanya pencitraan saja, supaya umat Islam Indonesia tidak marah.
Karena itu, walaupun ketinggalan kereta, saya berharap pemerintah Indonesia mau mengubah haluan terkait Rohingya. Paling tidak mengikuti kereta dunia, dan menggalang negara-negara ASEAN mewujudkan ke-4 langkah kongkret di atas. Jangan hanya takut dan mengekor sikap China.
Bagian Kedua
Kepentingan Ekonomi Bisnis?
Saya menduga, kepentingan ekonomi ikut berperan menentukan sikap politik Indonesia di atas. Pemerintah memang mendorong BUMN masuk ke Myanmar. Pada tahun 2013, Menteri BUMN Dahlan Iskan mendorong 15 BUMN berekspansi ke Myanmar. Pada tahun 2016, Menteri BUMN Rini Soemarno juga bersikap sama. Bahkan Rini menjadi Menteri Indonesia pertama yang menemui ASSK setelah pemerintah sipil Myanmar terbentuk.
Saat ini ada 4 BUMN yang sudah beroperasi di Myanmar, yaitu BNI, Telkom, WIKA dan Pertamina. Sementara itu, berbisnis di Myanmar mau tidak mau harus mundhuk-mundhuk kepada militer Myanmar.
Sebagai informasi, Jenderal Senior MIn Aung Hlaing (MAH) adalah Panglima Tatmadaw, bahasa lokal bagi militer Myanmar. MAH juga disebut Panglima Tertinggi (Supreme Commander) dari semua angkatan bersenjata di Myanmar.
Berdasarkan Konstitusi tahun 2008, Tatmadaw berwenang mengatur diri sendiri atau otonom dari pemerintah sipil. Tatmadaw menguasai Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait dengan perbatasan negara.
Di bidang ekonomi, Tatmadaw memiliki dua konglomerat raksasa sebagai perusahaan holding, yaitu Union of Myanmar Economic Holdings Ltd. (UMEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC). Keduanya termasuk di antara konglomerat terbesar di Myanmar.
UMEHL memonopoli usaha batu mulia di Myanmar dan memiliki perusahaan raksasa di bidang perbankan, real estate, pariwisata, perdagangan, angkutan (kapal, bus), kawasan industri, berbagai industri seperti tekstil, bir, tembakau dan sebagainya. Kebanyakan investasi asing dilakukan bekerja sama dengan UMEHL.
MEC memiliki perusahaan raksasa di bidang perbankan, industri baja, industri semen, perkebunan, asuransi (monopoli), teknologi informasi dan sebagainya.
Selain saham milik negara, UMEHL dan MEC juga menerbitkan saham pribadi yang dimiliki pimpinan dan personil militer Myanmar. Keuangan UMEHL dan MEC tidak bisa diutak-atik oleh siapapun selain Tatmadaw. Dalam hal tertentu mereka juga mendapat pembebasan pajak penghasilan dan pajak komersial lain.
Jadi memang Tatmadaw memiliki kekuasaan yang sangat besar di bidang politik, pertahanan keamanan, pemerintahan dalam negeri dan ekonomi. Tidak ada yang bisa berjalan mulus di Myanmar tanpa restu Tatmadaw. Di sisi lain, demi ambisi regionalnya, China sangat mendukung Myanmar, khususnya Tatmadaw.
Jadi secara geopolitik-ekonomi riil, negara manapun yang ingin ikut menikmati kue ekonomi Myanmar tidak akan berani bersikap tegas terhadap Myanmar, apalagi Tatmadaw. Apalagi jika faktor China dimasukkan.
Namun apakah pemerintah memilih memasukkan sila "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" ke tong sampah demi akses ke ASSK dan MAH? Serta beberapa puluh juta dollar bagi BUMN?
Artikel ini dimuat pada:
--------------
Indonesia Harus Lebih Tegas thd Myanmar
11 September 2017
Dradjad H. Wibowo (Anggota Wanhor PAN)
Inisiatif diplomatik Menlu Retno yg tiba di Myanmar saat awal tragedi terakhir Rohingya patut kita hargai. Saya melihat Indonesia memang memilih diplomatic engagement (DE) untuk mengatasi tragedi Rohingya. Tampaknya Kemenlu masih memegang teguh prinsip solidaritas Asean dan keengganan untuk campur tangan terhadap urusan domestik masing-masing negara.
