Program Kartu Pra-Kerja Diragukan Manfaat dan Efektifitasnya
Program Kartu Pra-Kerja Diragukan Manfaat dan Efektifitasnya
Dradjad H. Wibowo
Ekonom Senior Indef / SDI
Soal kartu prakerja, dari sisi goodwill sebenarnya sudah oke. Tapi melihat rincian programnya, sebagai ekonom Indef saya menyangsikan program-program tersebut efektif dan bermanfaat.
Pertama, terdapat mismatch yang besar antara modul pelatihan yang ditawarkan dengan latar belakang peserta. Contohnya, modul “Jago Presentasi dalam 90 menit”. Valuasinya Rp 250000, jadi sudah memakan 1/4 dari nilai Rp 1 juta manfaat program ini. Pertanyaannya, apa manfaat modul ini bagi jutaan pengemudi ojol dan tukang bangunan/konstruksi?
Banyak lagi mismatches seperti ini.
Kedua, berbagai modul ketrampilan yang ditawarkan malah bisa dipelajari gratis di youtube dan berbagai platform lain. Gratis lho! Cuma bayar kuota data saja.
Contohnya modul tentang fotografi, memasak, disain dan sebagainya. Di luar gratis, provider hanya mendapat dari iklan google atau sumber lain yang kecil. Tapi begitu memakai dana APBN, nilainya Rp 250 ribu!!
Ketiga, banyak modul dalam program ini yang mengajari orang berbisnis atau bekerja online. Ini mimpi yang ketinggian. Memangnya berapa proporsi orang yang sukses online? Saya tahu sendiri, banyak anak muda yang startups-nya tidak berkembang. Yang sukses bisa dhitung dengan jari. Padahal mereka lulusan perguruan tinggi top, bukan hanya di Indonesia tapi di dunia.
Apa mereka salah? Tidak. Faktanya memang sebagian bisnis online raksasa pun bleeding. Investornya tergolong orang-orang terkaya Indonesia. Bahkan ada yang harus menggerus keuntungan dari bisnis mereka yang lain.
Tidak etis jika saya sebutkan siapa mereka. Tapi itu cerita mereka ke saya.
Jika konglomerat maupun anak-anak muda berpendidikan tinggi saja bisa terbakar di online, bagaimana pula dengan peserta program prakerja ini?
Yang lebih memrihatinkan, bagaimana dengan akuntabilitas program ini? Mengapa provider tertentu yang memperoleh proyeknya? Bagaimana tender-nya?
Kalau pesertanya bisa 5 juta-an, ya dalam situasi sulit cari nafkah seperti ini, siapa yang tidak mau uang Rp 600 ribu?
Penerimaan pajak kan sangat seret sekarang. Sayang kalau uangnya dihamburkan untuk modul seperti di atas. Kalau mau memberi kail, sebaiknya dibuatkan program yang lebih bermanfaat dengan akuntabilitas yang bagus.