Sayangnya, dengan sikap Myanmar saat ini, DE a la Indonesia berpeluang besar gagal. Indikasinya pun sudah terlihat sangat jelas sekarang. Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi (ASSK) serta pemerintah dan militer Myanmar tetap membiarkan/melanjutkan tindakan brutal militer Myanmar terhadap rakyatnya sendiri dari etnis Rohingya.
Kenapa berpeluang besar gagal? Karena pertama, skala dan intensitas tragedi Rohingya sudah sangat serius. Rohingya sudah menjadi urusan regional dan internasional, bukan lagi hanya urusan domestik Myanmar. Ini karena lebih dari 120 ribu pengungsi terusir dr kampung halamannya di Rakhine ke Bangladesh dalam dua minggu terakhir. Ribuan lagi lari ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Itu perkiraan yang konservatif. Angka lain menyebut di atas 200 ribu pengungsi terusir.
Selain itu, berbagai kalangan internasional sudah menyebut tragedi tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. William Schabas, Profesor Hukum Internasional di Middlesex University, Inggris, mengatakan dia tidak ragu lagi bahwa apa yang terjadi terhadap etnis Rohingya sudah tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan (Sumber: https://www.google.co.id/amp/www.newsweek.com/genocideoccurring-against-rohingya-myanmar-expertsweigh-659841%3famp=1). Dalam tulisannya itu, John Haltiwanger memberitakan bahwa pejabat-pejabat teras PBB pun menilai tragedi tersebut sebagai pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Kedua, DE a la Indonesia hanya berhasil jika minimal dua syarat terpenuhi. Yaitu, Myanmar melihat ada manfaat material dan prestise dari dunia internasional untuk mengubah kebijakannya terhadap etnis Rohingya. Di sisi lain, Indonesia dianggap sebagai wakil yang tepat dari dunia internasional untuk memberikan manfaat material dan prestise tersebut.
Kedua syarat minimal tersebut tidak terpenuhi. ASSK hanya diam selama beberapa minggu, bahkan sejak tragedi Rohingya mencuat kembali beberapa tahun lalu. Ketika akhirnya berkomentar, dia sangat defensif dan menyalahkan media internasional. Militer Myanmar tetap meneruskan kebrutalannya. Jadi mereka tidak melihat atau tidak membutuhkan manfaat material dan prestise untuk mengubah kebijakan. Mereka juga tidak menganggap Indonesia sebagai wakil yang tepat. Indonesia dianggap enteng oleh ASSK dan Myanmar.
Jadi, sebaiknya Indonesia tidak lagi mengandalkan DE. Ada beberapa langkah yang bisa dijajaki:
1. Mendorong agar ASSK dan pemimpin militer Myanmar diadukan ke International Criminal Court (ICC) di The Hague. Indonesia memang tidak termasuk para pihak dan para penandatangan (non parties, non signatories) Statuta Roma yang menjadi dasar ICC. Karena itu secara formal pemerintah Indonesia tidak bisa mengajukan aduan atau gugatan. Tapi banyak cara informal yang bisa dilakukan. Saya tidak akan ungkapkan dalam tulisan ini karena pertimbangan strategis.
2. Mengangkat isu Rohingya dalam berbagai forum PBB, termasuk mengajak negara-negara Asean, OKI dan Asia Selatan mendesak DK PBB membuat resolusi tentang Rohingya.
3. Membantu secara aktif tim pencari fakta dari Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) yang sekarang diketuai Marzuki Darusman.
Masih banyak langkah lain yang lebih tegas yang bisa diambil Indonesia agar ASSK dan Myanmar menghentikan kebrutalan yang bisa disebut sebagai pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusian itu. Namun itu bisa diambil pada tahap berikut.
Artikel ini dimuat pada:
- Hits: 2475