Artikel ini dimuat Pada :
Tes COVID-19 Lambat dan Minim, Indonesia Mutlak Harus Punya Obat dan Vaksin Sendiri
Tes COVID-19 Lambat dan Minim, Indonesia Mutlak Harus Punya Obat dan Vaksin Sendiri
Dradjad H. Wibowo
Saya sering sampaikan betapa krusialnya tes COVID-19 yang masif dan cepat. Kasus baru-baru ini di Ciseeng, Kabupaten Bogor adalah contoh alasannya. Salah satu warga Ciseeng meninggal, diduga jantung. Mungkin karena gejala klinisnya, dokter melakukan tes swab. Pada hari ke-8 setelah pemakaman baru diketahui almarhum positif corona. Padahal pemakaman terlanjur dilakukan tanpa prosedur COVID-19. Keluarga dan tetangga sekampung juga tahlilan. Mereka sekarang menjadi ODP. Di Ciseeng Bogor yang dekat sekali dengan Jakarta perlu 8 hari. Bagaimana dengan daerah lain yang jauh? Hanya karena lambatnya tes, banyak sekali orang yang bisa tertular. Termasuk tentunya dokter, perawat dan tenaga non-medis rumah sakit. Jadi sekali lagi, tes tes dan tes. Sebanyak mungkin, secepat mungkin. Dengan kinerja tes seperti itu, jumlah pasien COVID-19 di Indonesia bisa banyak sekali. Kecuali, ada mu’jizat dari Allah, entah melalui panas dan hujan, atau rahasia-Nya yang lain. Repotnya, kapasitas pelayanan kesehatan kita pun sangat terbatas. Jumlah dan kualitas ruang isolasi, APD, ventilator dan sebagainya terbatas. Karena itu, sangat mutlak bagi Indonesia untuk punya obat dan vaksin sendiri. Ini harga mati. Indonesia tidak bisa mengandalkan vaksin dari negara lain. Jumlah penduduk dunia saat ini hampir 7,8 milyar. Permintaan global terhadap vaksin corona akan berjumlah milyaran. Negara maju penemu vaksin tentu lebih memrioritaskan warganya. Harganya pun bisa mahal. Padahal minimal 163 juta penduduk Indonesia harus divaksinasi untuk mencapai herd immunity. Itu baru vaksin SARS-CoV-2. Dengan kecepatan mutasi berbagai virus corona, bisa jadi diperlukan beberapa jenis vaksin dan obat. Jangan lupa, saat ini sebagian ilmuwan sudah memikirkan bagaimana lanskap global paska corona atau AC (after coronavirus). Misalnya, otomasi dan robotisasi akan semakin menguasai proses produksi. Pelayanan kesehatan, farmasi, biologi, industri alat kesehatan, asuransi kesehatan dan bisnis terkait lainnya akan semakin penting. Di sisi lain, Indonesia kaya biodiversitas sebagai bahan obat dan vaksin. Ini keunggulan komparatif kita, yang selama ini sering dirusak tidak lestari. Mengenai obat, Indonesia sudah ikut Solidarity Trial-nya WHO. Ada 4 obat yang dicoba, yaitu remdesivir, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kaletra (kombinasi lopinavir + ritonavir) dan kaletra + interferon beta. Indonesia lebih banyak memakai klorokuin. Saya belum tahu bagaimana efeknya terhadap tingkat fatalitas COVID-19. Jika obat lain ternyata lebih efektif, tentu Indonesia harus impor lagi. Jadi, mempunyai obat dan vaksin sendiri itu sinergi kebijakan kesehatan dan ekonomi yang sangat mendesak. Karena itu saya usul, sediakan dana yang besar bagi penemuan dan produksi obat dan vaksin. Gerakkan BUMN kesehatan dan farmasi, berbagai riset berbasis biologi, para ilmuwan berbagai cabang biologi, dokter peneliti dan sebagainya. Jika kita bisa menekan wabah ini, apalagi mampu memanfaatkan peluang di balik wabah, kepercayaan terhadap perekonomian kita akan cepat pulih.
Artikel ini dimuat Pada : https://m.republika.co.id/berita/q8rfku318/kasus-ciseeng-dinilai-bukti-kita-harus-punya-obat-sendiri
https://republika.co.id/berita/qdd9ii318/indonesia-mutlak-harus-punya-obat-dan-vaksin-sendiri
Potong Birokrasi atau Desentralisasikan Tes Korona
Potong Birokrasi atau Desentralisasikan Tes Korona Dradjad H. Wibowo
Jumat 10 April Jakarta mulai menjalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Daerah lain juga meminta / menimbang mengajukan PSBB. Tujuan PSBB adalah menekan penyebaran SARS-CoV-2 dari satu orang ke orang lain. Efektifkah? Berikut ini dua titik lemah yang harus diatasi segera: 1. Kita tidak tahu dengan pasti berapa sebenarnya jumlah kasus positif korona di Jakarta dan Indonesia. Dengan sangat minimnya jumlah tes, tentu ada sejumlah kasus yang tidak terdeteksi, entah berapa jumlahnya. Sebagai indikasi, banyak sekali jenazah yang dimakamkan dengan prosedur COVID-19 di Jakarta, yang belum diketahui positif tidaknya. Hal yang sama bisa terjadi di daerah lain. 2. Aktifitas warga Jakarta sejak Senin 6 April terlihat masih terlalu tinggi untuk pengendalian wabah. Di daerah lain juga sama. Tanpa tahu berapa, siapa dan di mana orang yang positif korona, sementara aktifitas penduduk masih tinggi, bagaimana bisa memotong penularan? Jadi langkah awalnya memang deteksi dini. Tes, tes dan tes. Sebanyak mungkin, secepat mungkin. Sayangnya, selain terlalu sedikit, tes ini justru sangat lambat. Itu salah satu keluhan Gubernur Ridwan Kamil. Jangan dikira tes korona yang terlalu sedikit dan lambat tidak berdampak besar terhadap perekonomian. Justru dampaknya sangat besar. Dia menjadi pintu pertama, apakah wabah akan terkendali atau meledak. Jika program tes berhasil, diikuti disiplin masyarakat dan pelayanan kesehatan yang bagus, wabah berpeluang dikendalikan. Aktifitas ekonomi dan bisnis bisa berputar kembali. Jika wabah meledak, lihat saja bagaimana Lombardia Italia. Selain itu, tes yang cepat juga sangat penting bagi perawatan pasien. Jangan lupa, tingkat fatalitas kasus COVID-19 di Indonesia tergolong tinggi. Kita sudah kehilangan banyak SDM unggul. Mulai dari dokter/perawat, akademisi, pilot, birokrat senior hingga pengusaha sukses seperti di Semarang. Kerugian ekonominya tidak terhitung. Sayangnya prosedur pemeriksaan yang diatur dalam Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/182/2020 tanggal 16 Maret 2020 cenderung sentralistis dan birokratis. Keputusan positif tidaknya satu spesimen hanya di tangan Balitbangkes bersama Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Rute yang harus dilalui spesimen pun panjang. Yaitu, dari rumah sakit rujukan ke laboratorium pemeriksa, lalu ke Laboratorium Pusat Penyakit Infeksi Prof Dr Oemijati, lalu ke pimpinan Balitbangkes dan Ditjen P2P, baru kembali ke Dinkes, terus ke rumah sakit rujukan. Jika spesimen berasal dari RS non-rujukan, apalagi puskesmas, jalurnya lebih panjang lagi. Contohnya, spesimen dari Sulut harus dikirim ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar, lalu mengikuti jalur panjang di atas. Berapa waktu yang habis dalam perjalanan? Belum lagi, Kepmenkes di poin 8 mengatur, seluruh pembiayaan pemeriksaan dibebankan ke DIPA masing-masing laboratorium. Lha anggaran mereka cekak, biaya tes mahal, lalu mereka bisa nge-tes berapa banyak dan berapa cepat? Kementerian BUMN baru saja mendatangkan 18 unit Roche LightCycler dan 2 MagNa Pure LC. Keduanya alat RT-PCR (reverse transcription polymerase chain reaction) yang berstandar dunia. Ke-20 alat itu akan disebar ke RS BUMN di berbagai provinsi. Langkah di atas patut diapresiasi. Tapi jika spesimennya dan keputusannya terhambat birokrasi, alat di atas kurang maksimal perannya. Karena itu, potong birokrasi tes RT-PCR COVID-19 ini. Jika perlu, lakukan desentralisasi pemeriksaan. Beri pemerintah daerah anggaran COVID-19 yang cukup. Jangan beban PSBB ditimpakan ke daerah, tapi anggaran COVID-19 tersentralisasi. Kemenkes mengoordinasikan dan mengontrol kualitas pemeriksaan. Kita perlu cepat. Jangan birokratis di tengah ancaman wabah.
https://republika.co.id/berita/q8iprs318/dradjad-potong-birokrasi-pemutusan-status-terpapar-covid19 https://republika.co.id/berita/q8igv1318/ini-hal-yang-bisa-ganggu-kesuksesan-psbb-covid19 https://www.tribunnews.com/tribunners/2020/04/10/potong-birokrasi-atau-desentralisasikan-tes-corona
https://republika.co.id/berita/qdd973318/potong-birokrasi-atau-desentralisasikan-tes-korona
|